22 September 2005

Catatan Pengidap Insomnia (3)

02.46

Ayra insomnia lagi malam ini --tepatnya: sengaja insomnia, karena pekerjaannya sedang menumpuk. Tapi dia lebih senang ditimbuni segunung pekerjaan seperti sekarang ketimbang ditunggangi sebentuk gelembung kekosongan.

Ah, sebentar... sebentar... menulis tentang perempuan satu itu di sisa-sisa malam yang tenang seperti ini enaknya sambil ditemani segelas kopi susu hangat. Mmmm... Sebentar.
I'll be right back!

... satu detik ...
... dua detik ...
... tiga detik ...
... tak sampai semenit ...


I'm back! Shall we?

Ya, begitulah. Lama-lama Ayra jadi kecanduan insomnia.

Damn! Kopi susu ini enak betul!

Seiring laju waktu, Ayra mulai belajar menghitung untung-rugi dari setiap keputusan dan tindakan yang dia ambil. Ia sedang berubah menjadi seorang realis yang pragmatis, taktis, dan politis.

Wakkkss!!!

Di usianya yang hampir alot ini, Ayra baru menyadari bahwa waktu adalah sesuatu yang amat sangat mahal.

Poor Ayra... hare geneee???

Dan sekarang ia mulai berpikir bahwa tidurnya bukanlah aktivitas yang produktif karena tidak lagi menghasilkan apa-apa kecuali serentetan mimpi yang saling bertubrukan, dan itu sangat tidak menyenangkan.

Atau tidak menguntungkan? Hehehe...
Kok aku jadi pengen nonton film itu lagi, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, pas adegan salju turun di pantai. Beautifully awkward!

Vita brevis. Hidup ini singkat. Ayra setuju.

Ah, ya! Aku serasa diingatkan bahwa masih punya hutang endapan cerita tentang Vita Brevis-nya Jostein Gaarder itu. Hm, lain waktu... lain waktu...

Ayra sudah pernah menjadi penidur kelas kakap di waktu lampau. That's enough. Hidup bukan untuk tidur. Ia akan bisa tidur panjang sepanjang-panjangnya tidur, nanti, di dalam liang berukuran 2 x 1 x 1 meter.

Alamak, naifnya... Benarkah di sana kamu bisa tidur tenang?
Hanya orang-orang beriman kuat yang patut mendapatkan tidur tenang di sana.
Are you sure you are included, honey?


Ayra suka kesal karena sering kali begitu ia bangun, mimpi-mimpinya lenyap tak berbekas.

Serupa air di daun talas, heh?
Amboi... Jadul nian!


Mimpi-mimpi Ayra sering kali lenyap begitu saja, bahkan sebelum ia selesai membaca doa bangun tidur. Di saat-saat seperti itu, saat sedetik jeda antara tidur dan bangun, Ayra sering terantuk pada sepotong puzzle yang sama: sesingkat itukah ingatan manusia akan mimpi? Ataukah memang mimpi tidak seharusnya untuk diingat-ingat? Lalu...

Wait, wait, wait! You're entering another dangerous blunder!!
Stop it right there, loser!!!

Kopi! Kopi!
Pekat.
Tanpa gula.
Cepat!


Tak jarang Ayra uring-uringan demi memikirkan mimpi-mimpinya yang kerap kali menolak dijadikan koleksi. Padahal ia seorang penggemar berat surealisme yang hobi mengoleksi mimpi. Kamu pasti tergoda untuk bertanya: buat apa serpihan-serpihan mimpi dikoleksi? Buat dibikin handicraft, hehehe... Ayra suka sekali bikin handicraft dari segala macam bahan, termasuk dari perca-perca mimpi.

Aku jadi pengen lihat lagi The Persistence of Time-nya Salvador Dali. Jam-jam yang terkulai di dahan-dahan pohon itu... uh... Pertama kali kulihat di koleksi bukunya Si Nangkil. Ah, itu anak... lama sekali tak muncul, tahu-tahu hari Minggu besok dia bakal nikah sama gadis Solo. Culuwus tenan!

Eh, Ayra! Ayra! Sudah sampai mana kamu? Kopi susu di gelasku sudah tinggal satu senti tingginya. Jangan tanyakan masih hangat atau tidak.

Buat Ayra, tidur nyenyak adalah tidur tanpa mimpi sama sekali. Namun sudah lebih dari 11 bulan ini, mungkin sudah 4 kali 11 bulan, dia sulit mendapatkan tidur yang seperti itu, betapapun telah berulang kali dibacanya rangkaian doa sebelum tidur. Antara Ayra dan mimpi kini sudah tidak ada lagi simbiosis mutualisma. Itulah kenapa ia beralih jadi pecandu insomnia. Karena setidaknya dengan insomnia –dan segelas kopi susu-- Ayra masih bisa mengira bahwa waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan memang demikian. Sepertinya Ayra dan insomnia akan bersahabat erat.

