28 May 2007

Ayra beranak setiap hari

Ayra beranak setiap hari. Satu, dua atau tiga. Kadang-kadang sampai empat, tapi ini jarang sekali karena empat adalah salah satu dari beberapa angka istimewa buatnya, dan yang istimewa tentunya tidak datang setiap hari bukan? Konon angka empat bisa berarti awal kehidupan, karena ruh ditiupkan ketika janin berusia empat bulan. Tapi konon juga, angka empat buat orang Tionghoa berarti kematian. Meski Ayra percaya dengan keajaiban angka-angka dan selalu ingin tahu tentang hidup dan mati, ia masih cukup waras untuk tidak mengharapkan kehidupan dan kematian datang berebutan menjemputnya tiap hari. Lagipula, melahirkan empat bayi dalam sehari sungguh-sungguh melelahkan.

Setiap hari Ayra berangkat ke luar rumah. Bisa ke mana saja, tidak pernah ada yang tahu ke mana ia pergi, bahkan dirinya sendiri. Karena bisa saja Ayra sedang menuju ke sebuah arah, tiba-tiba handphone mungilnya bergetar dan saat itu juga ia harus berbalik haluan.

Lantas setiap sore ia akan kembali dengan janin-janin setengah jadi. Seperempat jadi. Seperdelapan jadi. Semua berdesakan di dalam kantung rahimnya yang cuma satu.

Ayra tidak mengerti bagaimana ia mengandung, sebab perutnya tidak pernah menggelembung, bahkan sebagian teman menyebutnya terlalu kurus. Yang ia tahu, setiap menjelang malam hingga hampir tengah malam ia selalu harus melalui serangkaian proses melahirkan yang berulang-ulang.

Kebanyakan bayi-bayinya lahir lewat celah sempit yang tersembunyi di balik kuku jari-jari tangannya. Beberapa kali pernah lewat rangkaian tulang belakang, lewat serangkaian terowongan gelap yang berakhir di ujung-ujung rambutnya yang panjang, lewat telapak kaki, lewat urat nadi, lewat trachea, lewat mana saja, bahkan lewat pori-pori kulit, tapi tidak pernah lewat vagina.

Seorang pedagogis anak yang baik hati pernah bilang padanya bahwa setiap anak adalah istimewa. Nah, untuk anak-anaknya, Ayra tidak pernah punya waktu mengandung yang sama. Kadang hanya dalam setengah jam ia sudah melahirkan bayi sehat sempurna. Kadang hingga berhari-hari atau berbulan-bulan. Kadang bahkan hingga bertahun-tahun, dan janin itu menetap di sana, tidak pernah menjadi. Bukankah itu istimewa?

Melahirkan bayi-bayi, kadang sulit, kadang semudah bernafas. Seperti bernafas, saking mudahnya, orang sering lupa bahwa ia sedang bernafas. Padahal itu adalah hal terpenting untuk tubuhnya, karena tertahan beberapa menit saja sudah mampu membuat milyaran sel-sel tubuh gagal bekerja. Ayra sering lupa bahwa ia harus melahirkan bayi tiap hari, bahwa berhenti melahirkan bisa membuatnya tiba-tiba mati.

Melahirkan bayi-bayi, kadang semudah bernafas, kadang sulit sekali. Kadang sudah bukaan 10, tapi tidak terlihat tanda kepala nongol. Kadang di bukaan 5 bukan kepala yang terlihat tapi badan, dan kaki entah ada di mana. Kadang baru bukaan 2, bayi sudah menggelontor. Kadang kepalanya nongol lebih dulu, kadang sungsang. Kadang tak ada kepala tak ada kaki, hanya sepotong badan, dan terpaksa dilakukan operasi caesar. Beberapa kali organ tubuh bayinya harus diamputasi di dalam kandungan sebelum akhirnya berhasil dikeluarkan. Bentuknya mengerikan.

Tapi sering pula Ayra dibuat takjub begitu bayi-bayinya lahir, karena kadang mereka lebih pintar dari Ayra sendiri. Malah hampir ajaib. Ada yang bisa bicara begitu dilahirkan, lalu mengajari perempuan itu kata-kata asing. “O, mother, my dear mother… why are you always seem so sullen?”, tanya bayinya suatu kali. Sullen? Ayra malu bertanya pada seorang bayi, maka dia bergegas mencari kamus, menemukan artinya, lalu menuliskan kata itu di buku notes kecil bersampul hijau yang dibelinya khusus untuk mencatat segala kosakata baru yang ia temukan per hari.

Kadang lain, Ayra dibuat terpana demi melahirkan bayi yang datar tak bermimik muka. Kadang bayinya terlahir dengan muka ceria berlebihan serupa badut, kadang murung tak berkesudahan mirip muka pengemis-pengemis palsu. Mereka semua saudara, tapi tidak satupun dari mereka yang punya tampang mirip. Padahal Ayra ingin sekali punya bayi kembar. Ingin sekali.

