14 June 2006

Pasir (2)

Pasir Episode 2
Gantungkan mimpimu! Gantungkan mimpimu?

Ayra datang lagi, dan ia sama sekali tak pernah merasa harus bersopan-sopan mengetuk pintu. Tas tangan dari bahan suede itu ia lempar sekenanya ke atas sofa empuk sambil menghempaskan pantatnya ke tempat yang sama, hampir berbarengan dengan saat ia menghempaskan sebuah kalimat lama yang membuat segalanya seketika menguap ke angkasa: “Aku insomnia lagi.”

“Alaaah! Kamu ini. Kapan tidaknya?” potongku tanpa ingin melepaskan mata dari pasangan Helen Hunt dan Paul Reiser yang sedang asik mengajari Murray berguling-guling di lantai. Beruntung sekali kaca jendela apartemen mereka tepat menghadap kaca jendela apartemenku. Aku tahu, itu menjadi salah satu alasan kenapa Ayra kerap datang ke sini. Sejak kedatangannya, kuperhatikan kini ia sudah mulai pintar berdandan. Bulu matanya tidak akan tampak sehitam itu kalau tanpa maskara. Pipinya juga bersemu blush on warna beige. Ada merah maroon di bibir yang dulu biasanya cukup ia olesi lip balm bening saja.

Tak ingin berlama-lama mengamati make up di wajahnya, aku bertanya, “Apa lagi yang dibawa insomniamu kali ini, heh?”
“Sebuah kereta super ekspres. Muatannya 11 gerbong mimpi.”
Mengatakan itu, mata Ayra menerawang, jemari lentiknya mencari-cari sebungkus rokok menthol. Ia mengaku baru pertama kali menghisap rokok dan mengatakan menyesal kenapa itu tidak dilakukannya lebih awal. Aku tak peduli.

“Sebelas gerbong mimpi katamu? Ada-ada saja. Eh, orang bilang, gantungkan mimpimu pada bintang di atas sana,” kataku, bukan sambil menunjuk bintang yang malam itu memang terlihat muncul beberapa, melainkan sambil beranjak dari posisi duduk nyaman di bibir jendela lantas melangkah menuju arah pantry, “kamu mau minum apa?”

“Kopi tubruk,” jawabnya singkat. Asap rokok mulai memenuhi ruangan. “Dan aku tak ingin menggantungkan mimpi pada bintang,” lanjutnya, “ bintang juga makhluk semesta, Setiap makhluk pasti akan menemui ajalnya. Bintang lahir, lalu suatu saat akan meledak menjadi debu-debu angkasa. Kalau sudah begitu, pada apa mimpi-mimpiku akan kugantungkan?”

“Pada langit? Gantungkan mimpimu pada langit, maybe? Langit lebih luas daripada bintang. Langit pastinya lebih tinggi daripada bintang. And btw, rokok menthol dan kopi tubruk, seleramu sungguh kacau!”. Aku mencari-cari cepuk kayu berisi kopi di deretan laci-laci.

“Apa pula itu selera kacau? Tai kucing dengan selera!” bantahnya setengah berteriak. “Lagipula apa pedulimu kalau lidahku suka? Oya, langitpun akan segera runtuh begitu sangkakala bertiup. Jadi langit juga bukan sebuah pilihan yang tepat untuk menggantungkan mimpi.”

Aku menarik nafas dalam-dalam. Duh, mulai kumat lagi dia. Sesekali mataku melirik ke jendela, khawatir pasangan Helen Hunt dan Paul Reiser sudah menarik kain gorden mereka yang berwarna burgundi itu. Air yang kujerang sudah hampir mendidih.

“Lalu pada apa akan kamu gantungkan mimpimu?” tanyaku.
“Kenapa harus selalu digantungkan? Agar kita selalu menengadah sambil terus menggapai-gapai seumur hidup, begitu? Akan banyak sekali orang tersandung karena terus-menerus menengadah kalau begitu caranya.”

Segera saja kusergah, “Sama halnya dengan apa yang akan terjadi pada mereka yang terus-menerus menunduk, bukan?”

Dua cangkir kosong sudah siap di atas nampan. Satu kuisi teh celup, satu lagi kuisi beberapa sendok kopi.
“Beda dong. Yang terus-terusan menunduk bukannya kesandung, tapi nabrak-nabrak,” tukasnya cepat.
“Bagiku sama saja. Dua-duanya benjol juga.”
“Huahaha…”
Tawa pertama kami malam itu. Thanks God

Tapi tawa Ayra terhenti, seperti masih ada hal yang mengganjal.
“Eh berarti dibanding yang tengadah dan menunduk, lebih bagus yang celingak-celinguk dong ya? Meski orang mungkin akan menuduhnya tidak sopan, tidak etis or anything, at least dia tahu keadaan sekitar dan yang paling penting dia terhindar dari insiden benjol.”

Yeah, perhaps,” jawabku sekenanya sambil kembali ke sofa dengan dua cangkir minuman di atas nampan dan beberapa potong brownies kering. Ah sialan, kain gorden apartemen seberang sudah tertutup. Lampunya sudah mati pula. Mau tak mau aku menutup kaca dan menurunkan tirai jendelaku. Lagipula malam memang sudah cukup larut. Moga-moga besok Murray masih bersemangat diajari berguling-guling lagi, Paul.

