31 July 2011

Piring

Siang tadi Ayra membaca sebuah artikel tentang profil seorang perempuan pengusaha tas berbahan kain batik tulis. Novita Yunus namanya, pemilik sekitar 20 butik Batik Chic yang tersebar di ibukota. Selama 11 tahun ia berkarir di bank, hingga pada akhirnya melakukan perubahan. Dan pada bulan 11, ia memutuskan berhenti bekerja.

Sehabis mengikuti sebuah seminar, Novita Yunus ini seperti diingatkan kembali akan satu hal penting. Dia bilang, “Sesungguhnya setiap manusia sudah memiliki porsinya masing-masing dalam hidup. Saat kita percaya, maka tak ada lagi gunanya mengkhawatirkan hal-hal kecil.”

Hm, kehidupan tiap orang sudah sesuai dengan porsinya masing-masing, Ayra membatin. Kalimat itu melayang-layang di benaknya seharian. Untunglah sore itu taman di pelataran mesjid agung sedang tidak terlalu ramai. Ia duduk di salah satu bangkunya. Sejenak tergugah oleh aktivitas beberapa pedagang asongan yang lalu lalang menjemput uang. Ayra tergerak membuka tas selempangnya, hendak mengambil kamera untuk mengabadikan momen-momen hidup yang tidak pernah abadi itu, tapi ia mengurungkan niat. Lalu kembali duduk tenang menikmati matahari yang mulai menguning.

Sebentar kemudian dilihatnya aku datang dari seberang jalan. Ayra tersenyum lega, mengggeser duduknya sedikit ke kiri, memberikan ruang bagiku untuk menemani. Kehidupan tiap orang sudah sesuai dengan porsinya masing-masing. Tak ada suara dari mulutnya, tapi aku bisa mendengarnya bicara. Dan aku mengangguk untuk apa yang baru saja kudengar. Aku tahu, saat-saat seperti ini adalah saat-saat ketika aku yang bicara dan dia yang mendengar.

Ya, Ayra sayang. Kehidupan tiap orang sudah sesuai dengan porsinya masing-masing. Satu porsi, satu piring. Hey, pernahkan kamu memperhatikan, seberapa besar piring yang kamu miliki? Karena sebesar itu pulalah hidangan kehidupan yang akan disajikan Tuhan kepadamu. Piring besar, hidangannya banyak. Piring kecil, hidangannya sedikit. Jadi tak perlu dipertanyakan mengapa orang lain makan lebih banyak sementara kamu hanya makan sedikit, atau sebaliknya. Lihat dulu piringnya, besarkah atau kecilkah?

Kubiarkan Ayra merogoh tasnya. Tidak terlihat piring keluar dari tas itu. Cuma sebuah sendok makan dan pisau lipat yang sudah lawas. Perkiraanku, pisau itu sudah agak tumpul karena jarang dipakai. Tapi segera kuusir prasangka itu. Aku tak ingin Ayra khawatir dengan isi kepalaku. Maka kulanjutkan saja mengoceh ke telinga kanannya.

Beruntunglah mereka yang mewarisi piring besar dari kedua orangtuanya, mereka bisa memakan hidangan kehidupan dengan alas wadah langitan, hasil panen amal dari hidup orang tuanya di masa lalu. Tapi ada juga mereka yang mendapatkan piring itu dengan jerih payah sendiri. Yang ini, mereka memakan hidangan dengan rasa puas yang mendalam. Syukur. Dalam hal makan, tak ada yang lebih membahagiakan kecuali memakan hasil keringat sendiri.

Ayra mengangguk. Sekali, tapi dalam.

Sudahkah kamu perhatikan, Ayra, bahan baku piring kehidupanmu itu apa? Tiap orang boleh memiliki bahan dasar piring yang berbeda-beda. Tapi piring yang layak isi adalah yang berbahan baku baik: yakin, syukur, sabar, tenang, jujur, patuh, benar, cinta, harapan, mimpi, dan segala imajinasi.

