22 September 2006

Kosong


Kata-kata itu racun.- Gede Prama –
Bentara Budaya, Minggu siang, 27 Agustus 2006

***

04.14
Tidak ada yang bisa menyuruh Ayra untuk segera pergi tidur. Tidak kokok ayam jantan, tidak juga derit roda gerobak tukang sayur kesiangan yang melintas di depan kamar, apalagi kalau cuma tiktaktiktak jarum jam. Akibatnya –seperti biasa-- perempuan setengah waras itu berenang-renang lagi di alam bawah sadarnya, sekedar untuk menghela waktu agar ia bisa membohongi diri bahwa siang bisa datang lebih cepat daripada biasa.

"Aku tak tahu apa-apa lagi."
"Kamu tidak harus tahu tentang segala hal."
"Tapi aku butuh untuk tahu."
"Tentang?"
"Semua.”
"Itu sulit."
"Ng... ok, banyak hal."
"Masih sulit."
"Hhh... ok, ok, beberapa hal."
"Sebutkan satu dulu. Bisa?""Aku coba."
"Misal?"
"Dia."
"Dia?"
"DIA."
"DIA??? Itu semua hal!!!"
"Lalu?"
"Kok lalu?"
"Aku harus bagaimana?"
"Bacalah."
"Sudah. Kepalaku sampai sesak."
"Kalau begitu tulislah."
"???"
"Tulislah, dan kamu akan membaca."

Tapi Ayra tak menemukan satupun buku kosong di kamarnya. Bahkan tidak selembar kertas. Mata lelahnya itu ia paksa berkeliling menyapu ruangan sambil mengingat-ingat, adakah ia lupa bahwa beberapa hari lalu pernah membeli notes kecil untuk catatan pengeluaran (yang sebetulnya tak terlalu penting untuk dicatat --bahkan bisa jadi tak penting sama sekali, ah sudahlah).

Dibukanya segala macam laci-laci, tapi tak ada notes kecil di di sudut manapun. Kalaupun ada, semua lembarnya sudah penuh dengan coretan. Kata-kata. Angka-angka. Makna-makna? Daftar harian what-to-do, benih-benih ide, list buku yang ingin dibeli, jumlah rambut rontok hari ini, pengeluaran harian, judul film yang belum sempat ditonton, pemasukan dan zakat yang harus dibayar, penggalan-penggalan kutipan ternama, sketsa rancangan cafe buku mini, pertama kali nonton di 21, kata-kata aneh, tanggal ulang tahun penting, agenda acara seni budaya minggu ini, pertama kali makan di Pizza Hut, data perkembangan kemunculan jerawat, catatan percakapan sms dan semua report-nya. O, God, am I insane? Are You insane?

Kertas-kertas itu sudah penuh semua. Tulisannya kecil-kecil. Hampir berupa corat-coret seenaknya. Sesak. Padat. Rapat. Melihatnya kembali, Ayra seakan diingatkan tentang betapa rakusnya ia pada kertas. O, kayu... berapa ribu batangmu sudah tumbang untukku? Sedetik ia sempat tergoda untuk menyortir notes-notes yang sudah terlalu lawas untuk dibuang saja. Tapi sayangnya dia bukan tipe perempuan yang suka membuang sampah sembarangan dan kali ini memang fokusnya sedang mencari kertas kosong untuk segera ditulisi, bukan untuk membuang-buang waktu mengurusi sampah. Hm, bernarkah semuanya sampah? Apakah sejarahmu hanya sampah, Ayra?

Tak peduli, perempuan setengah waras itu mencoba menepis pikirannya dengan beranjak dari satu sudut kamar ke sudut lainnya. Cuma selembar kertas kosong saja! Ayolah, batin Ayra. Lalu entah bagaimana, Cahaya menuntunnya matanya ke arah kotak kayu berkunci, tempat Buku Besarnya aman tersimpan. Dan sesuai namanya, itu memang Buku Besar, tebalnya 29.000 halaman. Jadi setebal 38 kamus umum Italia-Indonesia-Indonesia-Italia ditumpuk jadi satu sekaligus. Aha, undici! Kamu boleh senyum sekarang, Ra. Hey, tidakkah kamu jadi teringat kota air Venesia?

