30 April 2005

Laut

Ada suatu hari yang ditandai dengan angka 29.
Hari itu aku memberanikan diri pergi ke sangkar Badai.
Tapi tak ada yang bisa kujaring lagi.
Badai bukan untuk dijaring.

Tiga hari berikutnya aku bicara dengan seorang teman di ruang maya, namanya Agung.
Katanya, "Pelancong dan pelaut itu beda, Sus. Seorang pelancong, dia hanya ingin melihat keindahan Laut. Begitu Laut mengamukkan Badainya, dia menjadi ngeri lalu pergi. Beda dengan seorang pelaut, ada Badai menghantam sebesar apapun, dia tak bakal pergi, karena Laut adalah kecintaannya -- seluruh hidup-matinya"

Lalu ke mana lagi Air bermuara selain menuju Laut? Kepada temanku Tika aku pernah bilang, aku ingin sekali menyelam. Menyatu dengan damainya kehidupan Laut Dalam. Dan kalau tak kesampaian, aku ingin sekali menjadikan Laut sebagai kuburanku bila aku mati -- kalau saja agamaku membolehkannya. Tentunya indah bila abuku dilarung ke Laut, lalu rohku menunggu antrian ke Surga sambil ditemani ikan dan koral berwarna-warni.
Dan temanku itu cuma berkomentar pendek, “Kayak di film aja,” katanya.

Hahaha... hidup siapakah yang tak serupa film?

25 April 2005

Test... test... test

Seorang teman baik sekitar dua bulan lalu pernah melontarkan sebuah kalimat yang terus menempel di kepala saya. Dia seorang pengajar yang amat mencintai pekerjaannya, bahkan lama sejak sebelum ia menjalani profesi itu secara resmi (rasa cinta semacam ini mungkin seperti potongan lagu milik Savage Garden: I love you before I meet you... atau seperti cuplikan dialog di film Patch Adams: I love you without knowing when or where...)

Malam itu dia bicara tentang salah satu sisi dari makna hidup.
"Hidup itu nggak asik kalau nggak ditest, Sus."

Hm... he was so damn right!
Saya membayangkan kembali ke jaman SMA, sekolah selama 3 tahun. Tiap pagi berangkat dari rumah dengan seragam putih-abu untuk belajar dan belajar dan belajar. Tiap tahun selalu naik kelas. Dan di akhir tahun saya diberi ucapan selamat berikut selembar ijasah dengan nilai: BAIK. Tapi bukan cuma saya, sekitar 300 siswa lainnya juga mendapat predikat sama. Begitu saja, tanpa melalui ujian apapun, kami dinyatakan lulus. LULUS. Lulus dari apa? Kalau mau bergembira, merayakan apa? Apa artinya lulus gratisan?

Lalu apa artinya hidup yang serba manis?
Apa nikmatnya rasa manis bila tak pernah ada pahit???

20 April 2005

Waktu dan Senyum Ajaib

Waktu...
Waktu adalah sesuatu yang sangat aneh.

Kemarin malam aku pulang kerja dengan keletihan yang amat sangat. Tapi itu jenis keletihan yang menyenangkan, sebab kerjaanku kelar, targetku beres, jadi aku bisa pergi tidur dengan enak karena yang ada di kepala cuma tinggal satu: ingin mimpi apa aku malam ini?

Kemarin malam aku keluar dari pintu kantor dengan perasaan aneh. Aneh karena tiba-tiba aku merasa hidup justru dalam keletihan yang amat sangat. Dan itu membuatku ingin tersenyum ketika berjalan pulang. Lebih dari 5 orang satpam di pos dekat pintu pagar itu aku lempari senyum lebih dulu, padahal biasanya kalau jalan kaki, arah mataku nggak bakal jauh-jauh dari ujung sendal sendiri (untuk menghindari bertatapan dengan beberapa dari mereka yang suka iseng akibat "jiwa laki-laki muda" yang masih dominan).

Malam itu, 10 menit jalan kaki dari kantor ke tempat kosku adalah 10 menit yang sungguh aneh. Sepanjang jalan aku tersenyum, pada mobil-mobil yang masih berseliweran, pada jalan layang yang bersusun-susun di depan sana, pada gedung-gedung apartemen yang entah siapa penghuninya, bahkan pada paving blok yang sedang kuinjaki. Tersenyum pada benda-benda mati, rasanya sungguh ajaib! Hingga sejenak aku merasa seperti sedang berjalan di pagi hari untuk pergi kerja, bukannya pulang, padahal itu hampir pukul 11 malam.

Lalu kuteruskan senyumku pada rimbunan daun-daun yang mengkilat terkena silau cahaya lampu. Daun beribu-ribu daun... Dan aku tersenyum pada setiap helainya. Ajaib!

Di tengah jalan aku teringat bahwa lambungku belum diberi haknya sejak sore. Waktu menunggu pesanan nasi goreng sosisku selesai dibuat, kulihat ada orang hilang ingatan sedang duduk termangu di pinggiran trotoar, dekat gerobak sampah. Saat itu aku bahkan bisa memandanginya bukan dengan rasa sedih dan prihatin seperti biasa, tapi dengan senyuman dan sapa tak bersuara, "Hai teman, sedang apa kamu di situ? Sudah lama di Jakarta?".

Sampai di tempat kos, sambil membaca Kompas Minggu yang sudah basi sehari dan menikmati nasi goreng sebelum tidur, rasanya aku sangat-sangat tahu apa saja yang ingin kulakukan esok hari. Banyak. Begitu banyak. Tapi aku bersemangat, dengan suara jiwa yang hampir memekik kegirangan, "Ayo waktu, kejar aku! Kejar aku!"

Besoknya aku pergi kerja setelah sebelumnya membuat kebiasaan baru: memberi senyum pada diri sendiri lewat kaca rias untuk memulai hari. Aku ingin pulang kerja dengan senyum ajaib itu lagi. Senyum beribu-ribu senyum pada daun beribu-ribu daun.

Tapi,
waktu adalah sesuatu yang sangat aneh.

Belum tepat 3 jam aku di depan komputer, seorang teman menawarkan santapan mata lewat YM yang sialnya tak bisa kutolak. Dan seketika hilanglah senyum ajaib itu...
Semalaman aku menelusuri gorong-gorong tikus itu lagi --yang sempit, gelap, dan berbau busuk. Semakin sempit karena tikus-tikus kotor itu semakin besar dan semakin banyak. Semakin gelap karena oborku sudah hampir kehabisan minyak. Semakin busuk, karena sebetulnya diri inilah yang sedang membusuk...

Aku lupa,
waktu adalah pencuri senyum yang sangat lihai.