28 May 2007

Ayra beranak setiap hari

Ayra beranak setiap hari. Satu, dua atau tiga. Kadang-kadang sampai empat, tapi ini jarang sekali karena empat adalah salah satu dari beberapa angka istimewa buatnya, dan yang istimewa tentunya tidak datang setiap hari bukan? Konon angka empat bisa berarti awal kehidupan, karena ruh ditiupkan ketika janin berusia empat bulan. Tapi konon juga, angka empat buat orang Tionghoa berarti kematian. Meski Ayra percaya dengan keajaiban angka-angka dan selalu ingin tahu tentang hidup dan mati, ia masih cukup waras untuk tidak mengharapkan kehidupan dan kematian datang berebutan menjemputnya tiap hari. Lagipula, melahirkan empat bayi dalam sehari sungguh-sungguh melelahkan.

Setiap hari Ayra berangkat ke luar rumah. Bisa ke mana saja, tidak pernah ada yang tahu ke mana ia pergi, bahkan dirinya sendiri. Karena bisa saja Ayra sedang menuju ke sebuah arah, tiba-tiba handphone mungilnya bergetar dan saat itu juga ia harus berbalik haluan.

Lantas setiap sore ia akan kembali dengan janin-janin setengah jadi. Seperempat jadi. Seperdelapan jadi. Semua berdesakan di dalam kantung rahimnya yang cuma satu.

Ayra tidak mengerti bagaimana ia mengandung, sebab perutnya tidak pernah menggelembung, bahkan sebagian teman menyebutnya terlalu kurus. Yang ia tahu, setiap menjelang malam hingga hampir tengah malam ia selalu harus melalui serangkaian proses melahirkan yang berulang-ulang.

Kebanyakan bayi-bayinya lahir lewat celah sempit yang tersembunyi di balik kuku jari-jari tangannya. Beberapa kali pernah lewat rangkaian tulang belakang, lewat serangkaian terowongan gelap yang berakhir di ujung-ujung rambutnya yang panjang, lewat telapak kaki, lewat urat nadi, lewat trachea, lewat mana saja, bahkan lewat pori-pori kulit, tapi tidak pernah lewat vagina.

Seorang pedagogis anak yang baik hati pernah bilang padanya bahwa setiap anak adalah istimewa. Nah, untuk anak-anaknya, Ayra tidak pernah punya waktu mengandung yang sama. Kadang hanya dalam setengah jam ia sudah melahirkan bayi sehat sempurna. Kadang hingga berhari-hari atau berbulan-bulan. Kadang bahkan hingga bertahun-tahun, dan janin itu menetap di sana, tidak pernah menjadi. Bukankah itu istimewa?

Melahirkan bayi-bayi, kadang sulit, kadang semudah bernafas. Seperti bernafas, saking mudahnya, orang sering lupa bahwa ia sedang bernafas. Padahal itu adalah hal terpenting untuk tubuhnya, karena tertahan beberapa menit saja sudah mampu membuat milyaran sel-sel tubuh gagal bekerja. Ayra sering lupa bahwa ia harus melahirkan bayi tiap hari, bahwa berhenti melahirkan bisa membuatnya tiba-tiba mati.

Melahirkan bayi-bayi, kadang semudah bernafas, kadang sulit sekali. Kadang sudah bukaan 10, tapi tidak terlihat tanda kepala nongol. Kadang di bukaan 5 bukan kepala yang terlihat tapi badan, dan kaki entah ada di mana. Kadang baru bukaan 2, bayi sudah menggelontor. Kadang kepalanya nongol lebih dulu, kadang sungsang. Kadang tak ada kepala tak ada kaki, hanya sepotong badan, dan terpaksa dilakukan operasi caesar. Beberapa kali organ tubuh bayinya harus diamputasi di dalam kandungan sebelum akhirnya berhasil dikeluarkan. Bentuknya mengerikan.

Tapi sering pula Ayra dibuat takjub begitu bayi-bayinya lahir, karena kadang mereka lebih pintar dari Ayra sendiri. Malah hampir ajaib. Ada yang bisa bicara begitu dilahirkan, lalu mengajari perempuan itu kata-kata asing. “O, mother, my dear mother… why are you always seem so sullen?”, tanya bayinya suatu kali. Sullen? Ayra malu bertanya pada seorang bayi, maka dia bergegas mencari kamus, menemukan artinya, lalu menuliskan kata itu di buku notes kecil bersampul hijau yang dibelinya khusus untuk mencatat segala kosakata baru yang ia temukan per hari.

