27 March 2011

Menghidupi Waktu

Saya seorang penyuka film. Sempat mencandu, tapi belum tergolong maniak, meskipun memang jumlah koleksi saya di atas rata-rata. Saya juga bukan tipe penggemar berat yang suka memutar film yang sama berkali-kali hingga hafal hampir semua adegan dan dialognya. Tapi, mungkin ini anomali, ada beberapa film yang entah kenapa saya belum bosan untuk menontonnya berulang-ulang. Tiga di antaranya adalah Eternal Sunshine of the Spotless Mind, The Curious Case of Benjamin Button, dan The Time Traveler’s Wife. Ada satu kesamaan dari ketiga kisah tersebut, tentang indahnya waktu yang mengalir begitu cair.

Malam tadi The Time Traveler’s Wife berhasil memenangkan hati saya lagi. Yang saya suka dari film ini adalah rasa hangat yang dialirkannya dari awal hingga akhir. Hangat, cair, ringan dan manis.

Malam tadi saya hanya ingin membiarkan diri saya hilang meresap ke dalam cerita, ke dalam rasa cinta yang hangat itu lagi, tanpa harus mencoba untuk mengerti apapun. Saya membiarkan sisi diri saya yang suka menganalisis untuk duduk tenang jauh-jauh di luar sana selama kurang lebih 1 jam 39 menit. Karena sebetulnya memang tidak perlu dimengerti bagaimana seseorang berkali-kali masuk dan keluar dari kehidupan orang yang dicintainya dengan cara yang sungguh aneh. Itu hanya untuk dirasa, dihayati. Dan malam tadi saya kembali hanya merasa. Betapa ‘hanya merasa’ adalah sesuatu yang sangat membebaskan jiwa.

Mungkin sejatinya, keseluruhan hidup adalah juga tentang merasa. Demikian juga dengan waktu. Waktu, apakah ia maju atau mundur, tidaklah penting. Yang penting adalah bagaimana cara menghidupinya. Begitulah, saya selalu senang untuk mengandaikan waktu sebagai sesuatu yang hidup. Dan selayaknya entitas yang hidup, ia juga perlu makanan, agar ia mendapat energi untuk bisa terus mengalir dengan tenang, menjalankan perannya sebagai kendaraan yang setia ditumpangi manusia untuk tumbuh dan terus tumbuh sambil bermain-main di lapangan luas hidupnya.

Kini saya mengerti, rasa adalah apa yang menghidupi waktu. Rasa menghidupi setiap helaan nafas. Dan saya senang, malam tadi hati saya terpenuhi, cukup hanya dengan merasa.

23 March 2011

Kita

Lalu kamu bertanya, “Siapakah kita?”.
Aku hanya bisa mengatakan kepadamu, “Kita adalah dua pohon jiwa, dan sekumpulan abu dari debu waktu yang terlalu cepat menderu. Namun betapa beruntungnya kita, karena sekumpulan abu ini tak lain serupa bubuk pembersih saja.”
“Serupa abu gosok?”
“Serupa abu gosok.“

Lalu kamu masih bertanya, “Siapakah kita?”
Aku hanya bisa mengatakan ini kepadamu, lagi, “Kita adalah dua pohon jiwa, dan sekumpulan abu dari debu waktu yang terlalu cepat menderu. Sekumpulan abu ini sesungguhnya tidak pernah mengendap. Air selalu setia membawa serbuk-serbuk abu berkelana, dari ujung akar yang coklat hitam hingga jauh tinggi ke pucuk daun yang hijau muda, lalu turun lagi ke akar, lalu naik lagi ke daun, demikian seterusnya selama matahari masih ada. Sambil berkelana, serbuk-serbuk abu dengan rajin dan sabar menggosok setiap dinding sel dalam diri kita, meluruhkan segala dedak dan kerak, agar pohon jiwa kita ini tumbuh makin sehat, makin kuat.”

“Sudah sehatkah kamu sekarang?”
Aku mengangguk.

“Sudah kuatkah kamu sekarang?”
Kamu mengangguk.

07 March 2011

ghost

I am your ghost
who exists only when you’re in doubt and fear
I dissapear everytime your love is near

you are my ghost
who exists everytime I’m in love
and everytime feels like forever
so for you, my ghost, I make myself dissapear

03 March 2011

Pelajaran kata dasar

Malam Jumat.
Seperti biasa, Guru dan Murid duduk bersila berhadap-hadapan di pendopo taman. Pakaian mereka sama-sama putih.

Guru : Nak, apa kata dasar dari perhatian?
Murid : Hati, Guru.
Guru : Maka demikianlah, telah dititahkan kepada Hati, sehingga setiap apapun yang kau beri per-hati-an, ia akan hadir dengan sangat nyata ke duniamu. Maka berhati-hatilah, Nak, kepada setiap apapun yang kau beri hati.
Murid : (Mengangguk takzim)

Guru : Sekarang, apa kata dasar dari pengalaman?
Murid : Alam, Guru.
Guru : Maka demikianlah, telah dititahkan kepada Alam, sehingga ia memberi tanda-tanda sebagai penuntun bagi mereka yang mau dituntun. Sekarang kau mengerti bukan kenapa nenek moyangmu mewariskan kalimat itu, "Pengalaman adalah guru yang terbaik"?
Murid : (Mengangguk takzim. Batinnya mencatat lamat-lamat, "Hati. Perhatian. Alam. Pengalaman. Guru. Guru. Guru.")