22 May 2006

Pasir

Ayra datang lagi. Kali ini dengan sebuah keputusan besar: membebaskan raganya untuk kembali diciumi matahari dan bulan –sepuasnya. Ya, usai sudah perang akbar Ayra, dan ia tak ingin peduli siapa menang siapa kalah. Tujuh tahun sungguh bukan waktu yang murah baginya. Keputusan sudah diambil dan Ayra tidak punya waktu lagi untuk mendengarkan mereka yang memuji, apalagi yang memaki.

Ayra datang lagi, dengan rambut yang ternyata sudah bertambah panjang 11 cm. Baju-bajunya yang berlengan pendek mulai ia pakai lagi, dan siapapun yang pernah mengenalnya pasti bisa melihat bahwa kulitnya kini tampak lebih cerah dan sehat. Kadang Ayra berpikir, “Ada bagusnya juga. Selama tujuh tahun ini kulitku terawat dengan sendirinya tanpa perlu budget bulanan untuk krim sunblock ataupun lotion khusus dengan uv protection.” Tapi tujuh tahun sungguh bukan waktu yang murah, batinnya lagi.

Malam masih muda dan Ayra baru saja pulang dari salon kecantikan untuk urusan facial dan creambath. Buat agenda minggu depan, ia sudah bikin appointment dengan dokter gigi kenamaan di kotanya. Belakangan ini Ayra tampak ceria sebab program perawatan intensifnya dengan dokter kulit sudah rampung, dan sebentar lagi rencana lamanya untuk pasang kawat gigi akan segera terwujud. Yiiiiha!

Sebelum keputusan raksasa itu, Ayra sudah terlebih dulu mengambil keputusan lain yang tidak kalah penting: mundur dari pekerjaannya yang membelenggu. Ia merasa sudah punya cukup tabungan untuk menebus kembali diri yang tergadai. Kini Ayra ingin kembali bekerja dengan jiwa bebasnya. Sepenuh hati. Sepenuh raga.

Malam itu agak dingin dibanding biasanya. Ayra mengenakan turtle-neck sweater warna hijau alpukat dengan rok putih selutut ala hippie-gipsy. Di pinggangnya melingkar tali kulit tipis warna coklat muda berhias pecahan batu alam di sela-sela anyamannya. Kedua ujung tali ia simpul ringan di sisi kanan dan sisa talinya ia biarkan menjuntai begitu saja. Rambut diikat ke belakang sekenanya, menampakkan sedikit bagian dari lehernya yang luput tertutupi kerah sweater dan sepasang anting melingkar di telinga. Kalau ada yang memperhatikan kalung manik-manik bergaya etnik yang menjuntai di dadanya, itu ia rangkai sendiri dengan meminjam mesin bor halus dan tang kawat khusus milik kakak perempuannya yang juga seorang dokter gigi -- kini buka praktek di sebuah desa terpencil.

Betul, malam itu Ayra tampak cantik sekali.
Wangi pula. Wangi aroma lilly.

Entah darimana datangnya, seorang nenek asing terbungkuk-bungkuk menghampiri ketika ia melintas di jembatan penyeberangan jalan.
“Kamu cantik, Nak,” sapanya.
“Terima kasih. Nenek juga manis,” balas Ayra sambil mencolek pipi si Nenek dengan riang.
Ayra mungkin cantik, tapi kadang-kadang ia bosan menjadi perempuan pengikut tetek bengek tata krama sopan santun kromo inggil segala macam itu.
“Lemparkan padaku satu pertanyaan dan kamu akan terbebas dari segala keinginan yang menyiksamu,” lanjut si Nenek seakan tak peduli dengan colekan di pipi kirinya.
“Tidak, Nek. Semua keinginan sudah kulepaskan, jadi tak ada lagi yang bisa menyiksaku.”
“Sudahlah, aku tahu. Tak ada gunanya membohongi diri sendiri.”
“Sungguh, Nek,” ucap Ayra menegaskan, “tapi baiklah, kalau Nenek memaksa. Barusan Nenek bilang aku cantik. Lalu laki-laki bodoh mana yang berani bilang bahwa aku tidak cukup cantik untuk jadi pacarnya?”
Si Nenek terkekeh.“Tanyakan pada dirimu sendiri, siapakah yang lebih bodoh?”
Lantas dalam hitungan detik suara nenek itu berubah jadi lain, “Look at you, honey, untuk apa semua ini? Kamu sudah punya inner beauty.”
Hampir saja Ayra terbahak mendengarnya, tapi ia tahan juga. “Inner beauty in term of 3B, Nek?” balas Ayra pura-pura tak mengerti. Tidak ada jawaban, si Nenek melengos begitu saja. Ketika ditengok, nenek itu sudah berada 700 meter di belakang Ayra, berjalan tegak dengan langkah gagah menuju istana nan megah yang tiba-tiba menjelma di ujung jembatan.

Dan Ayra berlalu sambil tertawa dengan berbagai warna rasa. Hahaha… hihihi… hehehe… huhuhu… hohohoooo!


Cut!
Pasir Episode 1 “On the Way”
will be continued to Pasir Episode 2.

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Entah darimana datangnya, seorang nenek asing terbungkuk-bungkuk menghampiri ketika ia melintas di jembatan penyeberangan jalan.
“Kamu ganteng, Kek,” sapanya.
“Terima kasih. Nenek juga manis,” balas Kakek sambil mencolek pipi si Nenek dengan riang.

Hihihihii...seharusnya kaya gitu.

23 May, 2006 16:14  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home