Kadang lain, Ayra dibuat terpana demi melahirkan bayi yang datar tak bermimik muka. Kadang bayinya terlahir dengan muka ceria berlebihan serupa badut, kadang murung tak berkesudahan mirip muka pengemis-pengemis palsu. Mereka semua saudara, tapi tidak satupun dari mereka yang punya tampang mirip. Padahal Ayra ingin sekali punya bayi kembar. Ingin sekali.

Pernah ada satu bayi yang protes. Sebuah adu argumentasi memenuhi ruang persalinan yang sempit hanya beberapa menit setelah si bayi dimandikan. Sungguh menggelikan bagaimana bisa tercipta dialog antara antara bayi mungil tak bergigi dengan seorang perempuan yang menatapnya dalam-dalam sambil memikirkan tentang bagaimana bila sampai waktunya nanti ia tak bergigi lagi: masih haruskah ia gelisah tentang belum pergi ke klinik kulit minggu ini karena krim malamnya habis?

“Kamu ibuku kan, Ayra?”
“Hm. I’m afraid so.”
“Boleh kutanya kenapa kau memutuskan melahirkanku ke dunia?”
“Aku tidak memutuskan. Cuma menjalani, lalu melahirkanmu. Sudah tugasku begitu.”
“Tapi begitu kamu tahu aku ada dalam dirimu, kamu selalu punya pilihan untuk tidak melahirkanku dengan mematikan aku, bukan?”
“Kedatanganmu adalah berkah. Mematikanmu mengundang amarah.”
“Klise. Aku tidak mau kamu lahirkan. Tidakkah kamu pernah mempertimbangkan itu sebelum membuatku?'
“Aku tidak pernah membuat. Aku hanya serangkaian mesin. Rahimku adalah pabrik. Tujukan saja protesmu itu kepada yang membangun pabrik. Dan jangan tanyakan padaku siapa dia.”
“Huh! Tipikal omongan manusia yang maunya berbuat lalu lepas tanggung jawab!”
“Terserah. Sekarang toh kamu sudah lahir. Lalu kamu mau apa, heh?”
Bibir bayi mungil terkatup, dan tidak pernah membuka lagi selamanya. Ia memilih bisu. Tapi tidak buta, tidak tuli.

Setiap pagi Ayra berdandan, menyiapkan perlengkapannya, lalu pergi keluar rumah. Bisa ke mana saja, tidak pernah ada yang tahu ke mana ia pergi, bahkan dirinya sendiri. Karena bisa saja Ayra sedang menuju sebuah arah, tiba-tiba handphone mungilnya bergetar dan saat itu juga ia harus berbalik haluan.

Setiap pagi seorang tetangga yang melihat Ayra berangkat akan bertanya.
“Ke mana, Ra?”
“DPR.”
“Lagi? Orang-orang yang suka berbicara itu? Bukannya kamu tidak pernah suka dengan orang yang banyak bicara?”
“Banyak bicara dan banyak cerita adalah dua hal yang berbeda. Mana yang kamu maksud?”
Malamnya, Ayra melahirkan bayi yang buta tuli dan tidak pernah berhenti bicara. Bukan satu, tapi beribu-ribu. Ujung-ujung jari tangan Ayra terasa geli hingga beribu-ribu hari.

Pagi berikutnya.
“Ke mana kali ini, Ra?”
“Kantor asosiasi pengusaha rokok.”
“Oh, jangan! Anakmu nanti seorang perokok!”
“So?”
Malamnya, Ayra melahirkan seorang bayi yang sangat tampan, lengkap dengan kuda gagah seperti gambaran di sepotong iklan Marlboro. Ayra tersenyum kecut. Bayiku akan menjadi seorang koboi pertunjukan rodeo, batinnya.

Pagi berikutnya.
“Ke mana?”
“Pameran handicraft.”
“Oh, hobby lamamu itu.”
“Ya. Sudah lama sekali.”

Hari berikutnya. Kali ini agak siang.
“Ke mana, Ra?”
“Ke bank.”
“Menabung?”
“Menyabung.”

Hari berikutnya. Sudah agak sore.
“Hai Ayra, pergi ke mana hari ini?”
“Ini Sabtu. Aku tidak melahirkan di hari Sabtu.”