Sekarang ketika piringmu jatuh hingga pecah berantakan, ini saatnya untukmu berpuasa dari hidangan kehidupan untuk beberapa waktu. Sementara menunggu waktu berbuka, jadikan saja ini ibadahmu: coba kumpulkan pecahan piringmu itu, tempatkan di satu wadah, ambil palu, lalu remukkan pecahan-pecahan itu hingga menjadi pecahan-pecahan yang jauh lebih kecil.


Sudah?
Ayra memejamkan mata. Mengangguk.

Sekarang ambil cobek dan batu penggiling. Gerus pecahan-pecahan kecil itu hingga menjadi serbuk halus. Apakah terlihat olehmu, di antara serbuk-serbuk halus itu ada titik-titik butiran hitam? Ada? Ambil satu saja butir hitam itu, letakkan di telapak tanganmu, dan rasakan dengan seluruh sarafmu betapa sesungguhnya permukaan butir itu bergerigi tajam.

Bagaimana rasanya?
Ayra meringis. Kelopak matanya makin terpejam.

Gatal-gatal? Menusuk-nusuk kulit? Panas?
Ayra mengangguk. Kulihat telapak tangannya sedikit memerah.

Membuatmu ingin segera membasuh tanganmu itu dengan air, bukan?
Ya. Ayra menggumamkan ‘ya’.

Nah, Ayra sayang, sekarang buka matamu. Perhatikan dan kenali butir-butir hitammu. Itulah kesombongan, kebohongan, keangkuhan, ketergesaan, kebodohan, kelalaian. Itulah yang membuat piringmu jatuh dan pecah. Karena santapan kehidupan dari Yang Maha Agung tidak layak dihidangkan di atas piring licin berbahan kotor.

Menakjubkan bukan, betapa keangkuhan bisa terlihat jelas wujudnya dalam keadaan terhalus? Menakjubkan bukan, betapa serbuk-serbuk kesombongan itu bisa teraba kasarnya setelah piring kehidupanmu jatuh berkeping-keping? Maka bersyukurlah karena piring burukmu itu telah jatuh. Lalu bersujudlah, selagi matahari masih hangat.


***

Selamat Ramadhan, Ayra.
Baik-baiklah di sana.

20 July 2011

Lahir

Dan lihatlah dirimu di Cermin itu.
Hari ini kamu kembali menjadi bayi.
Kamu dibuat takjub. Oleh Cermin. Oleh bayi.

Tahukah kamu, Ayra? Kelahiran yang sesungguhnya adalah kelahiran yang tak disengaja, namun sebenarnya telah jauh terencana. Dan dalam hidupmu, kamu tak cuma lahir sekali. Betul memang, bulan tujuh selalu menjadi bulan kelahiranmu, tapi kamu tidak pernah tahu pada tahun, tanggal dan pukul berapa tepatnya kamu akan terlahir kembali. Bukan kamu yang menunjuk waktu, bukan pula aku.

Seperti hari ini, pernahkah kamu menyangka bahwa kamu akan lahir lagi? Aku yakin tidak. Apalagi dalam bentuk seperti ini. Manusia memang makhluk yang senang melupa. Tapi... ssssttt... kuberitahu sebuah rahasia: segala permintaan sering kali dikabulkan ketika sudah jauh terlupa. Itulah mengapa doa-doa yang mewujud sering dikatakan sebagai 'terkabul'. Ah betapa indahnya melupa, karena dengannya kamu dibuat terkejut bahagia oleh keajaiban rencana-rencana.

