28 August 2005

Catatan Pengidap Insomnia (2)

Hidup ini serupa sirkus, dengan pertunjukan yang lengkap dan saling melengkapi.

Kemarin kawanku menikah. Bajunya shocking pink! Dan kami tertawa-tawa. “Duh, Cep Endi, kamu tampak seperti sebungkus permen sugus!” Hahaha...
Seharian ini aku malas bangun tidur. Aku sungguh sedang malas untuk hidup. Dan hanya sebuah SMS ini yang mampu membuatku bangun:
Imah Tira kabakaran. Tira na meninggal dina kabakaran. Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun. Hampura bisi aya dosa. - Yogi SMP”

Tira. Dustira. Temanku, seorang penjual tahu yang sopan dan baik hati. Mungkin itu sebabnya Tuhan memanggilnya terlebih dulu. Hanya orang-orang baik yang mati muda...

Aku terbangun seperti orang linglung. Mengambil wudhu, lalu sholat dhuhur dengan waktu yang hampir terlambat, dan tumpahlah lagi semua di hadapan-Nya. Sungguh menyedihkan bahwa diperlukan sebuah berita kematian untuk membuatku mau bangun hari ini. Sebuah berita kematian, dan bukannya suara adzan.

“Lalu kenapa heh? Elo ngiri dia berangkat lebih dulu?” sobat kentalku tiba-tiba muncul entah dari mana.
“Ya. Gue selalu iri terhadap orang yang mati.”
“Jadi lo ngiri dong ama gue... kekekekekkkk...”
“Iya, tapi lebih ngiri lagi waktu Bu Ea meninggal. Gue nggak yakin akan ada barisan manusia sepanjang itu yang mau berdoa dan nganterin gue ke liang lahat nanti.”
“Hm... Ya, kalo itu gue juga iri. Nggak ada barisan sepanjang itu waktu gue mati dulu.”
“Tapi gue ada di sana ngedoain elo. Elo nggak bakal ada di sini nanti buat ngedoain gue.”
“Segitu pentingnya doa orang lain buat elo? Yang lebih penting adalah doa dan amal elo sendiri.”
“Penting, tau! Eh, ng... jangan ketawa ya, tapi gue jadi pengen nikah...”
“Hah? Kok jadi ujug-ujug ngomong nikah?”
“Iya. Nggak apa lah nggak ada barisan manusia sepanjang itu kalo gue mati ntar, tapi at least gue pengen ada suami dan anak-anak gue yang ngedoain gue nanti di barisan paling depan.”
"Elo masih aja egois, Ra!"
"Kok?!"
"Nikah itu sesuatu yang agung. Alasan elo terlalu egois. Elo manusia egosentris yang susah berubah! Payah! Payah!"
Lantas sobat kentalku itu pergi begitu saja, dan tak pernah kembali lagi.

26 August 2005

Catatan Pengidap Insomnia (1)

Aku cuma tidur 3 jam hari ini –pagi tadi tepatnya. Sebelum tidur setidaknya sudah ada 3 lembar undangan nikah yang datang. Lalu apa hubungannya tidur 3 jam dengan 3 lembar undangan? Sebetulnya sama sekali tidak ada. Tapi segala yang tidak ada toh bisa dengan gampang diada-adakan, bukan? Apalagi buat orang yang tidurnya cuma 3 jam.

Buat seorang pengidap insomnia sepertiku, efek dari tidur 3 jam layaknya seperti habis minum secangkir kopi kental. Bikin kepala jadi kleyeng-kleyeng, badan tiba-tiba teramat ringan, jantung agak berdebar-debar, tapi seluruh sel tubuh rasanya seperti mekarrrrrrrrrr...

Dan selama beberapa jam kemudian, bisa dipastikan benih-benih bunga itu akan terus bermekaran, berbincang satu sama lain dan tak ada yang mau berhenti hingga semua percakapan mereka diubah menjadi sesuatu yang terpatri. Agak mengganggu memang kalau tak segera dituruti apa maunya, tapi sungguh menyenangkan demi menyadari bahwa benih-benih itu bermunculan begitu saja untuk menunggu mekar --meski hanya sebentar-- cuma lewat tidur 3 jam atau secangkir kopi kental!

