06 December 2010

Lagu baru

Gara-gara nonton konser KLa Project di Metro TV tadi malam, saya jadi ingat pernah iseng membuat membuat oret-oretan solilokui gendheng sekitar 3,5 tahun lalu dengan latar lagu-lagu KLa, dan tersimpan begitu saja.

Terlalu banyak tulisan saya yang tersimpan begitu saja, tapi saya selalu memelihara rasa percaya pada mereka --tulisan-tulisan saya itu-- bahwa setiap tulisan itu hidup, seperti telur ayam, atau benih pohon dahlia; ia memiliki waktunya masing-masing untuk lahir dan hadir, atau mati. Kadang ia hanya perlu lahir, tanpa harus hadir. Namun jika waktu sudah memanggil sebuah tulisan untuk hadir, tidak ada celah sedikitpun untuk mangkir. Karena ia tidak lain hanyalah makhluk semesta yang diperintahkan untuk hadir begitu saja; menari, menyanyi, di benak, di hati.


Lagu Baru

Klik. Klik. Klik.
Tidak sampai hitungan detik, winamp di laptop saya sudah terisi 39 lagu KLa Project. Dari sudut mata, saya bisa melihat Ayra mencibir. “Oh, please deh… not that old songs.”

Tapi saya sedang ingin mendengar musik, bukannya suara jelek Ayra. Maka volume speaker saya pasang kencang-kencang. Saya juga tidak peduli bahwa ini sudah lewat tengah malam. Toh saya hampir-hampir sendirian di sini. Ayra cemberut. Saya pura-pura tidak tahu bahwa di balik cemberutnya itu tersembunyi sehelai tipis rasa takut-takut cemas. Bagaimanapun, ia hanya seorang perempuan yang dilengkapi naluri ingin melindungi apapun yang dikasihi, meski sering kali ia terlalu tinggi hati untuk mengakuinya.

Tiba-tiba Ayra bertingkah teatrikal.
“Yak, sodara-sodara! Saksikanlah! Sebentar lagi seseorang akan menangis sesenggukan sampai matanya sembab!”
Volume speaker saya pasang pol. Saya tidak perlu balik bicara, karena suara Katon segera membekap mulutnya.

Hey! Angkat wajahmu.
Bermuram durja tak guna.


Musik menghentak-hentak memanggil semangat. Saya mengetik sambil mengangguk-angguk. Sesekali menepuk-nepukkan tangan di paha. Kepada Ayra, saya menjulurkan lidah tanda mengejek.

“Kamu akan menangis di lagu yang satu itu. Percayalah! Matikan sekarang juga! Dan, oh… lagu-lagu lainnya! Meski Tlah Jauh... Tak Bisa Ke Lain Hati... Terpuruk… Come on, stupid! Shut it down!”
Ayra bersikeras. Saya bersikukuh.

Klik. Saya berpindah lagu. Bahagia Tanpamu.
“Aku bahagia tanpamu, Ayra!” Saya hampir kaget dengan teriakan saya sendiri. Ternyata lantang juga.

“Yeah, sure. Coba klik lagu itu kalau berani,” tantangnya.
“Nanti. Saya mau habiskan dulu yang ini.”
“Alaaah… alasan. Bilang aja nggak berani,” mulutnya mencibir lagi.
“Heh! Siapa takut?!”
“Oya? Yakin?” Dalam sekejap jarinya sudah menekan menu play untuk sebuah lagu. Petikan gitar di intro lagu itu saya nikmati betul, namun dengan segala antisipasi.

Musim penghujan hadir tanpa pesan
Bawa kenangan lama tlah menghilang


Saya terus mengetik. Gerimis terus mengalun. Satu-satu benda mulai menyeberangi monitor laptop saya. Apa saja yang bisa dibawa sebuah lagu yang hanya berdurasi 4 menit 58 detik? Sofa coklat di pekarangan rumah. Daun belimbing luruh. Bungkusan koran berisi gelondong kayu unik panjang berlubang, kayu kukun namanya. Dua buah kaset KLakustik...

Saya terpaksa mengambil kertas tissue halus untuk membersihkan monitor. Masih banyak jejak benda-benda lain berseliweran di sana. Potongan tiket konser di Sabuga. Artikel jelek di tabloid seumur jagung. Baju merah marun. Jaket jeans coklat buatan Korea yang terdampar di Cimol. Duh. Monitor di depan saya mulai bergaris-garis. Persis seperti rintik-rintik hujan tipis. Ada jantung berdebar. Ada wajah yang datar. Segera saya menghidupkan wiper.