Pernah ada satu bayi yang protes. Sebuah adu argumentasi memenuhi ruang persalinan yang sempit hanya beberapa menit setelah si bayi dimandikan. Sungguh menggelikan bagaimana bisa tercipta dialog antara antara bayi mungil tak bergigi dengan seorang perempuan yang menatapnya dalam-dalam sambil memikirkan tentang bagaimana bila sampai waktunya nanti ia tak bergigi lagi: masih haruskah ia gelisah tentang belum pergi ke klinik kulit minggu ini karena krim malamnya habis?

“Kamu ibuku kan, Ayra?”
“Hm. I’m afraid so.”
“Boleh kutanya kenapa kau memutuskan melahirkanku ke dunia?”
“Aku tidak memutuskan. Cuma menjalani, lalu melahirkanmu. Sudah tugasku begitu.”
“Tapi begitu kamu tahu aku ada dalam dirimu, kamu selalu punya pilihan untuk tidak melahirkanku dengan mematikan aku, bukan?”
“Kedatanganmu adalah berkah. Mematikanmu mengundang amarah.”
“Klise. Aku tidak mau kamu lahirkan. Tidakkah kamu pernah mempertimbangkan itu sebelum membuatku?'
“Aku tidak pernah membuat. Aku hanya serangkaian mesin. Rahimku adalah pabrik. Tujukan saja protesmu itu kepada yang membangun pabrik. Dan jangan tanyakan padaku siapa dia.”
“Huh! Tipikal omongan manusia yang maunya berbuat lalu lepas tanggung jawab!”
“Terserah. Sekarang toh kamu sudah lahir. Lalu kamu mau apa, heh?”
Bibir bayi mungil terkatup, dan tidak pernah membuka lagi selamanya. Ia memilih bisu. Tapi tidak buta, tidak tuli.

Setiap pagi Ayra berdandan, menyiapkan perlengkapannya, lalu pergi keluar rumah. Bisa ke mana saja, tidak pernah ada yang tahu ke mana ia pergi, bahkan dirinya sendiri. Karena bisa saja Ayra sedang menuju sebuah arah, tiba-tiba handphone mungilnya bergetar dan saat itu juga ia harus berbalik haluan.

Setiap pagi seorang tetangga yang melihat Ayra berangkat akan bertanya.
“Ke mana, Ra?”
“DPR.”
“Lagi? Orang-orang yang suka berbicara itu? Bukannya kamu tidak pernah suka dengan orang yang banyak bicara?”
“Banyak bicara dan banyak cerita adalah dua hal yang berbeda. Mana yang kamu maksud?”
Malamnya, Ayra melahirkan bayi yang buta tuli dan tidak pernah berhenti bicara. Bukan satu, tapi beribu-ribu. Ujung-ujung jari tangan Ayra terasa geli hingga beribu-ribu hari.

Pagi berikutnya.
“Ke mana kali ini, Ra?”
“Kantor asosiasi pengusaha rokok.”
“Oh, jangan! Anakmu nanti seorang perokok!”
“So?”
Malamnya, Ayra melahirkan seorang bayi yang sangat tampan, lengkap dengan kuda gagah seperti gambaran di sepotong iklan Marlboro. Ayra tersenyum kecut. Bayiku akan menjadi seorang koboi pertunjukan rodeo, batinnya.

Pagi berikutnya.
“Ke mana?”
“Pameran handicraft.”
“Oh, hobby lamamu itu.”
“Ya. Sudah lama sekali.”

Hari berikutnya. Kali ini agak siang.
“Ke mana, Ra?”
“Ke bank.”
“Menabung?”
“Menyabung.”

Hari berikutnya. Sudah agak sore.
“Hai Ayra, pergi ke mana hari ini?”
“Ini Sabtu. Aku tidak melahirkan di hari Sabtu.”

Tapi mungkin karena terlalu sering melahirkan, Ayra jadi suka lupa hari. Ia sering terbangun dan spontan melemparkan pertanyaan mekanis kepada dirinya sendiri, “Ke mana?”. Ia membuka HP, mengecek siapa tahu ada SMS undangan. Tapi sebelum menekan menu inbox, di wallscreen-nya tertera: Saturday. Lalu ia tertawa dengan bodohnya, dan kembali meneruskan tidur sampai sore bertemu sore. Lupa makan. Lupa mandi. Lupa hidup. Lupa mimpi.

Kadang lain ia terlalu asik melahirkan, hingga lupa bahwa itu adalah Selasa, ketika biasanya ia akan ingat untuk cepat pulang demi Mondo Groso dan menikmati ‘Trees, Air and Rain on the Earth’ sambil tiduran dan membaca ulang 'Vita Brevis'. “Yang ini untuk Ayra. Nama yang bagus,” kata suara di sana. Ah ah ah... baru kali itu ia merasakan betul bahwa suara anonim itu bisa menjadi begitu personal.

Hari lain ia datang ke sebuah acara di ballroom hotel bintang lima. Di depan pintu ia dicegat Mbak penjaga berwajah manis dengan sebuah pertanyaan kaku serupa palang pintu, “Darimana, Mbak?”