Ya ya ya, agaknya sekarang aku tidak punya banyak alasan lagi untuk memprotes beberapa teman yang sudah terlanjur kecanduan kopi. Dulu kalau aku mengingatkan mereka, jawabannya selalu sama, “Persetan dengan kesehatan, inspirasi lebih penting!” Hahaha... boleh jadi... boleh jadi... meski aku tak sepenuhnya setuju (Kalau saat inspirasi itu datang, tubuhmu sama sekali tak bisa diajak kerja sama, gimana hayo?)

Usiaku kini 40 tahun. Dan entah kenapa, begitu bangun tadi aku teringat secuplik perbincangan dengan seorang sobat kental yang sudah lama hilang. Kalau masih hidup, saat ini ia akan tepat berumur 42 tahun, 3 bulan dan 20 hari. Orangnya sungguh teramat menyebalkan. Kelakuannya seenak udel sendiri.Dia terkenal paling lama dalam urusan mengunyah makanan. Tapi bukan itu yang tidak kusuka darinya. Hal yang paling tidak aku suka adalah hobinya makan di depan TV sambil menyelonjorkan kaki di atas meja dengan bertelekan... bantal tidurku! Kalau aku bilang itu nggak sopan, dia seketika itu juga akan menjawab enteng tanpa mengalihkan pandangannya dari monitor, “Salah sendiri nyimpen bantal sembarangan.” Arrrrrgggggggghhhhhhhh!!!!!!

Bicaranya juga nyinyir, sinis, kadang malah terkesan kasar. Dia tak akan sungkan-sungkan mengeluarkan makian kotor pada orang yang dianggapnya memang layak dimaki-maki. Tapi apa yang membuatku betah bertahun-tahun bersahabat dengannya adalah karena dia selalu jujur dan kebenaran kata-katanya sering kali sukar dibantah.

“Lo udah parah, Ra. Udah butuh nikah. Buruan nikah gih!” ucapnya 11 tahun yang lalu.
“Alaaaahhh... basi! Elo mau gua kasih yang lebih basi lagi? J O H A N," jawabku sambil memperjelas lafal mulutku di depan mukanya, "Jodoh di tangan Tuhan.”
“Hahaha... Heh Ayra kucluk, emang apa sih yang nggak ada di tangan Tuhan?"
"Jodoh, rejeki dan mati itu di tangan Tuhan."
"Semuanya juga di tangan Tuhan! Nggak cuma jodoh, rejeki dan mati. Tapi semua. S E M U A. Kenapa jadi elo potong-potong begitu hanya karena nasib elo nggak bagus?”
Aku diam. Dia benar.
“Jadi nggak usah bawa-bawa nama Tuhan segala deh kalo memaknai takdir aja elo masih belepotan begitu. Bilang aja elo nggak laku! Itu lebih masuk akal.”
Menusuk. Kata-katanya menusuk. Tapi dia masih berkata benar. Dan aku masih diam.
Sobat kentalku itu tertawa terkekeh-kekeh, asap rokoknya memenuhi ruangan.
“Hahaha... Johan, Johan... di manakah dikau berada Johan... “ sindirnya.
Aku terbatuk-batuk, tersedak nasib sendiri.

(to be continued,
karena besok pagi kawan baikku si abselut pabaliut bakal menikah. Tempatnya jauh, jadi aku ingin tidur enak malam ini. Nggak lucu kan pergi ke kondangan dengan tampang kuyu?)

08 August 2005

Aku, Cranberries, dan Sehelai Bulu di Suatu Sore

Something has left my life
And I don’t know where it went to
Somebody caused me strife
And it’s not what I was seeking.
Didn’t you see me, didn’t you hear me
Didn’t you see me standing there
Why did you turn out the lights
Did you know that I was sleeping
Say a prayer for me
Help me to feel the strength I did
My identity has it been taken
Is my heart breaking on me
All my plans fell through my hands
They fell
Through my hands on me
In my obvious it suddenly seems
Empty

***

Sore hari yang dingin. Bukan dingin yang sejuk, tapi dingin yang kering. Dingin ini dingin artifisial dengan kata sehat yang menipu. Andai saja ini dinginnya lereng bukit, tapi bukan, karena ternyata aku sedang terjebak di ruang kantor ber-AC sentral.

