27 October 2011

Zara Pergi ke Gunung


Pagi. Di pinggiran danau kaldera. Aku dan Ayra. Dia menyeruput teh Dilmah tanpa gula, aku cukup menyeduh sebungkus kopi susu Torabika. Di atas matras, kami duduk-duduk menikmati segala yang tidak bisa dinikmati setiap hari. Sisa-sisa embun, kabut yang sesekali turun dari bibir kawah, air danau yang hijau tenang. Di sisi luar tenda, dua pasang sepatu kami bersisian.


“Kenapa memandangi air gak pernah bikin kita bosan ya, Ra?”
“Lah, kita kan air. Kalau sampai kita bosan sama air, itu tandanya kita sudah mati.”

Ayra menyimpan gelas teh, hendak berdiri dari duduknya.
“Heh, mau ke mana?” tanyaku.
“Kamu bicara air, aku jadi ingat harus buru-buru cuci si Zara. Takut rusak.”
“Hahaha. Lagiaaaaan...”

Cuma Ayra, perempuan yang cukup gila untuk memakai sepatu Zara buat naik gunung. Mengingat, satu: bahwa sepatu itu sama sekali bukan sepatu gunung, bahkan solnya saja tipis dan datar tanpa gerigi sedikitpun. Mengingat, dua: bahwa itu adalah sepatu termahal yang pernah dibelinya (700 ribu!). Mengingat, tiga: bahwa Ayra sangat sayang sepatu itu karena nyaman sekali dipakai dan modelnya yang klasik dan sederhana, maka selalu dirawatnya sepatu itu baik-baik, tak ingin ada lecet sedikitpun, tak rela setitikpun jamur hinggap di permukaan kulitnya yang halus dan lembut. Tapi dasar Ayra. Begitulah.

“Aku senang bisa mengajaknya mengenal pengalaman yang berbeda. Bahwa jalanan berbatu dan berpasir hitam bisa jauh lebih indah daripada lantai marmer licin di mall-mall. Jujur saja, ada sedikit perasaan bangga sudah membawanya kemari.”
“Tapi kasihan juga Zara kamu paksa begitu. Pulang dari sini nanti, kamu boleh pakai sepatu Karrimor-ku deh.”
“Heh? Serius?"
Aku mengangguk.
"Sumpeh lo??"
Aku mengangguk lebih mantap.
"Beneran???"
Untuk ketiga kalinya, aku mengangguk pasti.
Wajah Ayra tampak sumringah.
Aku tahu, dia masih ingin membawa Zara pergi ke mall lagi.

27 Oktober 2011/18.55
Sepulang dari Gunung Galunggung


11 October 2011

in line

11-10-11
it's an eclipse.
that only happens when the three are in line.
the Star, the Moon and the Earth.
and I, the flowing water on this Earth,
a mere witness to this universal show.
I, surrender to the will of Nature.

04 October 2011

Hampir usai

Pelajaran ini hampir usai. Sebentar lagi pintu kelas akan terbuka, dan Ayra berhak memilih kelas baru yang disukainya. Ujian telah dilalui. Entah baik entah buruk nilainya, bukan lagi masalah. Penilaian adalah hak Guru semata. Dan Ayra percaya bagaimana Guru memberi nilai: sangat adil. Amat sangat adil.

Berapapun nilainya nanti, sudah bukan urusannya lagi. Ayra sudah cukup senang bahwa Guru memberinya perhatian penuh selama pelajaran berlangsung. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan daripada mendapat perhatian penuh dari Sang Guru. Perhatian apapun, dari wajah yang tersenyum atau cemberut, masih bisa dinamakan perhatian. Sebab tidak ada perhatian yang bisa dibaca dari muka yang datar. Syukurlah, Guru tak pernah tega bermuka datar padanya.

Pintu kelas sebentar lagi terbuka, tapi Ayra masih ingin berlama-lama duduk bersila di lantai tanah ini. Menghirup udara kelas untuk terakhir kalinya. Memasukkan dalam-dalam ke segenap sel-sel ingatannya, bagaimana ruang dengan empat dinding hijau dan selapis putih di langit-langit ini telah menjadi taman yang subur bagi akar jiwa.

Dilihatnya Guru sedang membereskan berkas-berkas untuk dimasukkan ke dalam tas. Ayra ingin sekali mengucapkan terima kasih dengan cara terbaik dari segala cara yang pernah ada, tapi entah bagaimana. Ia ingin berterima kasih, untuk pelajaran terbesar dalam hidupnya: kesadaran. Lewat kesadaran, Guru mengajarinya cara terindah menikmati setiap helaan nafas. Menghidupkan tiap bulir udara yang terhirup lewat lubang hidungnya, satu-satu.

Lalu pintu terbuka.
Dan serombongan bulir-bulir udara mengalir masuk menjemputnya.
“Mari,” ajak mereka lembut.
“Ke mana?”
“Pulang.”


A VI 23 RD
Tak ada kata yang lebih membebaskan selain Pulang.