Tapi mungkin karena terlalu sering melahirkan, Ayra jadi suka lupa hari. Ia sering terbangun dan spontan melemparkan pertanyaan mekanis kepada dirinya sendiri, “Ke mana?”. Ia membuka HP, mengecek siapa tahu ada SMS undangan. Tapi sebelum menekan menu inbox, di wallscreen-nya tertera: Saturday. Lalu ia tertawa dengan bodohnya, dan kembali meneruskan tidur sampai sore bertemu sore. Lupa makan. Lupa mandi. Lupa hidup. Lupa mimpi.

Kadang lain ia terlalu asik melahirkan, hingga lupa bahwa itu adalah Selasa, ketika biasanya ia akan ingat untuk cepat pulang demi Mondo Groso dan menikmati ‘Trees, Air and Rain on the Earth’ sambil tiduran dan membaca ulang 'Vita Brevis'. “Yang ini untuk Ayra. Nama yang bagus,” kata suara di sana. Ah ah ah... baru kali itu ia merasakan betul bahwa suara anonim itu bisa menjadi begitu personal.

Hari lain ia datang ke sebuah acara di ballroom hotel bintang lima. Di depan pintu ia dicegat Mbak penjaga berwajah manis dengan sebuah pertanyaan kaku serupa palang pintu, “Darimana, Mbak?”

Ayra tidak suka menggantungkan ID card di leher seperti kebanyakan orang yang datang ke sana, “Seperti kalung anjing,” pikirnya ketika dicobanya suatu kali. Kepada Mbak manis itu Ayra tidak bicara, cukup dengan sedikit menggerakkan otot-otot di sekitar ujung bibirnya, menunjukkan ID card yang tali pengaitnya –alih-alih ia gantung di leher-- ia lilit saja di tangan kiri, lalu palang pintu dibuka.

Ayra melenggang masuk, duduk di salah satu deretan kursi berbaju putih, menunggu sesuatu dimulai dengan cara membiarkan sesuatu yang lain menggelembung di dalam kepalanya: “Siapakah kamu? Hanya sebentuk ID card, lalu orang mengangguk setuju?”

Perempuan itu meraih ID card-nya, membuka lilitan tali, lalu memasukkannya kembali ke dalam tas di pangkuan. Duduk tenang, tangan bersidekap, matanya melirik ke arah langit-langit ballroom yang penuh lampu kristal bergelantungan, mencari-cari, lantas ia mengalamatkan senyumnya pada sesuatu yang letaknya selalu di atas. Ia menoleh sekilas ke arah si Mbak manis yang masih berdiri dan menanyakan pertanyaan yang sama pada setiap yang menghampiri pintu.

Si Mbak manis itu tidak tahu, dibalik ID card Ayra tertulis huruf kapital tebal:

nama: AYRA
pekerjaan: PELACUR


(Shit! What a punch! Kata ‘pelacur’ ini sungguh sebuah penutup yang paling pas untuk sebuah tulisan tentang perempuan dan kegiatan beranak. Kamu pikir aku akan berhenti di sini kan? Karena ini gayaku yang kamu tahu. Ya, semestinya aku berhenti di sini dan membiarkanmu pulang dengan kata ‘pelacur’ di kepalamu. Aku juga sempat berpikir demikian. Tapi aku masih suka bermain-main di sini. Aku masih ingin menari-nari. Well, anggap saja ini seperti sebuah menu alternate ending di sebuah DVD. Kamu boleh berhenti di kata ‘pelacur’ itu, atau memilih kata lain bersamaku sekarang. Tapi, sebentar. Ketika matamu membaca kalimat ini, itu artinya kamu sudah terlanjur ikut bersamaku dan meninggalkan ending ‘pelacur’ tadi. Haha! Gotcha! :) So let’s have a little rewind, shall we?)


