12 May 2005

Surat Cinta untuk Ibu

Ibu,
Sudah lama aku tak pulang. Seperti apa rupamu sekarang? Berapa galur lagi tambahan keriput mengerut-ngerut di tangan kurusmu? Berapa helai lagi rambut abu-abumu rontok hari ini? Punyaku, dalam sehari bisa lebih dari 30 helai jatuh. Bahkan kalau habis keramas bisa rontok hingga 128 helai. Mungkin aku sedang sakit, Bu. Tapi kucoba untuk berpikir bahwa rambut-rambut tuaku itu sedang melakukan regenerasi. Semoga saja benar.

Hm, ini lepas waktu Ashar.
Mungkin sekarang Ibu sedang mengaji bersama Bapak. Menunggu Maghrib tiba, lalu buka puasa berdua saja. Apa lauknya nanti, Ibu? Kangkung rebus dan sambal terasi? Ah, tak ada sambal terasi seenak buatanmu. Waktu kecil aku pernah makan sampai tiga kali nambah, padahal hanya dengan nasi dan sambal terasimu itu saja. Ingatkah kau, Ibu? Itulah hari pertama aku menjadi seorang penyuka sambal. Kau pasti ingat, karena ruang memorimu pastilah sungguh luas. Aku selalu kehabisan tanda tanya tentang bagaimana ruangmu itu mampu menampung semua cerita dari kami keenam anak-anakmu, mulai kecil hingga melahirkan anak kecil lagi, dan kau mampu mengisahkannya lagi satu-satu sekali waktu. Sungguh luar biasa. Mungkin tak kau sadari, Ibu, tapi darimulah aku belajar banyak hal tentang indahnya menyimpan tiap detil peristiwa, hingga tak ada yang tak berharga.

Ibu,
Lama kita bersama, tanpa banyak kata. Hanya hamparan makna-makna. Tapi ketahuilah, anakmu ini mencintaimu dengan cara yang sungguh beda. Semoga diamku ini menjadi telaga, karena bicaraku adalah pedang yang menghunus-hunus. Maafkan aku, Ibu. Ampuni lidahku. Ampuni lidahku...

Di sini hari sudah sore, Bu.
Aku belum mandi. Berapa kali engkau pernah memandikan aku, Ibu? Beribu-ribu, hanya waktu yang tahu. Ingin aku ganti memandikanmu. Barang sekali saja. Tapi... Oh... Jangan dulu. Jangan dulu. Karena belum puas terima kasihku. Belum sampai di sana ilmuku. Semoga tak cepat tiba waktuku untuk memandikanmu. Aku mohon, Tuhan... jangan dulu!

Tapi di sini rasanya hari makin cepat sore dibanding di sana. Aku sudah rindu pulang, Ibu. Bagaimana kalau kau saja yang memandikanku? Sekali saja. Terakhir kali. Maukah engkau, Ibu? Tapi kuminta jangan campuri air mandiku dengan kembang tujuh rupa. Jangan pula kau campuri dengan air matamu yang mulia. Karena Pulang itu sendiri bagiku sudah seharum bunga kamboja.

Besok hari Jumat, hari yang sungguh baik.
Mandikan aku sekali lagi ya, Bu?
Lalu antarkan aku Pulang.
Ke tempat yang Terang Benderang.

2 Comments:

Blogger Lia said...

Cerita-ceritamu... hampir selalu membuatku berpikir keras tentang seuatu yang hitam, gelap, jauh atau mati. Seperti yang satu ini. Coba buka jendela, lihat, diluar sana sudah terang...

14 May, 2005 21:34  
Blogger suss said...

Berpikir tentang mati, sering kali bikin saya otomatis berpikir tentang (makna) hidup. Tapi ketika saya berpikir tentang hidup (and achievement and so on... and so on...) saya suka lupa bahwa saya bakal mati. For me, that's not good. Saya khawatir kelalaian seperti itu bisa bikin saya jadi makhluk sombong, that's all. Gak apa-apa, Cok. Saya nikmati ini kok :) Thanks ya!

14 May, 2005 22:05  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home