01 March 2006

Jazz, Sabtu dan Insiden *

Hari apa ini? Senin? Selasa? Rabu? Rabu! Ah, sudah Rabu lagi.

Rabu. Waktu. Makhluk dari ordo manakah kamu wahai waktu sehingga bisa sedemikian kilat membawa saya ke sana ke mari? Sobat saya si Ayra gila itu mengaku pernah bersentuhan dengan waktu. Dia bilang, waktu adalah makhluk dengan prinsip hidup “tau-tau”. Tau-tau si Tinong sudah punya anak tiga... Tau-tau si Lien sudah tinggal selesai S2 di Belanda... Tau-tau si Ronald mBe sudah jadi selebritis Extravaganza... Tau-tau… Tau-tau Rabu depan akan menjadi hari terakhir saya di sarang kadal ini. Ah senangnya :)

Dulu hari Rabu pernah menjadi hari favorit saya dalam satu minggu. Gara-garanya cuma satu: tiap Rabu malam pukul 22.00 serial X-Files tayang di SCTV. Sebelumnya, Rabu hampir selalu menjadi kelabu, karena ada jadwal 4 jam mata pelajaran fisika yang membuat saya pusing dengan segala macam rumus. Oh oh oh, jam ulangan fisika adalah jam-jam yang sungguh menyiksa, karena saya sering tidak pernah puas dengan hasilnya. Bagaimana saya bisa puas kalau hanya bisa menyelesaikan 4-6 soal saja dari 25 soal yang ada? Itu betul-betul bikin frustrasi! Bukankah ironis kalau ada angka 4 merah di buku rapor untuk pelajaran fisika padahal saya sendiri yang memilih masuk jurusan itu? Akhirnya saya terpaksa harus sombong demi menyelamatkan kepercayaan diri, “Hey! Angka 4 merah di buku rapor di SMA saya jauh lebih tinggi nilainya dibanding angka 7 di buku rapor SMA manapun di kota ini. Apa bantahanmu, heh?!” Untunglah, kata-kata itu tak pernah saya lontarkan pada siapapun kecuali di sini. Ada yang tersinggung? Well, kalaupun ada, saya sungguh tidak peduli hehe... Karena, gak penting banget gitu loh!

Sekarang ini hari Sabtu menjadi hari favorit karena di kota ini saya menemukan gelombang radio yang tiap Sabtu memutar lagu-lagu jazzy, seharian penuh! Dan karena Sabtu adalah ”hari santai” saya, maka saya mengepel, mencuci, atau menyetrika baju sambil ditemani lagu-lagu jazzy… is it a style or what? :p (eh eh eh… gak penting banget gitu loh!)

Rabu ini seharusnya saya sudah punya tiket Java Jazz Festival agar Sabtu nanti saya bisa menikmati jazz tanpa embel-embel mengepel, mencuci, atau menyetrika itu. Tapi dasar waktu, makhluk dari ordo manakah kamu wahai waktu sehingga begitu sulit diajak berkompromi? Bulan ini saya tiba-tiba mendapat “insiden ini” dan “insiden itu” yang mau tak mau berimbas pada “dompet ini” dan “dompet itu”. Tiket reguler Java Jazz tahun ini Rp 350 ribu, padahal tahun lalu cuma Rp 150 ribu.
Kalau ingin nonton special show, harus merogoh total Rp 500 ribu! Kenapa sih cara orang jualan harus selalu seperti itu? Begitu tahu barang jualannya laku, langsung deh pasang bandrol harga tinggi-tinggi. Hhh… kenapa jazz harus ikut-ikutan dibuat begitu juga? Bisa nggak jualan jazz seperti jualan pisang goreng? Bukankah itu suatu tantangan? Tapi kalaupun memang harus begitu, oke lah… Cuma, jadwalnya bisa tolong diundur bulan April nggak, Om? Om bilang, pengunjung Java Jazz tahun lalu mencapai 48.000. Bagaimana kalau Om saya kutuk jadi kadal saja biar target Om tahun ini yang 60.000 penonton itu gagal total? Doa orang teraniaya itu ampuh lho, Om. Eh, Om kok malah tutup kuping? Om??? Om!!!

Ah, keinginan… keinginan… makhluk dari ordo manakah kamu wahai keinginan? Kenapa kamu suka datang seenaknya? Hari ini saya ingin nonton Java Jazz, semalam kakak perempuan saya yang Juli nanti usianya akan menjadi 34 itu berkeluh lewat SMS betapa ia ingin punya anak dan itu membuatnya jadi sering melamun, seorang teman yang jaraknya saat ini cuma 1,5 meter dari meja saya sangat ingin segera hengkang dari sarang kadal yang sama, seseorang lain di suatu tempat beratus-ratus meter dari saya ingin segera punya pacar baru. Dan pada suatu titik kami semua pernah merasa tidak bahagia karena menggumuli segala macam keinginan-keinginan itu...

Oh oh oh, kenginan ternyata bisa jadi makhluk pengerat yang sangat-sangat mengganggu. Berpenyakit, karena yang digerogotinya tak tanggung-tanggung: hati. Lupakan keinginan! Lupakan keinginan! Tapi… tanpa keinginan, siapakah kamu? Uh uh uh, jangan, jangan pertanyaan itu lagi. Please. Not now. Nggak penting. Apa sih yang penting? Nggak penting. Nggak ada yang penting. Lalu apa yang penting? Ah, sudahlah. Sudahi. Nggak penting banget gitu loh!

Tapi…

***

*) plesetan dari Jazz, Parfum dan Insiden,
nyulik judul bukunya SGA dikit, hehe..


2 Comments:

Blogger nl said...

1. mengapa segala sesuatu harus diukur dan dibandingkan antara yang penting dan gak penting ? banyak dari yang gak penting akhirnya jadi penting loh.. Percaya ?

2. beli tiket java jazz nya pake kartu kredit b** aja..tiket kedua dapet potongan 60% (tapi telat ya ?)

3. iya..percaya..nilai 4 di skolah sebelah beda dnegan nilai empat di skolah saya..

02 March, 2006 05:02  
Blogger suss said...

imgar,
1. hm, ini bisa jadi bahan diskusi yang puanjaaaaanggggggg...
2. ini juga
3. apalagi yang ini, hehe...

07 March, 2006 04:33  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home