30 November 2010

Titip hujan kepada bulan

Hujan datang berkali-kali di bulan ini. Kadang gerimis, kadang menangis. Namun seringnya ia datang begitu lebat. Di bulan ini Ayra dibuat mengerti, mengapa Tuhan menginginkan hujan sebagai salah satu waktu di mana doa-doa dengan cepat melesat ke langit, mengendap di awan, lalu sebentar kemudian jatuh kembali ke bumi sebagai kejutan manis yang mencengangkan. Di bulan ini Ayra juga dibuat sadar, hujan lebat sering kali membawa pesan hebat. Hujan lebat adalah malaikat.

Suatu kali ketika hujan lebat, di bulan ini, Ayra tertahan di sebuah toko buku. Hari menjelang malam, ia berkeliling-keliling di antara tumpukan buku-buku sambil menunggu hujan reda. Lalu tiba-tiba matanya digerakkan: ke sana. Berikutnya, kakinya digerakkan: ke sana. Hingga kemudian tangannya pun digerakkan: ke sana. Buku itu: Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan.

Sudah banyak buku tentang Muhammad di kamarnya, tapi entah kenapa malam itu dia merasa harus membuka beberapa lembar halaman belakang novel biografi itu. Ayra membawa dirinya duduk di sebuah kursi di dekat tangga berjalan. Membaca, satu halaman, dua halaman, tiga halaman... Seketika pikirannya seperti kaca cermin yang baru saja dibersihkan dari debu yang mengerak bertahun-tahun. Serangkaian huruf “Ooooo...” membumbung tinggi ke udara. Hatinya lega, demi teryakinkan bahwa selama ini ia tidak salah membaca arah. Lalu Ayra mengerlingkan matanya ke arah Atas sambil berbisik, “Terima kasih. Ini tho yang Kau ingin aku tahu saat hujan lebat begini?”. ‘Ini’ bukanlah sembarang ini. ‘Ini’ selalu datang di saat yang tepat. ‘Ini’ adalah tentang misteri keajaiban makhluk bernama angka, kebetulan, bukan kebetulan, tidak ada kebetulan, dan... Cinta.

Suatu kali hujan lebat yang lain datang lagi, juga di bulan ini, air merembes memasuki kamarnya. Dua kali, sebenarnya. Dan dasar Ayra bebal, baru di kali kedua itulah dia bisa membaca pesan dari hujan. “Bergegaslah, Ayra. Bergegaslah,” kata hujan.

Suatu kali hujan lebat yang lain lagi datang berkunjung, masih di bulan ini. Yang ini, selepas petang, ketika Ayra makan pecel lele, tempe goreng dan nasi uduk yang nikmat, di sebuah warung tenda pinggir jalan milik pasangan suami istri asal Lumajang. Nasi tinggal setengah, dan hujan tiba-tiba tertumpah begitu lebatnya. Waktu seperti berhenti. Dan entah bagaimana, percikan air hujan tampak seperti menari-nari. Di atas aspal hitam, disoroti lampu-lampu mobil yang macet, tiap tetes air hujan memercik ke sana ke mari seperti ribuan penari balet nan lincah. Indah sekali. Ayra terpaku. Takjub. Hatinya berdoa sebuah doa rahasia, begitu saja.

Barusan Ayra melihat jam di dinding. Bulan ini akan pamit dalam waktu kurang dari dua jam ke depan. Kepada bulan, Ayra menitipkan hujannya. Kepada hujan, Ayra menitipkan rindu abadi. Ayra senang bahwa hatinya tenang. Entah bagaimana, ia sudah bisa merasa, bulan ini tahun depan, hujannya akan kembali membawa pesan surga yang begitu istimewa.

Dan kini, Ayra kembali menjejak bumi, membereskan barang-barangnya yang terendam air hujan, sambil tersenyum-senyum sendiri.

***

Bye, November.
See you again next year.

22 November 2010

Connecting the dots

Someday, I’ll have a wall prepared just for you, Kid. At our peaceful home. I’ll start with dots. Cover the white wall with just dots and many many dots. And you’ll connect them with lines, curves, thin and thick, all yellow red and blue, or green and purple, as you like.

You don’t think when you scratch the lines. You just feel your intuition, and there goes your imagination, flowing smoothly through your hands. You feel happy as you fill the wall, knowing that everytime you drag a line, you save one sparkling happiness into your future account.

Drawing your lines, you lie down, or crawl, or sit, or squat, or stand, or jump, and jump and jump and jump. As your body grows higher, so does your wall of lines. Here and there, you draw lines, every second. I may as well allow you to add more dots on the empty space of the wall, so you can draw more lines and play with more vivid colours.

And before you even notice, you’ve already created shapes of any kind. There, you have manifested your envisioned images before you. There, the painting of your own life. So close, so real. You’re so drawn with the painting that you wish you’d never stop making lines and dots and shapes and colours, because it feels so God damn good. You never stop, you never stop, until God says the painting is perfect and complete. By then, you can just move away a few steps back, sit and relax, and enjoy a display of your very own masterpiece painting. By then, I will hear you say to your sheer amazement, “How beautiful it is...”

***

LOVE
Your Mom. Here.
Wishing you to grow and grow and grow.
After all, we are all trees and fruits, Kiddo :)

11 November 2010

passion & purpose

do what you love
do what you love
do what you love
do what you love
do what you love
do what you love
do what you love
do what you love
do what you love
do what you love
do what you love

and know your PURPOSE

03 November 2010

spellbounded



Wednesday night at Mesjid Al-Barqah, Jeruk Purut.
Finally I met Quraish in person and talked to the great wise man directly. See you again next month at the same place, Father.
And thank You, God. Thank You...

to love

It’s early in a lovely morning, and I say to my lovely Ayra, “Hey, you know what? I think it’s only when you are young and stupid that you do fall in love. I mean, really really fall in love. But when you’ve grown yourself into a naturally wise adult, that is when you’re no longer quoting other people’s love quotes and instead manage to make your own good original ones by experience, all there is to know is simply to love, without necessarily falling. Just to love someone, or something, or even nothingness, whatsoever. To love wholeheartedly for the sake of love itself, and that’s all. When you’ve grown up, there’s no need to fall anymore. You just love, and that’s suffice. Isn’t it nice?”

My lovely Ayra doesn’t say a word. She just sits next to me on our porch, elegantly sipping her morning cup of green tea, all calm and peaceful. Then she smiles at me, the nicest smile I’ve ever seen.

01 November 2010

satu november

satu november sebentar lagi usai.
sudah. itu saja.