Perempuan itu meraih ID card-nya, membuka lilitan tali, lalu memasukkannya kembali ke dalam tas di pangkuan. Duduk tenang, tangan bersidekap, matanya melirik ke arah langit-langit ballroom yang penuh lampu kristal bergelantungan, mencari-cari, lantas ia mengalamatkan senyumnya pada sesuatu yang letaknya selalu di atas. “Hai. Aku sekarang pelacur. Kemarin aku berenang-renang di kolam penuh tinta warna-warni, hingga ketika keluar kolam aku bak seorang model body painting yang melenggak-lenggok bangga –tidak peduli bahwa ia hanya media dan bukan sang pelukis. Sebelumnya aku penjual pisang goreng yang selalu laris manis. Jauh sebelum itu aku adalah pencuri yang sangat ahli melebur barang-barang curiannya menjadi benda berkelas dengan merek baru. Dan jauh jauh jauh sebelum itu aku adalah seorang bayi yang terlahir sesuci malaikat dengan dua malaikat lain menyertaiku*. Dengan apa aku akan menyangkal bahwa hidupku sudah begini lengkap?”

Acara di ballroom dimulai. Sebuah pembukaan superblock baru di pinggiran timur ibukota. Masih berupa maket, tapi pihak developer mengatakan 40% space sudah terjual. Hebat atau bodoh, Ayra tidak tahu. Otaknya membeku. Jantungnya membeku. Tapi rahimnya tidak. Tidak boleh ada satu viruspun yang membuat rahimnya beku.

Satu jam kemudian Ayra kembali dari ballroom hotel itu. Malamnya, ia melahirkan kuda terbang bermata tiga yang langsung melesat dari rahimnya. Dari ketinggian, kuda terbang itu dengan ringan menjatuhkan kotak-kotak dadu di setiap lintasan yang ia lalui. Ketika sampai di bumi, kotak-kota kecil itu seketika mengakar menjalar sekaligus tumbuh meninggi menjadi mall, apartemen, pusat bisnis, dan berbagai pusat hiburan. Semut-semut segera merubung.

Empat puluh tiga hari kemudian Ayra mendatangi malaikatnya.
“El, sepertinya aku sudah menopause.”
“Bagus. Berhenti beranak. Mari berkebun.”


***

Kamis, 1 Februari 2007/07.34

* “Dan datanglah setiap jiwa, bersama dengannya seorang malaikat pengiring dan seorang malaikat penyaksi.” (Qaf 21)




23 May 2007

Pasir (3)

Pasir Episode 3

Rumah Pasir


Ayra tidak merasa harus minta ijin siapapun untuk membawa botol-botol mungilnya kemanapun dia pergi. Juga saat ia datang berkunjung ke apartemenku malam itu.

Kuperhatikan Ayra mengeluarkan beberapa botol kaca kecilnya dari tasnya. Tingginya kira-kira 3 cm, berisi butiran-butiran pasir. Tanganku kontan meraih salah satunya. Kulihat wajahnya begitu bercahaya ketika menjelaskan, “Yang ini pasir Pantai Pangandaran --tiga kali aku ke sana, di pasir putihnya itu ada campuran serpih-serpih hitam. Unik sekali. Yang abu-abu itu dari Pantai Baron. Nah, yang kamu pegang itu dari Pantai Kukup. Yang seperti kerikil-kerikil bulat itu dari Pantai Krakal. Aku kira itu bukan pasir, melainkan timbunan telur-telur binatang laut yang gagal menetas lalu menjadi fosil. Tapi entahlah, aku bukan ilmuwan biota laut, rasanya sudah berabad-abad lalu kumimpikan profesi itu. Ah, sudahlah. Lalu yang sangat putih dan halus ini dari Pulau Bidadari.”

“Sekedar memorabilia? Atau apa?”
“Sabar, aku belum selesai. Lihatlah, meski beberapa pantai itu sama-sama dikatakan pantai pasir putih, tidak ada pasir yang putihnya persis sama, bukan? Setiap pantai punya kisah hidupnya masing-masing, dan hamparan pasirnya menyimpan cerita berharga. Kadang-kadang air laut atau angin berbaik hati menawarkan bantuannya untuk mengikis timbunan pasir tertentu di suatu pantai hingga akan tampaklah kotak-kotak kisah yang sengaja ditimbun orang di sana. Andai kamu tahu, betapa banyak orang yang senang mengubur kisahnya di balik hamparan pasir pantai. Betapa bodoh. Besok seharusnya aku sudah dalam perjalanan menuju Ujunggenteng. Orang bilang pantainya indah sekali. Tapi sayang aku tidak bisa pergi.”

Aku tidak tertarik untuk bertanya kenapa ia tidak bisa pergi ke Ujunggenteng. Aku lebih tertarik untuk bertanya, “Botol-botol pasirmu itu, mereka juga punya kisah?”
“Hm,” jawabnya pendek.
“Dan cuma botol-botol pasir ini isi tasmu?”
“Ya. Dan selalu kubawa kemanapun setiap hari,” jawabnya.
Aku... Aku seketika kehilangan kata-kata.