Nanti, suatu hari, tepis Ayra, karena seketika ia disibukkan dengan ingatan bahwa ia pernah menyelipkan lipatan kertas kosong di Buku Besar itu sebagai pembatas buku darurat, tapi tidak ingat di halaman mana. Terdesak keinginan menulis, ia meraih Buku Besar nan berat itu. Sampul hard covernya dia pegang dengan kedua tangan, lalu dibaliknya halaman-halaman Buku itu menghadap lantai. Dari ketinggian kira-kira satu meter, Ayra susah payah menggoyang-goyangkan Buku itu, memaksa agar kertas terselip yang ia cari itu meluncur jatuh.

Pluk!
Bukannya kertas jatuh yang mendarat di ujung kakinya, melainkan sekeping kata berwarna putih: KERTAS. Dan sebelum kerut di keningnya menghilang, sebuah kata jatuh lagi: TINTA. Kali ini warna hurufnya hitam. Ayra terpaku, tapi kata-kata berwarna-warni semakin deras berjatuhan dari halaman-halaman Buku Besar itu. RUMAH. LAHIR. JULI. JEMBATAN CINCIN. KUBURAN. MEI. BELIMBING. SEBELAS. PULANG. AIR. LAUT…

Segala kata… Hujan kata… Tumpukan kata-kata makin berserakan, menutupi hingga ke mata kaki, naik hingga betis, lalu ke lutut, terus… terus…

CINTA –warna merah. CINTA –jingga. CINTA –kuning. CINTA –hijau. CINTA –nila. CINTA –ungu. CINTA –hitam. CINTA –abu-abu.

Apakah cinta, Ayra?
Ayra tidak ingin menjawab, dan melemparkan pertanyaan itu pada CINTA, tapi ia juga ikut bungkam. CINTA malah melemparkan Ayra ke sebuah percakapan dinihari yang tidak disengaja, pekan lalu.

+++ : I don't believe in LOVE and stuff
+++ : cinta itu,
+++ : cuma bisa-bisanya kapitalis penjual bunga.
+++ : I don't believe in love.
@@ : someday I'll make you believe :)
+++ : tuh kan flirting2 lagiiii :p
+++ : :))
@@ : HAHAHAHA....
+++ : sejak dia pergi, saya udah susah. bakal susah BANGET
@@ : I said I'll make you believe. Someday. :)
+++ : Yeah, someday would be great.


Dan kata-kata seketika berhenti berjatuhan.
Ayra membalik Buku, diamati halamannya satu-persatu. Bersih. Buku Besar itu telah merontokkan semua kata dalam dirinya, kecuali satu. Sebuah kata yang sama di halaman paling depan dan paling belakang. Di atas kertas berbahan aspal itu masih tercantum kata CINTA –warna putih, dan sebuah logo Kerajaan Termegah berwarna hijau dengan pinggiran keemasan yang indah. Ayra menggigil.

Dilihatnya seluruh ruang kamar, mencari-cari selimut. Tapi yang tampak hanya segunung kata-kata. Berwarna warni. Dan entah apa yang membuatnya berpikir bahwa sewaktu-waktu angin bisa nyasar masuk lalu menerbangkan semua kata-kata itu, sehingga Ayra segera mengambil plastik hitam besar yang biasanya ia pakai untuk menampung sampah. Brug brug brug. kata-kata berpindah tempat ke dalam plastik. Lalu cepat-cepat diikatnya dengan tali tambang.

Namun kata-kata itu ternyata hidup! Di dalam plastik mereka bergerak-gerak seolah saling mendesak untuk membebaskan diri. Ayra mendengar suara nafas terputus-putus dari dalamnya. Sesak. Berat. Dan, cakar! Dinding plastik itu dicakar-cakar dari dalam!

Ayra benci panik, tapi saat itu ia sudah tidak bisa lagi memilih untuk tidak. Khawatir mereka mati, ia segera mengambil tampah bundar besar, menuang segunung kata-kata itu ke atasnya, dan membawanya ke kebun belakang.

Belum sempat paniknya hilang, Ayra dibuat tertegun begitu kedua tangannya bergerak sendiri tanpa ia kehendaki. Lucunya, gerakannya tidak kaku seperti gerakan yang dipaksakan. Tapi luwes. Sangat luwes. O, Jagad Dewata! Ia terpana demi melihat tangannya sendiri bergerak ke atas ke bawah berulang-ulang sambil memegang tampah, persis seperti ibu-ibu petani yang sedang menapi gabah di sawah, membiarkan semua gabuk terbang terbawa angin, agar hanya menyisakan beras bersih yang layak ditanak.

