31 May 2005

Quote of the Month

Seorang bapak nyentrik bertopi tinggi warna jingga berkeliling Paris dengan sepeda hiasnya untuk menemani seorang pelancong Inggris yang tak ingin kalah nyentrik. Pada sepeda si pelancong itu terikat patung sepasang tangan perempuan berjari-jari lentik di bagian pegangannya --patung tangan itu ia beli di sebuah pasar loak. Di sela-sela jeruji roda, si pelancong menyelipkan foto-foto keluarganya. "Agar mereka bisa ikut menikmati kota indah ini bersamaku," celotehnya riang.

Hari sudah agak sore ketika si bapak nyentrik itu mengajak si pelancong untuk rehat sebentar di pinggiran sebuah sungai yang bersih. Mereka ngobrol tentang ini itu, utamanya tentang "how to be a decent Parisian". Niat si pelancong datang ke Paris memang untuk mengenal kota itu berikut perangai dari seluruh isi perutnya.

Lalu entah apa hubungannya --mungkin untuk menggambarkan sebagian dari perangai penduduk Paris yang highly sociable dan ekspresif-- tiba-tiba si bapak nyentrik itu menyuruh si pelancong menepukkan sebelah tangannya. Dengan lugu si pelancong mengikuti, menepukkan sebelah tangannya ke udara. Si bapak nyentrik bertanya, "What's the sound?". Tentu saja kita tahu apa jawabnya. Lantas si bapak nyentrik tersenyum dan berkata,

"The sound of one hand clapping is the sound of one ear hearing..."

***
*sebuah potongan episode di Travel & Living Channel yang kutonton di suatu malam minggu. I love the quote. Never mind about the story, it might be meaningless, hehehehe...

26 May 2005

Standing Still alias Terpaku

Ada yang selalu mengejek saya setiap kali memasuki lobby gedung tempat kantor saya berada. Dia selalu mencibir tepat 4 langkah sebelum saya memijit tombol lift (kantor saya ada di lantai 3). Cibirannya sungguh melecehkan, membuat saya tambah risau.
Kamu tahu siapa dia? Dia adalah selembar poster yang tertempel di balik kaca sebuah kantor travel agent. Posisinya strategis, di kiri pintu masuk lobby. Poster itu didominasi warna merah dengan latar foto bangunan piramida kaca yang menjulang tinggi. Tapi bukan piramida itu yang selalu mengejek saya tiap hari, melainkan sebaris kutipan dari St. Augustine yang ditulis besar-besar:

The world is a book,
and those who do not travel read only one page.

Hm, satu halaman?
Let's see...

Piramida kaca itu... rasanya pernah kenal. Duh, apa ya nama bangunannya. Saya mencoba mengingat-ingat, tapi tak kunjung berhasil. Kalau nggak salah, itu sebuah museum. Ah, tapi bukan, kata teman saya itu bangunan hotel, dan dia bilang ada restorannya juga di situ. Di mana ya? Texas. Eh, bukan. California.

Coba deh cari lewat google, keyword: glass pyramid.
Searching... searching... searching...
Heh, itu tuh Pei Pyramid yang di depan Museum Louvre Paris itu!!!

Oooooooooooooooo....................................................

Pembatas buku saya jatuh.
Tiba-tiba saya terserang buta huruf.

24 May 2005

Ayra dan Arya, Malam Minggu Lalu

23.23

"Ar, lagi ngapain kamu?"
"Lagi ngepul, dan beberapa cangkir kopi. You know me lah..."
"Ahay! Lokomotifnya udah jalan lagi nih! Kemana gerbong melaju?"
"Rencananya sih Jalasutra. Doain ya. Kamu lagi ngapain di sana, Ra?"
"Aku lagi di pinggiran, Ar. Eh, apa di ujung ya? Ujung ama pinggiran sama nggak ya?"
"Bisa jadi sama, kali... Sama-sama jauh dari pusat, hehehe... Pinggiranmu di sebelah mana?"
"Ghana."
"Ghana? Ngapain kamu di situ?"
"Nggak. Cuma mataku aja yang lagi di sana."
"Hahaha... kamu lagi di depan Travel & Living channel itu lagi ya? Duh, Ra... Kebanyakan nonton orang lain jalan-jalan, bukannya bikin refresh, salah-salah malah bikin stres!"
"Biarin ah! Eh, kamu tau nggak, Ar? Di sini seseorang dikuburkan di peti mati yang bisa dia pilih sendiri bentuknya, sesuai jati dirinya sewaktu hidup."
"Ooo... hahaha... Ya. Aku pernah nonton yang itu juga, Ra. Yang... hahaha... ada peti mati berbentuk kapal terbang, karena yang bakal menempatinya nanti adalah seorang pilot. Terus ada juga yang bentuknya sepatu Nike super besar, karena yang meninggal mantan pemain sepak bola. Yang itu kan, Ra?"
"Ada lagi yang memilih bentuk peti matinya serupa botol bir, karena yang meninggal itu waktu hidupnya tukang mabuk. Hahaha... iya, iya! Yang itu!"
"............................................."
"Eh, tapi... kenapa kita ketawa ya?"
"Iya. Goblok kita. Kenapa ya, Ra?"
"Kenapa kita ketawa, atau kenapa kita goblok?"
"Hahaha... Ayra!!!!! Dodol pehul!!!!!!!"