Ayra tidak suka menggantungkan ID card di leher seperti kebanyakan orang yang datang ke sana, “Seperti kalung anjing,” pikirnya ketika dicobanya suatu kali. Kepada Mbak manis itu Ayra tidak bicara, cukup dengan sedikit menggerakkan otot-otot di sekitar ujung bibirnya, menunjukkan ID card yang tali pengaitnya –alih-alih ia gantung di leher-- ia lilit saja di tangan kiri, lalu palang pintu dibuka.

Ayra melenggang masuk, duduk di salah satu deretan kursi berbaju putih, menunggu sesuatu dimulai dengan cara membiarkan sesuatu yang lain menggelembung di dalam kepalanya: “Siapakah kamu? Hanya sebentuk ID card, lalu orang mengangguk setuju?”

Perempuan itu meraih ID card-nya, membuka lilitan tali, lalu memasukkannya kembali ke dalam tas di pangkuan. Duduk tenang, tangan bersidekap, matanya melirik ke arah langit-langit ballroom yang penuh lampu kristal bergelantungan, mencari-cari, lantas ia mengalamatkan senyumnya pada sesuatu yang letaknya selalu di atas. Ia menoleh sekilas ke arah si Mbak manis yang masih berdiri dan menanyakan pertanyaan yang sama pada setiap yang menghampiri pintu.

Si Mbak manis itu tidak tahu, dibalik ID card Ayra tertulis huruf kapital tebal:

nama: AYRA
pekerjaan: PELACUR


(Shit! What a punch! Kata ‘pelacur’ ini sungguh sebuah penutup yang paling pas untuk sebuah tulisan tentang perempuan dan kegiatan beranak. Kamu pikir aku akan berhenti di sini kan? Karena ini gayaku yang kamu tahu. Ya, semestinya aku berhenti di sini dan membiarkanmu pulang dengan kata ‘pelacur’ di kepalamu. Aku juga sempat berpikir demikian. Tapi aku masih suka bermain-main di sini. Aku masih ingin menari-nari. Well, anggap saja ini seperti sebuah menu alternate ending di sebuah DVD. Kamu boleh berhenti di kata ‘pelacur’ itu, atau memilih kata lain bersamaku sekarang. Tapi, sebentar. Ketika matamu membaca kalimat ini, itu artinya kamu sudah terlanjur ikut bersamaku dan meninggalkan ending ‘pelacur’ tadi. Haha! Gotcha! :) So let’s have a little rewind, shall we?)


Perempuan itu meraih ID card-nya, membuka lilitan tali, lalu memasukkannya kembali ke dalam tas di pangkuan. Duduk tenang, tangan bersidekap, matanya melirik ke arah langit-langit ballroom yang penuh lampu kristal bergelantungan, mencari-cari, lantas ia mengalamatkan senyumnya pada sesuatu yang letaknya selalu di atas. “Hai. Aku sekarang pelacur. Kemarin aku berenang-renang di kolam penuh tinta warna-warni, hingga ketika keluar kolam aku bak seorang model body painting yang melenggak-lenggok bangga –tidak peduli bahwa ia hanya media dan bukan sang pelukis. Sebelumnya aku penjual pisang goreng yang selalu laris manis. Jauh sebelum itu aku adalah pencuri yang sangat ahli melebur barang-barang curiannya menjadi benda berkelas dengan merek baru. Dan jauh jauh jauh sebelum itu aku adalah seorang bayi yang terlahir sesuci malaikat dengan dua malaikat lain menyertaiku*. Dengan apa aku akan menyangkal bahwa hidupku sudah begini lengkap?”

Acara di ballroom dimulai. Sebuah pembukaan superblock baru di pinggiran timur ibukota. Masih berupa maket, tapi pihak developer mengatakan 40% space sudah terjual. Hebat atau bodoh, Ayra tidak tahu. Otaknya membeku. Jantungnya membeku. Tapi rahimnya tidak. Tidak boleh ada satu viruspun yang membuat rahimnya beku.

Satu jam kemudian Ayra kembali dari ballroom hotel itu. Malamnya, ia melahirkan kuda terbang bermata tiga yang langsung melesat dari rahimnya. Dari ketinggian, kuda terbang itu dengan ringan menjatuhkan kotak-kotak dadu di setiap lintasan yang ia lalui. Ketika sampai di bumi, kotak-kota kecil itu seketika mengakar menjalar sekaligus tumbuh meninggi menjadi mall, apartemen, pusat bisnis, dan berbagai pusat hiburan. Semut-semut segera merubung.

Empat puluh tiga hari kemudian Ayra mendatangi malaikatnya.
“El, sepertinya aku sudah menopause.”
“Bagus. Berhenti beranak. Mari berkebun.”


***

Kamis, 1 Februari 2007/07.34

* “Dan datanglah setiap jiwa, bersama dengannya seorang malaikat pengiring dan seorang malaikat penyaksi.” (Qaf 21)




0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home