20 April 2005

Waktu dan Senyum Ajaib

Waktu...
Waktu adalah sesuatu yang sangat aneh.

Kemarin malam aku pulang kerja dengan keletihan yang amat sangat. Tapi itu jenis keletihan yang menyenangkan, sebab kerjaanku kelar, targetku beres, jadi aku bisa pergi tidur dengan enak karena yang ada di kepala cuma tinggal satu: ingin mimpi apa aku malam ini?

Kemarin malam aku keluar dari pintu kantor dengan perasaan aneh. Aneh karena tiba-tiba aku merasa hidup justru dalam keletihan yang amat sangat. Dan itu membuatku ingin tersenyum ketika berjalan pulang. Lebih dari 5 orang satpam di pos dekat pintu pagar itu aku lempari senyum lebih dulu, padahal biasanya kalau jalan kaki, arah mataku nggak bakal jauh-jauh dari ujung sendal sendiri (untuk menghindari bertatapan dengan beberapa dari mereka yang suka iseng akibat "jiwa laki-laki muda" yang masih dominan).

Malam itu, 10 menit jalan kaki dari kantor ke tempat kosku adalah 10 menit yang sungguh aneh. Sepanjang jalan aku tersenyum, pada mobil-mobil yang masih berseliweran, pada jalan layang yang bersusun-susun di depan sana, pada gedung-gedung apartemen yang entah siapa penghuninya, bahkan pada paving blok yang sedang kuinjaki. Tersenyum pada benda-benda mati, rasanya sungguh ajaib! Hingga sejenak aku merasa seperti sedang berjalan di pagi hari untuk pergi kerja, bukannya pulang, padahal itu hampir pukul 11 malam.

Lalu kuteruskan senyumku pada rimbunan daun-daun yang mengkilat terkena silau cahaya lampu. Daun beribu-ribu daun... Dan aku tersenyum pada setiap helainya. Ajaib!

Di tengah jalan aku teringat bahwa lambungku belum diberi haknya sejak sore. Waktu menunggu pesanan nasi goreng sosisku selesai dibuat, kulihat ada orang hilang ingatan sedang duduk termangu di pinggiran trotoar, dekat gerobak sampah. Saat itu aku bahkan bisa memandanginya bukan dengan rasa sedih dan prihatin seperti biasa, tapi dengan senyuman dan sapa tak bersuara, "Hai teman, sedang apa kamu di situ? Sudah lama di Jakarta?".

Sampai di tempat kos, sambil membaca Kompas Minggu yang sudah basi sehari dan menikmati nasi goreng sebelum tidur, rasanya aku sangat-sangat tahu apa saja yang ingin kulakukan esok hari. Banyak. Begitu banyak. Tapi aku bersemangat, dengan suara jiwa yang hampir memekik kegirangan, "Ayo waktu, kejar aku! Kejar aku!"

Besoknya aku pergi kerja setelah sebelumnya membuat kebiasaan baru: memberi senyum pada diri sendiri lewat kaca rias untuk memulai hari. Aku ingin pulang kerja dengan senyum ajaib itu lagi. Senyum beribu-ribu senyum pada daun beribu-ribu daun.

Tapi,
waktu adalah sesuatu yang sangat aneh.

Belum tepat 3 jam aku di depan komputer, seorang teman menawarkan santapan mata lewat YM yang sialnya tak bisa kutolak. Dan seketika hilanglah senyum ajaib itu...
Semalaman aku menelusuri gorong-gorong tikus itu lagi --yang sempit, gelap, dan berbau busuk. Semakin sempit karena tikus-tikus kotor itu semakin besar dan semakin banyak. Semakin gelap karena oborku sudah hampir kehabisan minyak. Semakin busuk, karena sebetulnya diri inilah yang sedang membusuk...

Aku lupa,
waktu adalah pencuri senyum yang sangat lihai.

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Senyum itu berawal dari keluasan hati untuk menjalani hari...Semoga senyum itu akan senantiasa mengisi hari-harimu lagi.

20 April, 2005 16:28  
Anonymous Anonymous said...

Senyumlah sebelum kamu di senyumi :)

26 April, 2005 16:00  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home