12 May 2005

Surat Cinta untuk Ibu

Ibu,
Sudah lama aku tak pulang. Seperti apa rupamu sekarang? Berapa galur lagi tambahan keriput mengerut-ngerut di tangan kurusmu? Berapa helai lagi rambut abu-abumu rontok hari ini? Punyaku, dalam sehari bisa lebih dari 30 helai jatuh. Bahkan kalau habis keramas bisa rontok hingga 128 helai. Mungkin aku sedang sakit, Bu. Tapi kucoba untuk berpikir bahwa rambut-rambut tuaku itu sedang melakukan regenerasi. Semoga saja benar.

Hm, ini lepas waktu Ashar.
Mungkin sekarang Ibu sedang mengaji bersama Bapak. Menunggu Maghrib tiba, lalu buka puasa berdua saja. Apa lauknya nanti, Ibu? Kangkung rebus dan sambal terasi? Ah, tak ada sambal terasi seenak buatanmu. Waktu kecil aku pernah makan sampai tiga kali nambah, padahal hanya dengan nasi dan sambal terasimu itu saja. Ingatkah kau, Ibu? Itulah hari pertama aku menjadi seorang penyuka sambal. Kau pasti ingat, karena ruang memorimu pastilah sungguh luas. Aku selalu kehabisan tanda tanya tentang bagaimana ruangmu itu mampu menampung semua cerita dari kami keenam anak-anakmu, mulai kecil hingga melahirkan anak kecil lagi, dan kau mampu mengisahkannya lagi satu-satu sekali waktu. Sungguh luar biasa. Mungkin tak kau sadari, Ibu, tapi darimulah aku belajar banyak hal tentang indahnya menyimpan tiap detil peristiwa, hingga tak ada yang tak berharga.

Ibu,
Lama kita bersama, tanpa banyak kata. Hanya hamparan makna-makna. Tapi ketahuilah, anakmu ini mencintaimu dengan cara yang sungguh beda. Semoga diamku ini menjadi telaga, karena bicaraku adalah pedang yang menghunus-hunus. Maafkan aku, Ibu. Ampuni lidahku. Ampuni lidahku...

Di sini hari sudah sore, Bu.
Aku belum mandi. Berapa kali engkau pernah memandikan aku, Ibu? Beribu-ribu, hanya waktu yang tahu. Ingin aku ganti memandikanmu. Barang sekali saja. Tapi... Oh... Jangan dulu. Jangan dulu. Karena belum puas terima kasihku. Belum sampai di sana ilmuku. Semoga tak cepat tiba waktuku untuk memandikanmu. Aku mohon, Tuhan... jangan dulu!

Tapi di sini rasanya hari makin cepat sore dibanding di sana. Aku sudah rindu pulang, Ibu. Bagaimana kalau kau saja yang memandikanku? Sekali saja. Terakhir kali. Maukah engkau, Ibu? Tapi kuminta jangan campuri air mandiku dengan kembang tujuh rupa. Jangan pula kau campuri dengan air matamu yang mulia. Karena Pulang itu sendiri bagiku sudah seharum bunga kamboja.

Besok hari Jumat, hari yang sungguh baik.
Mandikan aku sekali lagi ya, Bu?
Lalu antarkan aku Pulang.
Ke tempat yang Terang Benderang.

11 May 2005

2.555 Hari

Cinta datang di ujung hari tanpa mengetuk pintu. Saat itu bulan mulai meninggi dan terlihat hampir penuh. Lihatlah, sosok yang dulu segar berisi itu kini jadi kurus kering. Rambutnya yang dulu hitam tebal bergelombang, kini lebih banyak diselingi uban. Mata besarnya yang menjorok ke dalam itu juga sudah kehilangan sorot tajamnya. Tak terdeteksi lagi rinai jenaka di sana, namun syukurlah... masih tersisa selembar semangat tipis yang transparan. Melambai-lambai di tengah badai.