Lantas sebagian kata-kata 'gabuk' itu menggeliat, menjadi ringan, dan pelan-pelan membentuk dirinya menjadi kupu-kupu hitam, beterbangan mengikuti arah angin dini hari yang seakan menuntun mereka pulang ke sarang kegelapan. Mereka: LUKA, SAKIT, AIR MATA, PAHIT, PERIH, PEDIH…

Mereka terbang, dan mengajak Ayra ikut terbang, tapi ia menolak. Dan lamat-lamat Ayra mendengar mereka lirih bersenandung,

temukan diri dalam dunia
tak terkira
semua mati dan menghilang
terlalu pagi temukan arti

Ah... lagu itu. Seketika potongan-potongan liriknya membentuk sebuah layar. Sebuah episode yang belum lama ini berulang-ulang kali dilakoninya, kini menjelma di sana. Dirinya, hampir setengah sebelas malam, sering kali bahkan hampir jam satu pagi, berjalan kaki, sendiri, ingin menjerit.

coba untuk ulangi apa yang terjadi
harap kan datang lagi
semua yang pernah terlalui

Sebetulnya, bukan jarak yang terlalu jauh. Hanya tiga perempatan dan tiga potong jalan lurus. Di layar Ayra masih saja berjalan. Lurus-lurus. Lalu Ibu muncul, katanya, “Tetaplah lurus, Anakku, biarpun sepi. Terlalu banyak berbelok akan membuatmu pusing. Kamu tahu, belokan itu anomali.” Tapi jalan lurus itu sepi sekali, Ibu. Sepi... Waktu, cuma waktu yang berhasil mengajak Ayra terus berjalan.

bersama alam menempuh malam
walau tak pernah ada kesempatan
terjebak dalam jerat mengikat
namun tekad nyatakan bebas

Berjalan... makin cepat... makin cepat... Jeritannya tahu-tahu sudah hilang ditelan sepi malam.

peduli apa terjadi
terus berlari tak terhenti

Lantas layar meluruh seiring punggung yang menjauh, tanpa sempat memunculkan kata “The End”.
Tangan Ayra sudah berhenti menapi sejak tadi. Pada kupu-kupu hitam yang beterbangan, Ayra ikut mengantarkan sisa-sisa lagu. Sekedar untuk mengatakan selamat jalan pada mereka.

temukan diri dalam dunia
tak terkira
tak berarti, tak akan pasti
terlalu gelap
pergilah pulang...

Hampir pagi, dan serombongan kupu-kupu hitam telah pulang ke sarang. Kini tinggal Ayra, 29.000 lembar halaman kosong Buku Besar, dan sisa setampah kata di depannya. Aku, di sini, dengan sebuah pertanyaan mengganggu untuknya, "Ingatkah kamu di mana dulu menyimpan pena?"

***

Dedicated to Ramadhan.
(Firstly written on May 19th, 2005/11.07 a.m.,
especially developed for a sleepless man and a cup of tea
in an attic room with a CITY LIGHTS view)

7 Comments:

Anonymous Anonymous said...

bagus banged, bu!
masih berkutat pada masalah yg sama? atau bayangan yg sama? ^_^

25 September, 2006 22:12  
Blogger kuyazr said...

eh..kayaknya kenal lirik itu...pure saturday ya?...salam ya buat mereka...

28 September, 2006 12:37  
Blogger budibadabadu said...

seminggu telah berlalu, dan tetap saja tak beranjak dari perasaan pertama: speechless. sekali berarti, sudah itu mati, mengutip bung chairil.

29 September, 2006 17:42  
Blogger wulan said...

hai susi ini wulan jurnal 95, wow blog nya bagus sekali. Jadi keingetan beberapa baris di prosa nya Neruda: The Struggle to Hold on to Memory. Gini nih katanya: And somehow I know they have changed to remain the same, they have spoken only to become silent, they have opened astonished eyes to the celebration of the stars only to close them and remember...

04 October, 2006 00:52  
Blogger konnyaku said...

the post killed me.

09 October, 2006 01:38  
Anonymous Anonymous said...

merinding bacanya..
kebayangkan pedihnya terhunus kata-kata..

10 October, 2006 11:20  
Anonymous Anonymous said...

sussy banggggeeeuuud!!!
-cax-

14 October, 2006 15:13  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home