Sini, kemarilah. Aku ingin mengingatkanmu. Lihat ini, tulisan hatimu tercatat rapi di sini, aman tersimpan di dalam gelembung bulir-bulir embun yang berkunjung ke bumi. Huruf-hurufnya tertata runtut, sangat teliti. Huruf-huruf itu tampak bening, jernih, sebab kamu menuliskannya dengan air mata murni, yang kamu himpun tetes demi tetes di malam-malam hening berselimut Cahaya. Pandanglah dengan cermat, sebab aku ingin mengingatkanmu bahwa: ya, kamu pernah meminta untuk lahir. Tepatnya, dilahirkan sebelum melahirkan. Kamu meminta dengan kata ‘manusia baru’, dan Cermin itu memahaminya sebagai ‘bayi’. Kalau demikian, bukankah permintaan sudah terpenuhi? Bukankah segalanya sudah sangat adil? Sudah, Ayra. Segalanya. Adil. Sudah. Karena Cermin selalu jujur. Cermin selalu setia pada janji. Tidak seperti manusia, Cermin tak mengenal dusta.

Nah, sekarang kamu jadi teringat kembali tanggal yang sama tepat empat tahun yang lalu, bukan? Ya, 20 Juli 2007 itu. Aku pun ada di sana, menyaksikan kelahiranmu yang terakhir sebelum yang ini. Sekali lagi, bukan kamu yang menunjuk waktu, bukan pula aku.

Maka kini,
sebagaimana lazimnya di setiap kelahiran,
aku hadiahkan untukmu sebuah kata, sebuah doa:
Selamat.


A VI 9 RD
At the beginning of the last day.

15 July 2011

Hijrah

Malam ini.
Adalah 11 tahun kurang 1 bulan.
Untuk raga yang melayang-layang di taman ria.

Malam ini.
Adalah tepat 11 bulan.
Untuk gunung jiwa yang meledak sempurna.

Malam ini.
Kehendak Yang Maha sudah bermuara.
Ambillah damai sebagai selimutmu.
Himpun semua yang tersisa.
Lalu pergilah.

11 July 2011

In here, out there

“Ayra.”
“Dolores, right?”
“Hey, you’re not sleeping yet?”
“I am, but I can always read you, honey. She’s coming to town this month.”
“Yeah. The Queen is coming to town. Again.”
“And we’re still in here.”
“And she’s going to be there, very soon.”
“When exactly?”
“July 23rd, at 23.00.”
“God...”
“What to do?”
“Nothing. It’s too far, too high. It’s not our time now. Just be grateful. We've been privileged to have really seen her performing stunningly once in our lifetime. Not many people have it.”
“Yeah. Sometimes once is better than twice.”
“Sometimes it is.”

09 July 2011

Someday

It's often a wonder how God's Gracious Hands strokes you. So careful and tender that you can't help yourself but crying quietly for the Grand Love you feel. Like that late afternoon when you were sitting in a bus, returning home after taking care of a trivial case of Life, looking out the window, feeling restless about tomorrow. And suddenly you got dizzy. And God made you feel sleepy. And you're gone to nowhere for a few minutes, leaving all matters to God's plan. And then you woke up to a song. And you knew... you just knew...

Someday when we are wiser,
When the world's older,
When we have learned.

....................

(Someday by All 4 One)

08 July 2011

Angry and Healthy

Me : “Mr. Hulk, teach me how to be angry like you.”
Hulk : “Why would you want that? I myself dislike it when I’m angry.”
Me : “I think it’s healthier, the way you angry. You unleash a power within. Bad power though, but it’s awfully expressive. Ough, I envy that, such a style of releasing anger.”
Hulk : “You know what, dear? You want to be healthier? Keep drinking that carrot-tomato pulp juice you usually drink every afternoon. Plus, eat GREEN vegetables, a lot. I mean: A LOT.”

After watching Hulk on TV about an hour ago, for I don’t know how many times. Hey, don’t blame it on me. Blame it on the gorgeous Jennifer Connely, OK? She’s my queen after Dolores.

04 July 2011

Eternity

I am God's miracle.
I am a marvel.
Since before I was born, until long after I'm gone.
Here and there, now and then,
I love, I learn,
I live.

Happy birthday.

02 July 2011

Here below

Here below the Kingdom of Clouds.
I’m admiring the ever changing beauty in a matter of seconds.
In every sound of the ticking time and the clicking mind,
I am, mesmerized.
Addictive, indeed. But a grand feeling, it is.
And so I thank God that I have God.