11 May 2005

2.555 Hari

Cinta datang di ujung hari tanpa mengetuk pintu. Saat itu bulan mulai meninggi dan terlihat hampir penuh. Lihatlah, sosok yang dulu segar berisi itu kini jadi kurus kering. Rambutnya yang dulu hitam tebal bergelombang, kini lebih banyak diselingi uban. Mata besarnya yang menjorok ke dalam itu juga sudah kehilangan sorot tajamnya. Tak terdeteksi lagi rinai jenaka di sana, namun syukurlah... masih tersisa selembar semangat tipis yang transparan. Melambai-lambai di tengah badai.

Untuk itu, untuk tubuh kuyu dan sejentik api yang masih berkedip-kedip lemah itu, Cinta berhak disemati bintang tiga di dada. Tapi ia selalu menolak. Cinta terlalu murah untuk hanya dihargai dengan sebentuk bintang, begitu alasannya.

Malam ini Cinta datang untuk bercermin. Ia berjalan lunglai ke arah Cermin Ajaib yang kusam. Dan lihatlah, dari dalam Cermin itu juga berjalan sesosok Bayangan ke arahnya. Lama-lama mereka saling mendekat. Namun salah satunya tak berani menatap, seakan kedua bola mata itu tak kuasa menentang kuatnya tarikan gravitasi bumi.

Pada Cermin, Cinta bertanya dengan nada lesu. Dialah yang tak berani menatap itu.
"Berapakah umurku?" Suaranya hampir terdengar seperti berdesis.
"Setiap kau tanyakan itu, aku tak pernah bosan menjawabnya, Cinta," jawab Bayangan sambil tersenyum hangat serupa sapa 'selamat datang, apa kabar?'
"Berapakah umurku???" desak Cinta dengan sisa kesabaran yang tersengal-sengal.
"Baru 2.555 hari."
"Berapa?"
"Baru 2.555 hari, Cinta."
"Hah? Sudah 2.555 hari lagi??!!!" pekik Cinta terperanjat. Alis tebalnya seketika menukik.
"Baru..." kata Bayangan mengulang, masih dengan senyum di bibir mungilnya yang selalu memerah meski tak pernah ia pulasi gincu.
"Sudah... ??!!!"
"Baru..." ulang Bayangan itu lagi. Dan pipi Bayangan bersemu merah.

Cinta diam. Terhenyak.
Apakah itu waktu? Sampai kapan terus berlari? Apakah lagi yang bisa aku curi?

Lamat-lamat Cinta mengamati Bayangan di dalam Cermin.
Sebentar dia lihat terusan siffon putih yang membungkus sosok Bayangan di hadapannya itu. Tangannya sudah terjulur untuk menyentuh, tapi seketika itu juga ditariknya kembali. Sebentar kemudian dia menunduk melihat kaos berleher tinggi yang sedang ia pakai. Tatapannya berpindah lagi ke Cermin, lalu balik lagi memastikan warna bajunya. Warnanya sama putihnya, tapi ia menggeleng ragu. Lantas Cinta memandangi kepala di dalam Cermin. Rambutku penuh uban, tapi kenapa rambut yang ada di hadapanku ini hitam panjang terurai? Siapakah kamu? Siapakah aku? Sedikit gemetar, tangannya meraba sebaris kumis miliknya yang telah berhasil ia sambungkan dengan janggutnya itu, namun tak dilihatnya sehelai rambut haluspun di atas bibir tipis milik sosok asing di hadapannya kini.

"Kau bukan aku!" tudingnya marah. Jakunnya naik turun.
"Memang bukan," jawab Bayangan, masih dengan senyum di bibir mungilnya.
"Kau hantu!" teriaknya takut-takut.
"Bukan."
"Lantas? Cermin berdusta?"
"Tidak. Selamanya Ia tak akan pernah dusta."
"Ah, betul! Cermin ini berdusta. Sudah kusam berdusta pula. Huh!"
"Tidak. Cermin Ajaib tak akan pernah berdusta, Cinta."
"Lalu siapa kau?"
"Aku --adalah dia yang luput darimu. Kau cuma perlu menggosok Cermin ini sebentar, dari arah luar. Dan bersamaan aku akan menggosoknya pula, dari arah dalam. Lalu kita akan dapati yang sesungguhnya, bila kau ingin."

