05 May 2011

Ke Laut

Kemanakah air pergi agar ia bening kembali? Ke Laut. Selalu ke Laut.
Malam tadi Ayra pergi ke Laut. Di bibir pantai ia hamparkan sejadah, menyelaraskan tasbih bersama butir-butir pasir, gemerisik dedaunan, deburan ombak, semilir angin, awan tipis, dan taburan bintang. Langit melengkung hijau ungu.

Jauh sebelum Ayra lahir, Seseorang pernah berkisah, seolah-olah memberi pertanda akan apa yang hendak dialaminya berpuluh tahun kemudian. Belakangan Ayra mengerti, Seseorang itu kelak menjadi bagian yang mengalir dalam darahnya begitu lekat.

Laut ini, luas dan dalam, begitu katanya. Sekali menyentuh airnya, kamu ingin berenang. Setelah berenang, kamu ingin menyelam. Sekali menyelam, kamu ingin mengulanginya lagi dan lagi. Semakin dalam menyelam, semakin kamu mengenali isinya. Namun pada saat yang sama, kamu semakin sadar bahwa apa-apa yang kamu ketahui tidak ada apa-apanya dibanding segala yang belum kamu ketahui. Demikianlah, semakin kamu tahu, semakin kamu tidak tahu. Persis seperti sifat ilmu. Meski begitu, kamu semakin kagum pada sesuatu yang tidak kamu mengerti. Pada akhirnya, kamu semakin bersyukur bahwa sesungguhnya kamu tidak tahu apa-apa. Kamu hanya ingin menghamparkan sejadah, bersujud, bertasbih.

Malam tadi Laut menyambut Ayra dengan ramah dan menyuguhinya bulir-bulir air. “Bukalah, ayat 246 surat kedua. Aku ingin bercerita, tentang pentingnya mempelajari sejarah dan memelihara kenangan dari peninggalan-peninggalan lama.”

Satu tetes air terangkat dari permukaan Laut ke udara. Dari kejauhan, 6.235 tetes lainnya ikut mengiringi. Satu-persatu bergetar. Melayang-layang di hangatnya udara. Pelan-pelan berubah bentuk menjadi bulir-bulir air yang bulat sempurna. Ringan. Bening. Bercahaya. Dari dalamnya terdengar suara lembut berdenting-denting. Ayra terkesima.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home