11 April 2011

Menulis

Aku selalu senang melihatmu duduk di situ, di depan balkon lantai dua, di pinggir jendela yang terbuka. Tidak ada meja. Hanya laptop usang yang masih menyala. Kedap-kedip lampu modem. Dan segelas cokelat panas. Kamu duduk begitu saja, bersender ke dinding, berselonjor kaki di atas lantai berkarpet.

Hey, itu karpet biru dariku bukan? Aku ingat, itu hadiah buat ulang tahunmu lima tahun lalu, tepat dua minggu setelah kamu patah hati. Aku juga masih ingat, kamu begitu terpana sewaktu menerimanya.

“Ha? Kok nyambung?! Semalam aku mimpi naik karpet terbang! Warnanya biru, persis seperti ini.”
Tak sabar, kamu segera menggelar karpet baru itu, “Yuk, coba kita merem. Terbang gak karpetnya?” Aku cuma bisa tertawa, kamu selalu bisa membuatku tertawa.
“Gak terbang, tapi empuknya nyaman,” kataku.
“Seperti karpet di mesjid kita?”
“Seperti karpet di mesjid kita.”
Lalu kamu cium pipiku.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home