Di atas meja tidak tersisa lagi brownies-kering-berbahan-singkong yang bisa memberikan gula dan karbohidrat untuk pasokan oksigen bagi otakku yang kehilangan cara memahami pikirannya. Aku seruput saja kopi tubruknya tanpa pikir panjang. Tapi bukankah tadi kopi tubruk itu kubuat tanpa gula? Kupret!

“Aku selalu ingat kata-kata seorang teman,” ujarnya, menghentikan niatku yang hendak beranjak mengambil gula, “tapi kini ia menghilang entah ke mana. Kamu masih ingat Si Lelaki Tengah Malam, bukan? Dia pernah bilang padaku: hidup kita saat ini layaknya seperti orang tidur saja. Maka selagi masih tidur, bermimpilah sepuasmu. Bermimpilah…

Kalimat itu memicu sederet pertanyaan yang seketika berbaris tepat di atas ubun-ubunku, mengantri untuk masuk ke dalam kepala satu-satu. Kalau sekarang ini aku sedang tidur, jam berapa aku boleh bangun? Berapa jam lagi sisa waktu tidurku? Adakah seseorang yang sedang bermain-main dengan putaran jam tidurku? Bolehkah aku protes bila jam tidurku dipotong atau bahkan diperpanjang oleh seseorang itu? Bagaimana aku akan dibangunkan? Siapa yang akan membangunkanku kalau aku pergi tidur di rumah yang cuma kutempati sendiri? Kalau aku sudah bangun, lalu apa? Bolehkah aku tidur lagi? Atau kemudian jamnya mati? Kalau jamnya mati karena baterainya habis, bagaimana? Apakah aku akan tidur selamanya? Di sini? Oh tidak!

Cukup lama pertanyaan-pertanyaan itu berderet di depan pintu kepalaku. Mereka mengetuk-ngetuk meminta masuk. Tapi aku sedang tidak ingin peduli dengan tamu-tamu maya tak diundang itu. Ada tamu yang lebih nyata bernama Ayra di depanku. Kuperhatikan lama-lama mereka tidak lagi berbaris dengan rapi. Masing-masing pertanyaan mulai tidak sabar meminta jawaban dan mulai bergerombol. Mereka menggedor-gedor pintu. Mereka mengacungkan tinju. Aku makin tidak peduli, karena mereka sungguh tidak sopan. Mereka harus diberi pelajaran tentang aturan, tegasku. “Hey, kalian! Pikiran-pikiran! Tidak cuma aku, pikiran juga harus tertib, tauk!” teriakku pada mereka. Aneh, cuma sekali teriak dan gerombolan pertanyaan itu tampaknya tahu diri. Mereka mengangguk seolah menghaturkan tabik, lalu berbalik satu-satu. Tangan-tangan yang tadi ramai mengacungkan tinju, merontokkan diri di tengah jalan yang juga seketika menghablur jadi alur-alur asap tipis.

Ah, ternyata semudah itu menghalau pikiran. Aku menarik nafas lega, dan berpaling pada Ayra yang sepertinya sadar bahwa aku tidak bersamanya selama beberapa detik tadi.
“Apa mimpimu?” tanyaku, mengingatkan diri pada pertanyaan yang sama sesaat sebelum dia memamerkan botol-botol pasirnya itu.
“Sebuah rumah sederhana di tepi pantai yang bersih.”
“Oya? Apa saja yang akan kamu lakukan di sana?”
“Apa saja? Seluruh hidupku!”

Aku tidak tahu, apakah telingaku yang mulai berdenging ataukah suaranya yang mulai menjadi samar. Tapi yang kudengar berikutnya tak lain seperti gumaman orang mabuk. “Sehabis bangun aku akan lari pagi atau bersepeda sepanjang pantai. Siang hari mengurusi toko handicraft kecilku. Atau menyibukkan diri di ruang workshop. Melukis, mengedit film, mencetak buku, apapun. Dan aku melakukan semuanya sambil mengawasi anakku satu-satunya. ”
“Perempuan?”
“Perempuan, tentu saja. My little Ayra, kepada siapa seluruh sari hidupku akan kuteteskan.”
Yeah, I thought so. Lanjut.”
“Menjelang sore adalah waktu untuk rutinitasku yang lain. Aku akan pergi ke pondok yang kubangun di pinggir pantai untuk berbagi ilmu, pengalaman dan keterampilan hidup dengan siapapun yang mau berbagi --pejalan kaki sekalipun, lalu sesudahnya bermain snorkeling atau diving barang 2 atau 3 jam –oya, tentu saja aku akan membawa anakku ikut serta untuk hobi yang satu itu.”
That’s great. Lanjut” (Betapa menyedihkan bahwa kita tidak mempunyai pilihan lain selain mengatakan 'lanjut')

