23 May 2007

Pasir (3)

Pasir Episode 3

Rumah Pasir


Ayra tidak merasa harus minta ijin siapapun untuk membawa botol-botol mungilnya kemanapun dia pergi. Juga saat ia datang berkunjung ke apartemenku malam itu.

Kuperhatikan Ayra mengeluarkan beberapa botol kaca kecilnya dari tasnya. Tingginya kira-kira 3 cm, berisi butiran-butiran pasir. Tanganku kontan meraih salah satunya. Kulihat wajahnya begitu bercahaya ketika menjelaskan, “Yang ini pasir Pantai Pangandaran --tiga kali aku ke sana, di pasir putihnya itu ada campuran serpih-serpih hitam. Unik sekali. Yang abu-abu itu dari Pantai Baron. Nah, yang kamu pegang itu dari Pantai Kukup. Yang seperti kerikil-kerikil bulat itu dari Pantai Krakal. Aku kira itu bukan pasir, melainkan timbunan telur-telur binatang laut yang gagal menetas lalu menjadi fosil. Tapi entahlah, aku bukan ilmuwan biota laut, rasanya sudah berabad-abad lalu kumimpikan profesi itu. Ah, sudahlah. Lalu yang sangat putih dan halus ini dari Pulau Bidadari.”

“Sekedar memorabilia? Atau apa?”
“Sabar, aku belum selesai. Lihatlah, meski beberapa pantai itu sama-sama dikatakan pantai pasir putih, tidak ada pasir yang putihnya persis sama, bukan? Setiap pantai punya kisah hidupnya masing-masing, dan hamparan pasirnya menyimpan cerita berharga. Kadang-kadang air laut atau angin berbaik hati menawarkan bantuannya untuk mengikis timbunan pasir tertentu di suatu pantai hingga akan tampaklah kotak-kotak kisah yang sengaja ditimbun orang di sana. Andai kamu tahu, betapa banyak orang yang senang mengubur kisahnya di balik hamparan pasir pantai. Betapa bodoh. Besok seharusnya aku sudah dalam perjalanan menuju Ujunggenteng. Orang bilang pantainya indah sekali. Tapi sayang aku tidak bisa pergi.”

Aku tidak tertarik untuk bertanya kenapa ia tidak bisa pergi ke Ujunggenteng. Aku lebih tertarik untuk bertanya, “Botol-botol pasirmu itu, mereka juga punya kisah?”
“Hm,” jawabnya pendek.
“Dan cuma botol-botol pasir ini isi tasmu?”
“Ya. Dan selalu kubawa kemanapun setiap hari,” jawabnya.
Aku... Aku seketika kehilangan kata-kata.

Di atas meja tidak tersisa lagi brownies-kering-berbahan-singkong yang bisa memberikan gula dan karbohidrat untuk pasokan oksigen bagi otakku yang kehilangan cara memahami pikirannya. Aku seruput saja kopi tubruknya tanpa pikir panjang. Tapi bukankah tadi kopi tubruk itu kubuat tanpa gula? Kupret!

“Aku selalu ingat kata-kata seorang teman,” ujarnya, menghentikan niatku yang hendak beranjak mengambil gula, “tapi kini ia menghilang entah ke mana. Kamu masih ingat Si Lelaki Tengah Malam, bukan? Dia pernah bilang padaku: hidup kita saat ini layaknya seperti orang tidur saja. Maka selagi masih tidur, bermimpilah sepuasmu. Bermimpilah…

Kalimat itu memicu sederet pertanyaan yang seketika berbaris tepat di atas ubun-ubunku, mengantri untuk masuk ke dalam kepala satu-satu. Kalau sekarang ini aku sedang tidur, jam berapa aku boleh bangun? Berapa jam lagi sisa waktu tidurku? Adakah seseorang yang sedang bermain-main dengan putaran jam tidurku? Bolehkah aku protes bila jam tidurku dipotong atau bahkan diperpanjang oleh seseorang itu? Bagaimana aku akan dibangunkan? Siapa yang akan membangunkanku kalau aku pergi tidur di rumah yang cuma kutempati sendiri? Kalau aku sudah bangun, lalu apa? Bolehkah aku tidur lagi? Atau kemudian jamnya mati? Kalau jamnya mati karena baterainya habis, bagaimana? Apakah aku akan tidur selamanya? Di sini? Oh tidak!

Cukup lama pertanyaan-pertanyaan itu berderet di depan pintu kepalaku. Mereka mengetuk-ngetuk meminta masuk. Tapi aku sedang tidak ingin peduli dengan tamu-tamu maya tak diundang itu. Ada tamu yang lebih nyata bernama Ayra di depanku. Kuperhatikan lama-lama mereka tidak lagi berbaris dengan rapi. Masing-masing pertanyaan mulai tidak sabar meminta jawaban dan mulai bergerombol. Mereka menggedor-gedor pintu. Mereka mengacungkan tinju. Aku makin tidak peduli, karena mereka sungguh tidak sopan. Mereka harus diberi pelajaran tentang aturan, tegasku. “Hey, kalian! Pikiran-pikiran! Tidak cuma aku, pikiran juga harus tertib, tauk!” teriakku pada mereka. Aneh, cuma sekali teriak dan gerombolan pertanyaan itu tampaknya tahu diri. Mereka mengangguk seolah menghaturkan tabik, lalu berbalik satu-satu. Tangan-tangan yang tadi ramai mengacungkan tinju, merontokkan diri di tengah jalan yang juga seketika menghablur jadi alur-alur asap tipis.