Ayra mengambil kursi di sudut ruang dan menggesernya tidak jauh dari saya.
“Ternyata matamu indah juga ya? Tampak bersinar. Seperti terbuat dari kaca. Ataukah… hey, matamu berkaca-kaca! Hahaha… Menyerah?”

Tidak. Kali ini saya tidak akan membiarkan Ayra menang. Ini saatnya mencari tahu apa yang bisa dilakukan oleh isi batok kepala yang katanya punya kemampuan tidak terkira itu. Segala emosi adalah ulah segala satuan hidup mikroskopik berupa sel-sel tubuh yang punya sistem biologisnya sendiri-sendiri. Mereka diberi makan oleh beragam hormon yang diproduksi sebuah pabrik kimia menakjubkan di dalam batok kepala bernama hypothalamus. Emosi hanyalah aliran zat-zat biokimia yang mencari wujud zahirnya. Maka demikianlah rasa. Sekarang tinggal urusan kepada siapa saya akan menyerahkan kendali, kepada kemauan sel-sel yang serba menuntut itukah, atau kepada saya.

Saat itu, Ayra tidak tahu bahwa ada sebuah suara bernama ‘saya’ sedang berkata-kata kepada saya.

Lagu adalah lagu. Tidak kurang tidak lebih. Kamu mengenal 39 lagu ini jauh sebelum mengenal segala rasa yang kamu timpakan padanya di kemudian hari. Lagu-lagu tak punya dosa. Buat apa kamu hukum mereka? Segala emosi yang terbawa bersamanya hanyalah perhiasan yang kamu kenakan. Perhiasan –kalung, cincin, gelang, anting-- semua bisa kamu lepas untuk dipakaikan ulang pada perempuan yang berbeda-beda, bukan? Itulah sebabnya mengapa ada seorang laki-laki bisa memetik dawai-dawai gitar yang sama dan menyanyikan lagu yang sama untuk perasaan yang sama terhadap perempuan yang berbeda-beda. Rasa adalah perhiasan tanpa pemilik tetap yang bisa dengan mudah kamu pindah-pindah tempatnya. Sangat cepat secepat bunyi klik. Kalau kemudian perhiasanmu dipreteli orang, bukankah itu berarti kamu kembali menjadi manusia polos murni? Sebuah karya seni abadi?

Saya menengok Ayra. Ia duduk bersilang kaki menyeruput kopi. Mengamati saya yang mengatakan padanya, “See? Not a single tear drop.”
“Lagunya belum selesai,” sergahnya sok tenang sok menang.

Tapi tak lama kemudian Gerimis selesai dan kaca-kaca di mata saya tidak ada yang jatuh pecah. Ayra terlihat tak percaya, antara kecewa dan lega.

Saya ingin Ayra betul-betul percaya. Saya sayang dia, karena hanya dia satu-satunya yang selalu ada bersama saya dalam keadaan apapun. Maka, klik, saya putar ulang Gerimis. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Lagi. Lagi. Lagi. Hingga yang tersisa dari lagu itu tinggal koreografi musik dan kata-kata semata. Murni karya seni.

Diam-diam saya berharap semoga dengan cara ini semua lagu bisa kembali sesederhana itu. Ya, semoga saja. Malam ini, perjalanan untuk telinga saya berakhir di lagu Semoga. 39 lagu selesai sempurna. Tepat ketika pagi membuka hari, saya hadiahi telinga saya sebuah Lagu Baru. Apakah ini menjadi pemula atau pamungkas, tidak lagi penting. Lalu stop, clear playlist. Dalam sepersekian detik KLa Project lenyap, namun saya tahu, hati saya tidak lagi senyap.

***

Untuk sebuah kata ‘klik’ yang selalu ajaib
Jumat, 8 Juni 2007 00.38 – Kamis, 14 Juni 2007 06:12

Dan saya baru tahu malam tadi, seorang teman memberi tahu bahwa lagu Gerimis itu ada video klipnya, modelnya Dian Sastro waktu masih kencuuuur haha. Nih, katanya. http://www.youtube.com/watch?v=tkr9hz17F3Q

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home