Cinta mengelilingkan pandangannya yang hampir nanar. Tapi tak ditemui apapun di ruangan itu. Hanya ia, Cermin, dan sesosok Bayangan.
"Tak ada lap bersih di sini," cetusnya ketus, mencoba menyamarkan galau.
"Memang tak ada," balas Bayangan.

Kecewa, Cinta berbalik meninggalkan Bayangan dalam Cermin yang masih menatapnya dengan senyum hangat dan pipi bersemu merah. Diambilnya jaket hitam yang tergantung sendirian di kapstok. Dan Cinta melangkah keluar pintu.

Pagi masih dini. Udara dingin menusuk. Cinta menyusupkan kedua tangannya ke saku jaket. Didapatinya jari-jari tangan itu meraba sesuatu. Dua carik kain, hijau lumut dan biru langit –-di saku kanannya. Tapi Cinta terus berjalan, karena kunci pintu ke ruang Cermin itu ada padanya –-di saku kiri. Aku masih bisa kembali lagi kapanpun aku mau.

Ruangan sepi. Cermin itu perlahan goyah. Permukaannya dipenuhi tetes-tetes embun yang seperti keluar dari hamparan pori-pori. Dan tiap tetes embun itu saling menjangkau untuk menyatukan diri, hingga tak ada lagi butir-butir. Perlahan Cermin melunak.
Sesuatu menyentuh dari arah dalam Cermin, membuat getaran di pusat diagonalnya, yang lambat laun membentuk riak-riak gelombang halus. Mulanya di tengah lingkaran-lingkaran gelombang itu hanya ada setitik lubang, sekecil lubang jarum. Lalu pelan-pelan membuka seolah ada yang menguaknya dari dalam sana. Makin lama makin besar hingga cukup besar untuk meloloskan sosok di dalamnya. Lantas Bayangan hadir mewujud. Hidup. Berdiri di sisi lain Cermin dengan keanggunan yang tak ada dua. Hanya dia yang tahu bahwa sesungguhnya Cermin Ajaib itu tak lain dari selembar papan air yang lentur, selentur selaput gadis perawan.

Tanpa alas kaki, Bayangan berjalan mendekati pintu. Angin menerpa, membuat shiffon putih yang dikenakannya seperti ingin terbang melayang-layang. Matanya terlempar ke kejauhan, melambaikan pandang ke punggung Cinta yang sedikit bungkuk. O, Cinta... aku ingin mengerti, mengapa kau seperti tamu yang datang malam-malam, lalu pergi diam-diam sebelum pagi datang. Bukankah kau juga yang mengajari aku kata-kata itu?

"Tapi tak ada yang akan usai. Tidak sebelum Cermin itu pecah menjadi butir-butir air yang menguap di ujung langit," begitu janji Bayangan pada dirinya sendiri. Lalu ia beranjak dari pintu tanpa niat menutupnya, membiarkannya seperti dalam keadaan semula ketika Cinta pertama kali datang.

Ke arah Cermin Ajaib, Bayangan itu kembali. Itulah singgasananya. Dengan sekali sentuhan jari, ia masuk lagi ke sana untuk meneruskan bacaannya yang tadi sempat tertunda. Di tangannya terbuka sebuah buku yang sudah beratus-ratus kali ia baca, namun tak pernah bisa ia mengerti maknanya. Anehnya, semakin diulang, semakin ia tenggelam dengan buku itu, seakan kata bosan tak pernah dibiarkannya mampir sebentar saja.

Dan inilah bagian yang paling ia suka. Karenanya, ia selalu terhenti lama di halaman yang sama, halaman 86:

Karena altruisme adalah bentuk apresiasi murni, ia mendorong Anda untuk mencintai orang walaupun orang itu tidak mencintai Anda. Ketika aku masih muda, aku pernah mengeluh pada ibuku bahwa perempuan yang aku cintai setengah mati tidak merasakan kecintaannya kepadaku seperti kecintaanku kepadanya. Aku selalu ingat apa yang ia katakan. Kata ibuku, "Tidak ada dua orang yang saling mencinta pada tingkat yang sama --dan siapa saja yang paling mencinta, itulah yang paling bahagia."
- Dr. Dan Baker -

Dan Bayangan kembali tersenyum hangat. Pipinya bersemu merah.


***


11 Mei 2005 / 23.10
Selamat, Ayra.
Atas bayi yang kau lahirkan 2.555 hari lalu
Kabar gembira untukmu: ia hidup abadi, sebagai bayi.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home