Untuk itu, untuk tubuh kuyu dan sejentik api yang masih berkedip-kedip lemah itu, Cinta berhak disemati bintang tiga di dada. Tapi ia selalu menolak. Cinta terlalu murah untuk hanya dihargai dengan sebentuk bintang, begitu alasannya.

Malam ini Cinta datang untuk bercermin. Ia berjalan lunglai ke arah Cermin Ajaib yang kusam. Dan lihatlah, dari dalam Cermin itu juga berjalan sesosok Bayangan ke arahnya. Lama-lama mereka saling mendekat. Namun salah satunya tak berani menatap, seakan kedua bola mata itu tak kuasa menentang kuatnya tarikan gravitasi bumi.

Pada Cermin, Cinta bertanya dengan nada lesu. Dialah yang tak berani menatap itu.
"Berapakah umurku?" Suaranya hampir terdengar seperti berdesis.
"Setiap kau tanyakan itu, aku tak pernah bosan menjawabnya, Cinta," jawab Bayangan sambil tersenyum hangat serupa sapa 'selamat datang, apa kabar?'
"Berapakah umurku???" desak Cinta dengan sisa kesabaran yang tersengal-sengal.
"Baru 2.555 hari."
"Berapa?"
"Baru 2.555 hari, Cinta."
"Hah? Sudah 2.555 hari lagi??!!!" pekik Cinta terperanjat. Alis tebalnya seketika menukik.
"Baru..." kata Bayangan mengulang, masih dengan senyum di bibir mungilnya yang selalu memerah meski tak pernah ia pulasi gincu.
"Sudah... ??!!!"
"Baru..." ulang Bayangan itu lagi. Dan pipi Bayangan bersemu merah.

Cinta diam. Terhenyak.
Apakah itu waktu? Sampai kapan terus berlari? Apakah lagi yang bisa aku curi?

Lamat-lamat Cinta mengamati Bayangan di dalam Cermin.
Sebentar dia lihat terusan siffon putih yang membungkus sosok Bayangan di hadapannya itu. Tangannya sudah terjulur untuk menyentuh, tapi seketika itu juga ditariknya kembali. Sebentar kemudian dia menunduk melihat kaos berleher tinggi yang sedang ia pakai. Tatapannya berpindah lagi ke Cermin, lalu balik lagi memastikan warna bajunya. Warnanya sama putihnya, tapi ia menggeleng ragu. Lantas Cinta memandangi kepala di dalam Cermin. Rambutku penuh uban, tapi kenapa rambut yang ada di hadapanku ini hitam panjang terurai? Siapakah kamu? Siapakah aku? Sedikit gemetar, tangannya meraba sebaris kumis miliknya yang telah berhasil ia sambungkan dengan janggutnya itu, namun tak dilihatnya sehelai rambut haluspun di atas bibir tipis milik sosok asing di hadapannya kini.

"Kau bukan aku!" tudingnya marah. Jakunnya naik turun.
"Memang bukan," jawab Bayangan, masih dengan senyum di bibir mungilnya.
"Kau hantu!" teriaknya takut-takut.
"Bukan."
"Lantas? Cermin berdusta?"
"Tidak. Selamanya Ia tak akan pernah dusta."
"Ah, betul! Cermin ini berdusta. Sudah kusam berdusta pula. Huh!"
"Tidak. Cermin Ajaib tak akan pernah berdusta, Cinta."
"Lalu siapa kau?"
"Aku --adalah dia yang luput darimu. Kau cuma perlu menggosok Cermin ini sebentar, dari arah luar. Dan bersamaan aku akan menggosoknya pula, dari arah dalam. Lalu kita akan dapati yang sesungguhnya, bila kau ingin."

Cinta mengelilingkan pandangannya yang hampir nanar. Tapi tak ditemui apapun di ruangan itu. Hanya ia, Cermin, dan sesosok Bayangan.
"Tak ada lap bersih di sini," cetusnya ketus, mencoba menyamarkan galau.
"Memang tak ada," balas Bayangan.

Kecewa, Cinta berbalik meninggalkan Bayangan dalam Cermin yang masih menatapnya dengan senyum hangat dan pipi bersemu merah. Diambilnya jaket hitam yang tergantung sendirian di kapstok. Dan Cinta melangkah keluar pintu.

Pagi masih dini. Udara dingin menusuk. Cinta menyusupkan kedua tangannya ke saku jaket. Didapatinya jari-jari tangan itu meraba sesuatu. Dua carik kain, hijau lumut dan biru langit –-di saku kanannya. Tapi Cinta terus berjalan, karena kunci pintu ke ruang Cermin itu ada padanya –-di saku kiri. Aku masih bisa kembali lagi kapanpun aku mau.

