21 May 2010

Macet

Sejak kemarin pagi hingga malam ini Ayra dibanjiri satu rutukan masal. Kupingnya berdenging-denging sebab ia mendengar rutukan itu dari mana-mana: dari mulut-mulut manyun yang tak henti-hentinya mengeluh, dari langkah-langkah bergegas orang-orang setengah waras, dari genangan air yang menciprat saat mobil lewat, dari payung biru yang salah satu rangkanya patah, bahkan dari perut buncit perempuan pengamen yang memanfaatkan kehamilannya untuk meminta belas kasihan penumpang kopaja yang penuh sesak.

Ayra juga membaca rutukan itu di mana-mana: di sms teman, di email, di status facebook, di status ym, di celotehan twitter, di kursi taksi, di dada pria berkemeja berdasi, di tas laptop hitam elegan, juga di jidat perempuan yang dengan paniknya membuka pintu ruang meeting, muka dan rambut sama kusut.

Mereka semua merutuk tanpa jeda.
Macet – hujan – I hate this f@#*ing town – macet – hujan – macet – hujan – fahk!!! – macet - hujan- hujan – hujan – macet – macet – macet – hujan hujan hujaaaannnn!!!!! maceeeeeetttttttt!!!!!

Katanya hujan itu anugerah. Katanya hujan itu salah satu waktu terbaik ketika doa diijabah. Ayra senang bila hujan datang. Semakin sering hujan datang, semakin sering ia berdoa. Semakin deras hujannya, semakin keras Ayra berdoa. Jadi barusan Ayra bertanya: “Guru, hujan dari Tuhan, macet dari manusia. Kenapa ketika macet, manusia menyalahkan hujan?” Sang Guru cuma mesam mesem.

Mungkin ini aneh, tapi Ayra sangat suka macet di saat hujan. Sebab itu artinya ia punya lebih banyak waktu di perjalanan. Sebab Ayra penyuka perjalanan, bukan tujuan. Lebih banyak waktu di perjalanan, artinya ia punya lebih banyak waktu untuk dinikmatinya sendiri. Ia bersyukur kalau jalanan macet di saat hujan, sebab ia bisa mengeluarkan satu novel usang itu dari tas kerjanya. Novel itu belum sempat dia buka lagi sebab waktunya lebih banyak tersita untuk bekerja dan bekerja dan bekerja dan bekerja. Namun, sekali macet, 22 halaman bisa terlampaui. Maka ia berharap esok hari kotanya macet-hujan lagi, karena ia ingin segera menyelesaikan membaca novel pinjaman itu.

(Novel karya Alice Sebold itu tebalnya 372 halaman. Suatu hari ketika makan siang dengan teman-teman kantor, topik obrolan tiba-tiba berbelok dari gosip ke jenis bacaan. Seorang teman bertanya, “Kamu suka novel apa?”. Ayra, yang sehari sebelumnya baru saja memesan batu nisan untuk dirinya sendiri, seolah tanpa beban ketika menjawab, “Novel yang tokoh utamanya mati.” Keesokan harinya, di atas meja kerja Ayra sudah tersimpan sebuah novel, sampulnya gradasi biru. Mana Ayra tahu, bahwa tokoh di novel itu bernama Susie. Susie Salmon. SS. Dan dialah tokoh utama yang mati. Sebelum macet-hujan datang, Ayra terhenti di halaman 112, di mana ia menemukan penggalan kalimat yang membuatnya terdiam: ‘those ocean eyes of loss’. Oh, betapa kata-kata adalah kendaraan ingatan dengan kecepatan menakjubkan)

Suatu malam, ketika malam masih muda, Ayra pernah terjebak macet-hujan di atas metromini 72. Ia duduk di deretan kursi kedua dari depan, di pojok kiri dekat kaca. Tempias air hujan masuk dari celah jendela yang sengaja tidak ia tutup rapat. Dia mengamati, semua manusia yang pernah ia kenal menyukai memandang keluar jendela ketika hujan. Iapun sama. Sama seperti mereka, jiwa-jiwa dari balik jendela yang terhanyut hujan.

Di perempatan Gandaria, metromini lama sekali menunggu lampu merah berubah hijau. Dari kejauhan mata Ayra menangkap seorang anak perempuan bercelana merah selutut dan baju kotak-kotak hitam putih di depan rumah makan padang Sederhana. Anak itu dilihatnya sedang asik bermain. Ah, apa sih nama kegiatan iseng itu? Orang Sunda menyebutnya dengan kata yang terdengar lucu: sosorodotan atau gogolosoran.