Ada kata-kata berjumpalitan di depan mata –seperti biasa, mereka layaknya rombongan pemain sirkus yang berusaha sekuat tenaga menghadirkan pesona. Dan ada kata-kata bertangga nada yang menggelitik-gelitik rasa lewat lubang telinga, tapi semuanya kehilangan nyawa.

Maka pikiranku berubah menjadi sehelai bulu angsa yang ringan, tertiup ke sana ke mari bahkan oleh hembusan nafas paling hampa sekalipun. Ya, itu nafasku sendiri yang mendenguskan kekeringan, serupa angin dari ladang yang paceklik.

Bulu angsa putih melayang-layang. Mendarat dengan lembut di hari Jumat pekan lalu, ketika aku dan seorang kawan lama yang baik hati bercakap-cakap di ruang maya tentang ia yang habis berlibur gratis ke sebuah area keriaan, tempat ia bisa berteriak-teriak melepaskan adrenalin yang tiba-tiba mengalir deras. Kukatakan bahwa aku kini sudah sulit menikmati tempat-tempat seperti itu.

kawan : Kadang aku juga ngerasa seperti itu, i'm everywhere but i'm nowhere, i'm with everyone but i'm with no one...
aku : Iya… lonely in the crowded
kawan : Betul
kawan : Ngerasa ada yg kosong

Uh, dinginnya makin dingin. Semakin kering saja rasanya. Kenapa sepuluh bulan yang lalu aku rela menjebakkan diri di kantor dingin ini?

Lalu bulu ayam itu terbang lagi dan hinggap di kaki-kaki malam. Mendarat halus di samping teman baikku yang lain, di atas sebuah percakapan dinihari antara dua orang yang terpisah beberapa ratus kilometer, namun tersambung oleh satu kata: insomnia.

kawan : Aku suka heran sama orang-orang yang bekerja dan bilang bahwa mereka nggak suka pekerjaan mereka tapi masih aja tetep ngerjain. Kalau aku ajak mereka ngobrol, matanya berbinar-binar waktu cerita tentang anaknya, istrinya, rumahnya… tapi raut mukanya langsung berubah begitu ditanyai tentang kerjaan.
aku : Yahhh… begitulah… (dinihari itu aku sedang tak ingin banyak bicara, hanya ingin mendengar suara khasnya itu mengoceh tentang segala hal yang bijak-bijak)
kawan : Kamu tau nggak sih? Pekerjaan itu sama aja kayak mainan. Waktu kecil kita main congklak, main karet, petak umpet. Untuk apa? Untuk bikin kita seneng, puas, bahagia. Nah, setelah besar mainan kita ya pekerjaan ini. Sama aja. Jadi main-mainlah, bikin dirimu seneng. Toh hidup di sini kan cuma main-main, sekejap. Hidup itu bukan di sini, Ayra. Di sini kita masih mati.

Ya ya ya... tapi sesungguhnya ini bukan masalah pekerjaan, Kawan. Bukan. Sama sekali bukan… Sejujurnya aku sempat bersyukur dengan kekosongan ini. Karena itu berarti aku tinggal diisi, tak perlu susah-susah lagi mengeruki segala sampah hati untuk kemudian membuangnya ke timbunan entah-berantah. Aku sudah kosong, tinggal diisi.

Angin barat menghembuskan bulu putih itu sekali lagi. Melayang-layang ke arah langit-langit. Kali ini bulu itu menari-nari sepenuh hati di atas sebuah halaman website tentang sufisme.

Takhali, tahali, tajali. Itulah prosesnya: membuang dulu, mengosongkan, lalu mengisinya dengan Cahaya Illahi hingga Cahaya itu menyatu dengan dirimu. Rangkaian huruf Arab bukanlah sekedar huruf. Ia adalah simbol-simbol yang penuh makna. Perhatikan urutan perpindahan letak titik dari huruf 'kha' ke 'ha' lalu ke 'jim' pada ketiga kata itu. Perhatikan… Perhatikan…

Sehelai bulu putih itu melayang lagi. Lalu mendarat perlahan di sebuah meja, tepat di sebelah gelas bening yang separuhnya terisi air putih.

Lihatlah gelas itu.
Apa yang akan kamu katakan: setengah penuh atau setengah kosong?

Sehelai bulu putih melayang lagi. Lalu hinggap di kaset Cranberries-ku sore ini.