30 April 2010

Lalu

Lalu Ayra mulai bercerita padaku tentang yang baru lalu.

“Kukatakan padamu, aku tidak berbohong.”
“Aku tahu.”
“Aku tidak suka berbohong. Dan aku tidak suka dibohongi.”
“Itu pun aku tahu benar.”
“Ini nyata, Suss. Bukan cerita fiksi seperti yang kamu suka. Apa yang akan kuceritakan padamu ini benar-benar nyata telah terjadi,” ucapnya.
“Aku percaya, Ra. Aku selalu percaya padamu. Lalu apa ceritamu?”
“Tentang sebelas.”
“Lagi?"
“Lagi.”
“Memangnya kamu berdoa apa?”
“Aku tidak mengundang apa-apa. Aku bahkan sudah hampir lupa. Sebelas itu datang begitu saja. Bulan ini.”
“Apa kali ini?”
“Bintang.”
“Dia lagi???!!”
“Tak ada lagi yang lain.”
“Berita apa?”
“Bintang meledak lalu mati.”
“Mati lagi?”
“Ya. Mati lagi.”
“Lalu?”
“Lalu sudah. Tinggal debu.”
“Dia bilang apa?”
“Dia bilang yang sudah biarlah berlalu -- tapi tidak dalam arti 'tidak ada artinya', tentu saja.”
“Bagaimana mungkin? Itu dua frasa yang saling bertentangan. Kalimat nihil.
“Nihil?”
“Kalau sesuatu dibiarkan berlalu, berarti sesuatu itu memang tidak ada artinya. Kalau sesuatu masih ada artinya, sesuatu itu tidak akan dibiarkan berlalu. Mengerti, Ayra? Kamu harus pilih salah satu: sudah berlalu atau bukan berarti tidak ada artinya.”
“Pilihan tidak ada padaku. Itu sudah berlalu.”
“Berarti dirimu tidak berarti baginya.”
“Aku harus terima.”

“Sebelas tahun bersamanya, tidak ada artinya.”
“Aku terima.”

"Look. You've been deleted."
"Aku terima."

Nothing ever happened, Ayra. He never loved you."
"Aku terima."

"You are nothing to him.”
“Aku terima.”

"It was all nothing. Everything is nothing."
“Aku terima.”

Lalu Ayra menunduk. Kembali menulis. Kembali membaca.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home