Dilihatnya anak perempuan itu naik beberapa anak tangga, duduk di ujung atas tembok pinggiran tangga yang datar, lalu meluncur hingga dasar tangga. Lalu ia naik lagi, lalu ia meluncur lagi. Naik lagi, meluncur lagi. Naik lagi… meluncur lagi…

“Nak, sedang apa kamu? Tidakkah kamu tahu bahwa itu sia-sia? Naik turun naik turun begitu. Kamu membuang-buang waktu.”
“Aku senang melakukannya. Aku senang bermain-main. Apakah bermain-main itu sia-sia?
“Oh. Hm.”
“Kapan kamu terakhir kali menjadi anak kecil sepertiku, Ayra? Bermain-main. Hanya bermain-main. Kamu lupa ya, hidup itu kan cuma main-main, Ra…”

Sedetik lalu kursi di sebelah kanan Ayra kosong melompong. Tiga detik lalu ketika ia menengok ke kanan, yang dilihatnya cuma supir metromini berkalung handuk kumal, menatap kosong deretan kendaraan panjang di depannya. Detik ini ia menengok ke kanan lagi dan didapatinya Guru sudah duduk di sebelah. Mesam mesem.

“Cuma main-main, Guru?” tanya Ayra tak percaya.
“Iya. Kok lupa? Sana, buka lagi buku manualmu. Pasti tertulis di situ. Kamu sudah pernah menyalinnya di buku catatanmu 2,5 tahun yang lalu.”
“Oya? Aku kok masih lupa ya…”
Kening Ayra masih berkerut. Guru membuka e-book reader yang baru dibelinya.
“Salinan buku catatanmu ada padaku. Semuanya sudah ditransfer menjadi file. Aku simpan di folder history. Bila waktunya tiba, akan ditransfer ulang ke dalam bentuk video sehingga kamu dan seluruh semestamu bisa ramai-ramai menontonnya nanti.”
Ayra tiba-tiba merinding.
Guru mengarahkan telunjuknya ke layar touch screen, tepat di folder history. Klik. Klik. Klik.


$$$$ : Hidup itu permainan dan senda gurau belaka.
@@@@ : Itu potongan ayat 32 dari surat 6.
$$$$ : Aku tahu bahwa kamu tahu. Aku mengutipnya untuk mengingatkanmu.
@@@@ : Sombong. Sok mengutip. Sok religius kamu. Religius tapi motong-motong. Setengah- setengah.
$$$$ : Aku baru bisa menerapkan setengah-setengah. Tuhan juga pasti ngerti. Daripada udah tau tapi gak dikerjain sama sekali, wek!
@@@@ : Pembenaran. Pembenaran itu penyakit jiwa. Segala kekeliruan berawal dari pembenaran(hm, dia pasti tahu, ini penggalan kalimat dari sebuah novel entah apa). Ayo kalau berani, teruskan lanjutan ayatnya, lalu maknai dengan utuh.
$$$$ : Wong bisaku baru sampai sepotong-sepotong kok. Kalimat Tuhan, potongan-potongannya saja sudah sedemikian indah, apalagi keseluruhannya? Dan ini sungguh kalimat yang indah: ‘Life is just a game’. So let’s play the game and have some fun, shall we? :)
@@@@ : Hedonist. Opportunist.
$$$$ : Yeah, whatever.

“Hah??? Itu pernah ada di buku catatanku, Guru?”
“Kamu meragukan bagaimana aku merekam segalanya?”
Ayra diam.
“Ini. Lihat tanggalnya: Jumat, 3 Agustus 2007/23.01. Apa perlu aku panggilkan ustadz yang berkhutbah Jumat di hari itu di mesjid dekat rumahmu buat menegaskannya?”

Ayra diam.
Hidupku sudah jauh dari sekedar main-main. Ada yang salah. Ada yang salah…

Ayra masih terus diam. Hujan juga sudah lama diam. Malah terlalu lama diam. Deretan mobil di depan metromini ikut-ikutan terus diam. Ia meraih tasnya yang berat. Turun dari metromini, lalu berjalan kaki. Udara sehabis hujan selalu bisa membuatnya pergi keluar untuk berjalan kaki, seberapapun jauh. Untung rumah Ayra sudah dekat. 786 langkah kemudian, ia sudah sampai di depan pintu. Begitu dibuka, Ayra langsung rebah di lantai.


***

Antena, Jumat 19 Feb 2010/22.50 - Sabtu 20 Feb 2010/ 01.19
Thanks God I can write again.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home