18 April 2010

Rahim

Usia. Sebuah rahasia. Berapakah usiamu ketika engkau melahirkan aku, Ibu? 33? Dan aku adalah anak kelimamu. Rahimmu membuatku takjub, Bu. Usia 16, kau lahirkan anak pertama; menjelang 40, kau masih sanggup melahirkan seorang adik untukku. Ibu sungguh perempuan dengan rahim kuat. Dan lihatlah, di usiaku yang baru luruh satu lagi ini, rahimku belum sekalipun terpakai. Belum sekalipun. Sia-siakah ini, Ibu?

Di hari ke-101 kepulanganmu aku datang menjenguk sendirian. Apa Ibu lihat? Sengaja aku petikkan tiga gerumbul soka merah dari pekarangan rumah masa kecilmu, lalu menyisipkannya di sela-sela nisan. Ibu selalu menyenangi bunga soka, bukan? Sengaja aku juga tidak mencabuti akar rerumputan yang mulai tumbuh di permukaan, biar taman Ibu sejuk dan hijau.

Tapi entahlah, Bu, saat itu, di depan gundukan tanah berpasir itu aku seperti tidak mampu berdoa apa-apa lagi. Duh, maafkanlah anakmu ini. Ketika jauh aku menangisimu, tapi ketika dekat lidahku kelu. Doa-doa berputar-putar di kepala, tapi mulut ini tidak mampu mengeluarkan gerak maupun suara. Tidak juga tangisan. Yang ada hanya aku yang bertanya-tanya: sedang apa kau di dalam sana, Ibu? Ceritakan padaku, apakah benar segala amal baikmu menjelma malaikat-malaikat cantik di sekeliling? Apakah Ibu bertemu Mbah Sengut? Apakah benar di sana serupa ruang tunggu berbentuk taman terindah? Apakah tamannya luas dan terang? Apakah di sana ada laut, Ibu?

Tapi Ibu diam, dan aku harus mengerti. Maka aku beranjak dengan sejumput pasir dari tamanmu, menaiki sepeda, lalu berhenti di jalanan masuk desa Pesu. Diam memandangi gunung Lawu, mencari matahari. Setelah itu melarikan hati ke pasar pagi.

Bapak sudah menjenguk Ibu sehari sebelumnya, juga sendirian. Apakah waktu itu Bapak menangis, Ibu? Aku sengaja membiarkannya pergi sendiri, lalu mengajak Kakak memanen buah sawo, memanjat pohonnya yang ada di pinggir rumah Mbah Kidul. Aku ingin Bapak berdua saja dengan Ibu, agar ia bisa leluasa menangis, sambil menderaskan yasin untuk Ibu. Ah, aku rindu melintas ke ruang dapur dan melihat Bapak mengajari Ibu membaca kitab di tempat sholat di rumah kita.

***

Ibu, aku ingin bercerita. Malam sebelum aku menjenguk Ibu, aku berangkat dengan kereta Matarmaja. Di depanku duduk seorang perempuan muda dengan tujuan Kediri. Usianya barangkali baru 20-an. Berat badannya mungkin hanya 3 kg lebihnya dariku. Tapi payudaranya penuh, Bu. Aku bisa melihat itu dengan jelas karena ia memakai kaus ketat, motifnya garis-garis abu-abu dan coklat berhiaskan tulisan bordir ‘hysteric’ di atas payudara kiri. Tampangnya perempuan desa, tapi payudaranya sungguh penuh. Payudara, Ibu. Simbol kewanitaan. Kita berdua perempuan, tapi Ibu tidak pernah mengajariku bagaimana cara memiliki payudara yang penuh. Buah dadaku selalu kuncup, tidak pernah menjadi buah.

Payudara dan rahim. Bersama vagina, keduanya menjadikan kita makhluk perempuan. Bulan Mei lalu aku diajari oleh seseorang yang kaya ilmu tentang makna silaturahim. Shilah al-rahim. Dia bilang shilah bermakna hubungan, dan al-rahim bermakna kasih sayang. Katanya, kitab suci menyebut, silaturahim adalah perintah kedua setelah perintah takwa; keduanya selalu digandengkan, tidak pernah dipisahkan. Dan aku ikut meyakini seperti apa yang dikatakannya.

Membaca silaturahim, aku mengingat sebuah jembatan yang tidak boleh kutengok lagi. Aku melarang diriku sendiri sebab pepatah selalu bilang: berjalanlah ke depan, jangan pernah lihat ke belakang. Dan aku ingin menjadi perempuan kuat, dengan tidak pernah melihat ke belakang sama sekali. Tapi orang kaya ilmu itu membuatku menunduk salah.

Biar kuingatkan lagi Ibu pada seorang ibu baik hati. Ketika terakhir kali aku menemuinya empat tahun lalu, ibu baik hati itu berkata, “Jangan putus silaturahim. Itu dosa.” Aku tidak pernah bercerita tentang ini kepadamu, Bu. Pagi itu aku memeluknya erat-erat, berpamitan, lalu dua perempuan menangis.

Baru pada pertengahan Juni lalu aku memeluknya lagi, kami bertangisan lagi, meski hanya lewat telepon. Tanggal 17, pukul 08.09, selama 6 menit 49 detik. Sepenuh hati aku mengaku padanya, “Aku kangen suara Ibu.” Saat itu suaraku hampir hilang, Bu, sebab yang sesungguhnya ingin kukatakan adalah “Ibuku sudah tidak ada di sini. Jadikanlah aku anakmu.” Lalu kudengar suaranya juga parau, “Main-mainlah ke sini. Anggap saja keluarga.” Oh, kami berdua sama-sama tahu bahwa tentunya tidak akan semudah itu. Andai saat itu aku sudah jadi perempuan berhati kuat yang sanggup main-main ke sana begitu saja setiap ingin, menapaki jembatan rapuh itu lagi, maka aku akan langsung berangkat.

Bu, Ibu pernah bilang padaku bahwa Ibu ingin bertemu ibu baik hati itu suatu hari nanti, ingin membalas kebaikannya dulu terhadap anak perempuanmu ini, ingin membalas pemberian khasnya tiap menjelang Lebaran. Sayang aku tidak sempat mengantar Ibu ke rumahnya. Kalau sempat, mungkin ia akan menyuguhi kita kue bawangnya yang enak itu. Kita berdua, juga semua anggota keluarga yang pernah menikmati gurihnya kue bawang itu, akan selalu mengingatnya sebagai ibu kue bawang yang enak. Dan itu adalah sebuah ingatan yang menyenangkan. Kadang manusia memang harus merasa cukup hanya dengan secuil ingatan yang menyenangkan.

Bu, tetaplah bersilaturahim denganku. Aku ingat, orang berilmu tinggi yang mengajariku silaturahim itu menceritakan bahwa perintah silaturahim tidak hanya ditujukan kepada makhluk di alam fisik, tapi juga di alam ruh. Bahwa silaturahim itu menghubungkan ruh-ruh. Bahwa ruh orang-orang shaleh di alam barzakh itu masih membaca Al-Quran dan berdoa untuk ruh orang-orang yang masih tertinggal di sini, seperti juga sebaliknya. Duh, Ibu, berdoalah untukku. Aku sangat membutuhkan doamu saat ini. Tuhan selalu luluh oleh doa setiap ibu. Berdoalah untukku, Bu. Demi payudaraku, agar tidak membatu. Demi rahimku, agar tidak keburu kelu.

***

Ibu, aku kangen.
Aku ingin peluk Ibu.

***

Radio Dalam, 4 Juli 2007/01.00

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home