Ah, ternyata semudah itu menghalau pikiran. Aku menarik nafas lega, dan berpaling pada Ayra yang sepertinya sadar bahwa aku tidak bersamanya selama beberapa detik tadi.
“Apa mimpimu?” tanyaku, mengingatkan diri pada pertanyaan yang sama sesaat sebelum dia memamerkan botol-botol pasirnya itu.
“Sebuah rumah sederhana di tepi pantai yang bersih.”
“Oya? Apa saja yang akan kamu lakukan di sana?”
“Apa saja? Seluruh hidupku!”

Aku tidak tahu, apakah telingaku yang mulai berdenging ataukah suaranya yang mulai menjadi samar. Tapi yang kudengar berikutnya tak lain seperti gumaman orang mabuk. “Sehabis bangun aku akan lari pagi atau bersepeda sepanjang pantai. Siang hari mengurusi toko handicraft kecilku. Atau menyibukkan diri di ruang workshop. Melukis, mengedit film, mencetak buku, apapun. Dan aku melakukan semuanya sambil mengawasi anakku satu-satunya. ”
“Perempuan?”
“Perempuan, tentu saja. My little Ayra, kepada siapa seluruh sari hidupku akan kuteteskan.”
Yeah, I thought so. Lanjut.”
“Menjelang sore adalah waktu untuk rutinitasku yang lain. Aku akan pergi ke pondok yang kubangun di pinggir pantai untuk berbagi ilmu, pengalaman dan keterampilan hidup dengan siapapun yang mau berbagi --pejalan kaki sekalipun, lalu sesudahnya bermain snorkeling atau diving barang 2 atau 3 jam –oya, tentu saja aku akan membawa anakku ikut serta untuk hobi yang satu itu.”
That’s great. Lanjut” (Betapa menyedihkan bahwa kita tidak mempunyai pilihan lain selain mengatakan 'lanjut')

Kepalaku pening. Lampu kristal di atasku seperti sedang menguap.
Suara Ayra kudengar makin samar. Jauh. Tapi ia masih 'lanjut'.
“Waktu ashar akan kunikmati untuk menyaksikan pergantian shift malaikat-malaikat penjaga siang dengan malaikat-malaikat penjaga malam di pinggir pantai –-ng… membuatmu teringat sebuah adegan di film City of Angel kan? Hahaha… Ok lah, untuk yang ini aku memang ‘sedikit’ terinspirasi. Lantas aku akan menutup hari bersama sepotong sunset. Kamu tahu, setiap sunset memiliki kadar goresan kuning-merah-emas yang selalu berbeda dari waktu ke waktu. Kadang-kadang kamu bisa melihat sedikit sapuan hijau. Menakjubkan. Bisakah kamu bayangkan betapa khidmat bersujud dengan sejadah di atas pasir pantai, bersama-sama dengan sujudnya debur ombak, hilir angin dan matahari terbenam yang selalu berubah warna? Ah… membayangkannya saja aku sudah ingin menangis… Rasanya begitu dekat, tapi juga begitu jauh… ok, cut! Malam hari, aku akan bercengkrama lagi dengan anakku, belajar tentang Kitab Suci bersama-sama lalu membacakannya National Geographic dan Mare sampai ia tertidur pulas. Setelah itu baru aku akan berdiam lama di ruang pribadiku yang sengaja kurancang tanpa atap tanpa dinding di lantai atas, agar angin, gelap malam, bintang, serta bulan sabit ikut mengamini ketika aku membacakan kepada Yang Maha tentang laporan neraca waktuku yang telah terpakai seharian. Selebihnya aku ingin menulis, menulis, dan menulis … ditemani debur ombak hingga dinihari.”

Rasanya aku mulai limbung dan perutku terasa mual-mual. Mimpi Ayra tiba-tiba menjelma lelucon yang tidak lucu. Dan rasanya ia belum cukup menjelaskan leluconnya itu padaku.
“Oya, setiap akhir minggu aku akan pergi ke kota, mengajak anakku mengenali museum, galeri, menonton pagelaran budaya, seni, musik, dan…”
“Java Jazz?” potongku segera. Aku tidak ingin benar-benar muntah di depannya.
“Oh, pasti! Kalau Om Peter masih kuat mengadakan perhelatannya. Dan konser Cranberries, tentu saja --kalau Dolores masih betah bernyanyi.”
You’re so deranged, you know that?”
I am. I know I am.”
“Tuhan… dengan keadaanmu sekarang, mimpimu terlalu filmis, Ra! Lupakah bahwa kamu saat ini hanya seorang penganggur yang mencoba bertahan hidup sebagai pemulung paruh waktu?”
“Hey! Hidupku memang sudah terlanjur filmis. Dan aku cape menjadi pemain dengan akting buruk. Sekarang aku ingin menjadi sutradara, meskipun amatiran. Tidakkah kamu sadar, kita ini sama-sama pemain yang diberi sedikit pengetahuan untuk menulis skenario dan menyutradarai. Lantas di tangan siapakah yang mungkin dan tidak mungkin itu berada?”
“Ya ya ya. Tapi ada satu hal yang kau lupa, Ayra.”
Shoot!”
“Kalau di sana ada anak, di mana kau simpan suamimu?”
“Hahaha… Aku lupa! Haruskah selalu ada?”


Cut!
Bukan sebuah tamat, hanya saja tidak akan ada episode empat.


***


Pasir’, setitik benih yang pertama kali tumbuh 3 Maret 2006 / 02.28,
berkembang tanpa pupuk, bercabang tiga, dan meminta haknya untuk dipetik tadi malam.


0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home