Dan oh.. malam ini Ayra tersenyum manis pada Sang Sutradara merangkap Penulis Skenario Paling Hebat, karena ada dia, sesama insomaniac di ujung sana --entah di mana-- yang tiba-tiba tersangkut kait di sela-sela otak kanannya. Ayra sedang menimbang-nimbang untuk menghubungi, tapi tepat di saat itu juga si sesama insomaniac itu memberondonginya dengan serenteng pesan singkat.

Aha! Frekuensi kalian sedang sama. Gelombang-gelombang kalian saling mengait lagi malam ini. Betul kan apa kataku? Bukankah ini apa yang selalu dibilang Paulo Coelho di novel-novelnya sebagai “tak ada kebetulan” itu? Waktu serasa mencair tatkala “kebetulan” hadir.

Pagi ini, dingin, 17 derajat celcius. Laila memandangi termometer hadiah dari Basuki kekasihnya 1 th lalu. 17 derajat, sangat dingin utk tubuh sekurus Laila.
Sent: 22/09/05 01:04

Tubuh kurus selalu identik dgn lemah, rentan atau ringkih. Saat angka 17 derajat termometer tepat berada di ruang dan waktu yg sama dgn tubuh kurus Laila.
Sent: 22/09/05 01:05

Saat itu pula dramatisasi dinginnya pagi ini mendapatkan momen terbaiknya. Kilogram, derajat celcius, pukul 5 pagi, segera membentuk kenyataan.
Sent: 22/09/05 01:06

“Berkacalah pada kenyataan, La”, kalimat yg selalu mengganggu Laila saat merapikan rambut tebalnya. Kalimat yg ditulis Basuki di kaca rias kamarnya.
Sent: 22/09/05 01:06

Ingin rasanya dia memecah kaca rias itu. Sebuah kalimat yg aneh bagi Laila. Saat dia berkaca, dia adalah kenyataan, cermin adalah bayangan. Laila selalu bingung.
Sent: 22/09/05 01:07

Setiap pagi selalu bingung. Kebingungan yg selalu bisa mengusir kenyataan 17 derajat pagi ini. Laila selalu bertanya apa maksud Basuki menempel kalimat itu.
Sent: 22/09/05 01:07

Bahwa dunia nyata adalah dunia sebab akibat. Dan Laila dianggap bermimpi. Bermimpi ttg apel yg akan jatuh ke atas. Laila, sesuai namanya, pecinta malam.
Sent: 22/09/05 01:08

“Biar kamu tau, dunia nyata telah menantimu”. Basuki, seorang penggemar Newton, selalu berkata bahwa apel jatuh ke bawah adalah dunia nyata.
Sent: 22/09/05 01:08

“Bintang yg kita lihat mungkin saja sudah musnah, Mas”. Basuki hanya diam saat mata cekung Laila menatap tajam matanya. Basuki hanya pria sok pintar.
Sent: 22/09/05 01:09

Seorang astronom. Yang selalu berpegang bahwa kenyataan hrs ditempuh berjuta tahun cahaya. Hidup hanyalah sesaat, bagian waktu menempuh kenyataan.
Sent: 22/09/05 01:09

I LOVE IT!

... satu detik ...
... dua detik ...

Hey! Bagaimana kelanjutannya? Ayra ingin tahu!
Di mana kamu?

Aku juga ingin tahu.
Di mana kamu?


Pulpenku ketinggalan. Aku coba nulis di hp. Mmm ternyata enak. Sori dah ganggu. N sori br sms. Baru ngisi tadi mo naek kereta. Thanks n have a nice dream.
Sent: 22/09/05 01:11

Angka itu??? Angka itu!!!
Tanggal berapa ini??? Tolong seseorang katakan padaku, tanggal berapa ini???
O, please... not again... not again...


Tapi refleks tangan Ayra mengangkat gagang telpon.
Ayra ingin bicara! Ayra ingin bicara!

Persistence. That's you, honey. Yeah, surely that's you.

Redial.

... satu kali ...
... dua kali ...

Nada sibuk.

... tiga kali ...
... empat kali ...

Masih sibuk.

... lima kali...

Persistence.
Have you ever get tired of it?

... enam kali ...

Apa kamu sedang sibuk meneruskan cerpenmu itu?
Hm... Yo wis. Met nulis.


Tapi ayolah...


Ayra cuma ingin bilang: sedang ada sayembara menulis cerpen. Tenggat waktunya 2 minggu lagi. Kamu harus ikut! Kamu harus ikut! Di mana kamu?

Ayolah, di mana kamu?

... satu detik ...
... dua detik ...

... satu menit ...
... dua menit ...

... satu jam ...
... dua ja- ...

Aku lagi di ... gelap bgt. Whooa, bangun tidur. Nyenyak bgt tidurku. Batreiku tipis n gak dpt sinyal. Skrg nyampe mana ya?
Sent: 22/09/05 02:39

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home