Ruangan sepi. Cermin itu perlahan goyah. Permukaannya dipenuhi tetes-tetes embun yang seperti keluar dari hamparan pori-pori. Dan tiap tetes embun itu saling menjangkau untuk menyatukan diri, hingga tak ada lagi butir-butir. Perlahan Cermin melunak.
Sesuatu menyentuh dari arah dalam Cermin, membuat getaran di pusat diagonalnya, yang lambat laun membentuk riak-riak gelombang halus. Mulanya di tengah lingkaran-lingkaran gelombang itu hanya ada setitik lubang, sekecil lubang jarum. Lalu pelan-pelan membuka seolah ada yang menguaknya dari dalam sana. Makin lama makin besar hingga cukup besar untuk meloloskan sosok di dalamnya. Lantas Bayangan hadir mewujud. Hidup. Berdiri di sisi lain Cermin dengan keanggunan yang tak ada dua. Hanya dia yang tahu bahwa sesungguhnya Cermin Ajaib itu tak lain dari selembar papan air yang lentur, selentur selaput gadis perawan.

Tanpa alas kaki, Bayangan berjalan mendekati pintu. Angin menerpa, membuat shiffon putih yang dikenakannya seperti ingin terbang melayang-layang. Matanya terlempar ke kejauhan, melambaikan pandang ke punggung Cinta yang sedikit bungkuk. O, Cinta... aku ingin mengerti, mengapa kau seperti tamu yang datang malam-malam, lalu pergi diam-diam sebelum pagi datang. Bukankah kau juga yang mengajari aku kata-kata itu?

"Tapi tak ada yang akan usai. Tidak sebelum Cermin itu pecah menjadi butir-butir air yang menguap di ujung langit," begitu janji Bayangan pada dirinya sendiri. Lalu ia beranjak dari pintu tanpa niat menutupnya, membiarkannya seperti dalam keadaan semula ketika Cinta pertama kali datang.

Ke arah Cermin Ajaib, Bayangan itu kembali. Itulah singgasananya. Dengan sekali sentuhan jari, ia masuk lagi ke sana untuk meneruskan bacaannya yang tadi sempat tertunda. Di tangannya terbuka sebuah buku yang sudah beratus-ratus kali ia baca, namun tak pernah bisa ia mengerti maknanya. Anehnya, semakin diulang, semakin ia tenggelam dengan buku itu, seakan kata bosan tak pernah dibiarkannya mampir sebentar saja.

Dan inilah bagian yang paling ia suka. Karenanya, ia selalu terhenti lama di halaman yang sama, halaman 86:

Karena altruisme adalah bentuk apresiasi murni, ia mendorong Anda untuk mencintai orang walaupun orang itu tidak mencintai Anda. Ketika aku masih muda, aku pernah mengeluh pada ibuku bahwa perempuan yang aku cintai setengah mati tidak merasakan kecintaannya kepadaku seperti kecintaanku kepadanya. Aku selalu ingat apa yang ia katakan. Kata ibuku, "Tidak ada dua orang yang saling mencinta pada tingkat yang sama --dan siapa saja yang paling mencinta, itulah yang paling bahagia."
- Dr. Dan Baker -

Dan Bayangan kembali tersenyum hangat. Pipinya bersemu merah.


***


11 Mei 2005 / 23.10
Selamat, Ayra.
Atas bayi yang kau lahirkan 2.555 hari lalu
Kabar gembira untukmu: ia hidup abadi, sebagai bayi.

04 May 2005

Hujan Dini Hari

Lazuardi,
segumpal awan putihmu menaburkan hujan dini hari
dan pohon ini tengadah menganga
O, Bening... derulah pasukanmu kemari
luruhkan bau asap debu
luruhkan daun-daun kuning melayu
biarkan humusnya menyatu akarku


Tomang, tanggal 4
sehabis membuang lelah di Purwakarta
dan kembali dengan oleh-oleh 4 buah buku

01 May 2005

Radio

Mbak Indah pernah ngomong begini suatu kali,
"Kalo ada award di perusahaan ini, gua rela deh kasih satu buat elu: Karyawan Paling Budek!" Hahaha...

Ya ya ya... di tempat kerja memang saya suka sengaja pengen budek. Sebudek-budeknya budek. Kalo udah gitu, cuma ada saya, musik dan kerjaan. Lalu saya membiarkan diri tenggelam berjam-jam, setelah sebelumnya pasang sign: "Kalo ada perlu, toel aja ya. Saya lagi budek."