Kepalaku pening. Lampu kristal di atasku seperti sedang menguap.
Suara Ayra kudengar makin samar. Jauh. Tapi ia masih 'lanjut'.
“Waktu ashar akan kunikmati untuk menyaksikan pergantian shift malaikat-malaikat penjaga siang dengan malaikat-malaikat penjaga malam di pinggir pantai –-ng… membuatmu teringat sebuah adegan di film City of Angel kan? Hahaha… Ok lah, untuk yang ini aku memang ‘sedikit’ terinspirasi. Lantas aku akan menutup hari bersama sepotong sunset. Kamu tahu, setiap sunset memiliki kadar goresan kuning-merah-emas yang selalu berbeda dari waktu ke waktu. Kadang-kadang kamu bisa melihat sedikit sapuan hijau. Menakjubkan. Bisakah kamu bayangkan betapa khidmat bersujud dengan sejadah di atas pasir pantai, bersama-sama dengan sujudnya debur ombak, hilir angin dan matahari terbenam yang selalu berubah warna? Ah… membayangkannya saja aku sudah ingin menangis… Rasanya begitu dekat, tapi juga begitu jauh… ok, cut! Malam hari, aku akan bercengkrama lagi dengan anakku, belajar tentang Kitab Suci bersama-sama lalu membacakannya National Geographic dan Mare sampai ia tertidur pulas. Setelah itu baru aku akan berdiam lama di ruang pribadiku yang sengaja kurancang tanpa atap tanpa dinding di lantai atas, agar angin, gelap malam, bintang, serta bulan sabit ikut mengamini ketika aku membacakan kepada Yang Maha tentang laporan neraca waktuku yang telah terpakai seharian. Selebihnya aku ingin menulis, menulis, dan menulis … ditemani debur ombak hingga dinihari.”

Rasanya aku mulai limbung dan perutku terasa mual-mual. Mimpi Ayra tiba-tiba menjelma lelucon yang tidak lucu. Dan rasanya ia belum cukup menjelaskan leluconnya itu padaku.
“Oya, setiap akhir minggu aku akan pergi ke kota, mengajak anakku mengenali museum, galeri, menonton pagelaran budaya, seni, musik, dan…”
“Java Jazz?” potongku segera. Aku tidak ingin benar-benar muntah di depannya.
“Oh, pasti! Kalau Om Peter masih kuat mengadakan perhelatannya. Dan konser Cranberries, tentu saja --kalau Dolores masih betah bernyanyi.”
You’re so deranged, you know that?”
I am. I know I am.”
“Tuhan… dengan keadaanmu sekarang, mimpimu terlalu filmis, Ra! Lupakah bahwa kamu saat ini hanya seorang penganggur yang mencoba bertahan hidup sebagai pemulung paruh waktu?”
“Hey! Hidupku memang sudah terlanjur filmis. Dan aku cape menjadi pemain dengan akting buruk. Sekarang aku ingin menjadi sutradara, meskipun amatiran. Tidakkah kamu sadar, kita ini sama-sama pemain yang diberi sedikit pengetahuan untuk menulis skenario dan menyutradarai. Lantas di tangan siapakah yang mungkin dan tidak mungkin itu berada?”
“Ya ya ya. Tapi ada satu hal yang kau lupa, Ayra.”
Shoot!”
“Kalau di sana ada anak, di mana kau simpan suamimu?”
“Hahaha… Aku lupa! Haruskah selalu ada?”


Cut!
Bukan sebuah tamat, hanya saja tidak akan ada episode empat.


***


Pasir’, setitik benih yang pertama kali tumbuh 3 Maret 2006 / 02.28,
berkembang tanpa pupuk, bercabang tiga, dan meminta haknya untuk dipetik tadi malam.