Hey, look! Selera siapa yang lebih kacau?” pekik Ayra, “kamu suguhi aku kopi tubruk dan brownies kering?! Astaganaga…“

Kami berdua tertawa lagi. “Ubi gorengnya sudah kuhabiskan sore tadi. Lagipula, ini brownies berbahan singkong, geblek!” kilahku sambil menyomot salah satu potongannya. Ayra menyeruput kopi tubruk bikinanku pelan-pelan. Begitu menikmati. Aku selalu ingat ceritanya tentang racikan kopi kesukaannya: biji kopi harus disangrai sendiri dengan campuran sedikit beras dan bawang merah utuh, baru kemudian ditumbuk dan disimpan dalam cepuk kayu cendana. Ketika kopi diseduh, dia selalu suka menaburinya dengan sedikit bubuk kayu manis dan tak lupa menyemplungkan sepotong jahe kering ke dalamnya. Air penyeduhnya pun harus mendidih 100 derajat celcius. Turun 2 derajat saja, dia akan tahu, dan menuduhku tak sabaran menjerang air.

Isi cangkir baru dihabiskan Ayra seperempat bagian saja. Lalu ia melanjutkan ocehannya tanpa melepaskan cangkir dari tangan. Aku sudah khawatir dia akan meracau lagi, tapi ternyata tidak.

“Mimpi itu bukan untuk digantungkan, tapi untuk digenggam, agar selalu bisa diingat, dilihat, diraba, dirasa. Aku lebih suka mengikat mimpi-mimpiku dengan seutas tali yang kuat. Menggenggam gumpalannya di tangan, lalu melemparkan satu ujung tali pengikatnya ke atas sana.”

“Lalu akan kamu lempar setinggi apa? Tak ada bintang, tak ada langit buatmu. Kamu tidak punya cantolan apapun untuk mengaitkan mimpi-mimpimu. Kamu tidak punya parameter apapun untuk mengukur ketinggiannya.”

“Setinggi... hahaha... sebentar, sebentar... sejak kapan mimpi butuh acuan parameter? Sejak kapan mimpi butuh cantolan tetap? Mimpi hanya butuh untuk kamu lempar setinggi-tingginya, itu saja. Urusan cantolan, bukan lagi urusanmu karena urusanmu sudah selesai ketika mencari pijakan mantap, berancang-ancang, lalu melompat semampumu ketika melempar.”

“Oya? Lalu ujung talinya akan kau kaitkan di mana?” Aku merasa dia mendadak jadi begitu tolol gara-gara paduan rokok menthol dan secangkir kopi tubruk –plus brownies kering berbahan singkong. Kulihat matanya memandangi lampu kristal yang menggantung di langit-langit apartemenku dan kakinya sedikit terangkat dari lantai.

Ayra menyalakan batang rokoknya yang ke-7. Kepulan asap sudah sampai ke atas sana, menyelimuti kristal-kristal kesayanganku sehingga tampilannya tidak lagi tampak bening cemerlang, tapi seperti patahan-patahan es batu yang mengembun. Lalu dia bicara lagi.

“Aku hanya akan melemparkannya begitu saja, dan percaya bahwa di atas sana akan selalu ada Seseorang yang menangkap ujung tali mimpiku. Di bawah sini aku berjalan dengan menggenggam segumpal mimpi terikat tali, dan di atas sana Dia memegang ujung talinya. Dengan begitu aku dan Dia akan selalu bisa terhubung, kapanpun aku mau, kapanpun Dia mau. Kalau aku berjalan terlalu jauh, Dia akan menarik taliku agar aku mendekat, dan bila aku terlalu lama berdiam di suatu tempat, Dia akan mengulurkan talinya agar aku bebas berjalan-jalan lagi dan mendapat spirit baru. Dengan demikian mimpi-mimpiku selalu sama, tapi sekaligus selalu berevolusi.”

“Dan hanya Dia yang berhak menangkap ujung tali itu untuk –dengan riang gembira-- menarik-ulur seikat mimpi dalam genggamanku. Ah... aku selalu senang kalau Ia gembira. Aku selalu ingin membuat-Nya bahagia.” tambahnya lagi sambil tersenyum. Senyum termanis yang pernah kulihat. Tapi, ada lubang gelap tak berujung di bola matanya. Kosong. Bolong.

“Seikat mimpi dalam genggamanmu itu, apa saja isinya?” tanyaku.

Ia segera mematikan rokoknya. Kupikir ia akan membuka tangan lalu memperlihatkan garis-garis hidup di telapaknya yang putih itu dan menceritakan apapun yang ada di dalamnya, tapi dugaanku meleset. “Kemari,” ajaknya, “lihat isi tasku.”


Cut
!
to be continued to Pasir Episode 3

2 Comments:

Blogger budibadabadu said...

...Jadi langit juga bukan sebuah pilihan yang tepat untuk menggantungkan mimpi...

KEREN!!!!

huuu, ini orang jeruk makan jeruk deh. nyuruh orang lain nulis buruk, lha dianya sendiri juga gak bisa nulis buruk.

:)

kok tau sih Mr. Antonioni? baca majalahnya juga? hal. 73, hehehe.

thanx yaa.

*please jangan kutuk aku.* hehehehehehe

19 June, 2006 09:32  
Blogger Lia said...

Mau tau saya nyimpen mimpi-mimpi saya dimana? di Internet! hahaha...
Jaman bergerak bu, masa mimpi ngga ikutan? masih saja digantung, paling banter digenggam.

Kalau saya nyimpen mimpi-mimpi saya di internet, saat saya tau-tau tertabrak, jatuh atau kecebur... mimpi saya ngga ikut rusak.

Mirip foto2 digital itulah... hahaha.

20 June, 2006 03:29  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home