Tapi yang lebih sering bikin saya budek bukan musik dari MP3, winamp, discman, launch yahoo, atau sebutin deh perangkat musik lain yang lebih canggih. Saya lebih sering budek kalo udah pakai earphone dari walkman kesayangan yang selalu tersimpan rapi di laci nomor 3 di meja kantor. Old fashioned? Sebodo! Saya lebih memilih walkman saya itu, Aiwa JS 389 yang dibeli sekitar 3-4 tahun lalu dengan duit hasil meronce mute dan payet. Waktu itu ada pameran elektronik di Jalan Aceh. Saya ngebet beli, karena saya kira harga pameran lebih murah dan itu benda idaman sejak jaman kuliah. Tapi ternyata harganya 140 ribu lebih mahal daripada di Jalan ABC! Shit!. Waktu itu belinya pas lagi kopdar sama teman chat di MIRC, nicknya bonava. Seumur-umur, dia teman chat ke-2 yang pernah saya kopdar-i, sumpe pocong deh! Itu anak trus kerja di Bekasi, trus dikirim ke Korea, trus ngilang aja gitu, wuzzzz... Kopdar pertama saya sama seorang penjaga warnet di daerah TMP Cikutra yang baik hati dan punya nick ardhy_29, sekarang mungkin dia sudah punya anak dua.

Eh, mau ngomong apa sih tadi? Kok jadi ngelantur omong tentang kopdar?
Oya, radio! (Come on girl! Focus! Focus!)

Back to topic.
Entah sejak kapan saya lebih suka pasang radio daripada muter kaset atau CD.
Dalam hal kaset atau CD, karena saya udah hafal banget urutan lagu-lagunya, kadang jadi nggak exciting lagi. Kecuali lagi kangen, tumpukan kaset-kaset itu jadi tara ditoel-toel acan. Pas ditoel lagi, suaranya jadi ngageol, rada-rada sember. Jadi males deh. Saya jadi sedih, takut koleksi Cranberries dan The Corrs saya jadi ikut-ikutan ngageol semua. Ada yang bilang, masukin kulkas seharian, ntar bener lagi. Ooo? Trus abis dikeluarin dari kulkas, digimanain? Dilap handuk lantas dijemur, gitu? Saya belum berani coba ah, takut malah tambah parah.

Ih, kok melenceng lagi ya?
(Come on, Grandma! Focus! Focus!)

Ok, ok. Back to topic again.
Dari album The best of Incognito, kuping saya udah sangat familiar, kalau lagu Roots di Side B itu hampir habis, sebentar lagi saya bakal denger intro A Shade of Blue. Meskipun itu termasuk lagu favorit saya, tapi sometimes it's just so... hm... apa ya? So predictable. Sehingga bahkan sebelum intro terdengar pun, emosi saya sudah terlebih dulu menata diri untuk bikin setting yang pas. Nggak asik ah.

Beda jauh kalo dengerin radio. Saya nggak pernah tau lagu apa yang bakal saya denger 3 menit berikutnya. Nih.. nih... kayak sekarang nih contohnya, saya lagi manteng di Sunday in Love-nya Ramako FM dan sekarang di kuping saya lagi mengalun duet Brian Adams dan Barbra Streisand, I Finally Found Someone. Dan wuzzz... seperti ada yang menculik memori saya sebentar ke film The Mirror Has Two Faces. Saya suka pemikiran si perawan tua intelek Rose Morgan di film itu. Kadang saya berpikir, probably I will end up like her, but never mind, hahaha...

Lalu... eh, lagunya ganti lagi.
Dan sekarang lagu itu, siapa ya yang nyanyi?
Agak-agak lupa.

...
looking for the reason
roaming through the night to find
my place in this world
my place in this world

Aha! Michael W. Smith!
Jadi inget. Suatu sore saya pernah ngajak Si Hidung Istimewa menaiki genting rumah saya di Ujungberung. Itu salah satu sisi rumah yang paling saya suka. Tempatnya terbuka dan agak berangin. Waktu pohon belimbing belum ditebang, saya suka naik genting demi buahnya yang sepet-sepet seger itu. Lalu duduk di pingiran talang, menikmati belimbing sambil memandangi puncak Manglayang. Sore itu, belum ada belimbing yang bisa dipetik, tapi kuping saya sempat menangkap suara Si Hidung Istimewa bersenandung sayup-sayup, my place in this world.. my place in this world... Uh... rasanya nggak metik belimbing berbulan-bulan pun tak apa deh... hahaha...

See what I mean?
That's what I like about radio.
The excitement of not knowing anything we're about to get.
Just like LIFE itself.