28 March 2008

This Boy

This Boy
by James Morrison



This boy wants to play
There's no time left today
It's a shame ‘cause he has to go home

This boy's got to work
Got to sweat just to pay what he gets to get left all alone

Well let's step outside
Let's go for a ride
Just for a while
No we won't get caught
Well that's what I thought, until we cried

I'm still here
But it hasn't been easy
I'm sure that you had your reasons
I'm scared of all this emotion
For years I've been holding it down
For years I've been holding it down

This girl tries her best everyday
But it's all gone to waste ‘cause there's no one around
This girl she can draw she can paint
Likes to dance she can skate
Now she don't make a sound

We’ll play in our park
'Till it's too dark for us to see
Well we'll make our way home
With mud on our clothes
She won't be pleased

I'm still here
But it hasn't been easy
I'm sure that you had your reasons
I'm scared of all this emotion
For years I've been holding it down

And I’d love to forgive and forget
So I’ll try to put all this behind us
Just know that my arms are wide open
The older I get, the more that I know

Well it's time to let this go.

I got to let it go
I got to let it go
I got to let it go
I got to let it go
I got to let it go

24 March 2008

Do what you love!

“When I am not climbing, I am dreaming of climbing,” says Tommy Heinrich.

Tommy Heinrich shot “Ice Warriors,” the story of a Polish team’s ascent of Pakistan’s Nanga Parbat. This is the Argentine photographer’s first assignment for National Geographic.
(People Behind the Stories – National Geographic, January 2008 edition)


***


And Ayra goes mumbling,
“When I’m not hiking, I am dreaming of hiking.”
“When I’m not swimming, I am dreaming of swimming.”
“When I’m not traveling, I am dreaming of traveling.”
“When I’m not handcrafting, I am dreaming of handcrafting.”
“When I’m not writing, I am dreaming of writing.”
“When I’m not thinking, I am dreaming of thinking.”
“When I’m not dreaming, I am dreaming of dreaming.”

Haha!


***

Build your dream. Brick by brick. To the limit.
F1H 244. Monday, March 10, 2008. 3:26.

17 March 2008

Pengakuan

"Tuhan..."
"Ya?"
"Aku sombong."
"Hehe."

11 March 2008

Kerupuk

Sabtu. Libur. Ayra tidur. Tidur sepuas-puasnya tidur. Tanpa melindur, tanpa mimpi-mimpi ngelantur yang biasanya datang hanya untuk saling bertempur saling terbentur. Ini adalah sabtu libur yang pure. Pure tidurrrrrrrrrr...

Sore. Lapar. Bangun. Sadar.
Di luar hujan. Di meja tidak ada makanan. Di laci tidak ada cemilan. Coklat koin Euro oleh-oleh Mas Ari dari Brussel sudah habis semalam. Yang belum habis tinggal ceritanya tentang kota itu dan kesetiaannya yang tidak pernah luntur pada komik Tintin, dan bahwa keajaiban terjadi pada mereka yang setia pada mimpi. ”Wah, itu memang negerinya Tintin! Bahkan replika pesawat jet yang melesatkan Tintin ke bulan dipasang di airportnya, Ra!” serunya antusias. Tapi sesekali Mas Ari selingkuh juga. Kemarin malam ia terkekeh-kekeh sendiri dengan komik Sawung Kampret di tangan. Ayra suka sekali melihat Mas Ari terkekeh-kekeh begitu. Matanya sipit, perutnya ndut. Persis Semar. Tapi Mas Ari sudah tidak ada.

Yang ada cuma kerupuk. Seplastik krupuk. Kerupuk-kerupuk bodoh, umpat Ayra. Ayra tidak pernah pernah bercerita kepada siapapun bahwa ia punya kebiasaan buruk dengan kerupuk. Ia selalu lupa mengeluarkan kerupuk dari kantong plastiknya tiap kali membeli nasi goreng, atau kwetiau, atau bihun goreng, atau capcay, atau mie goreng, atau nasi gila, atau segala macam makanan yang bisa dibuat di satu gerobak dorong itu saja (hebat ya si Mang Nasi Goreng itu?).

Waktu nasi goreng, kwetiau, bihun goreng, capcay, mie goreng, nasi gila, atau apapun makanan yang bisa dibuat dari satu gerobak dorong saja itu sudah habis, barulah Ayra sadar, bahwa kerupuknya lupa dimakan. Tapi memakan kerupuk saja tanpa makanan utama, rasanya tidak enak. Cuma, untuk membuangnya pun Ayra tidak tega. Jadi setiap terlupa dengan kerupuk, ia simpan begitu saja di meja, lalu kembali melupa. Kali berikutnya ia membeli nasi goreng, ia baru teringat bahwa masih ada seplastik kerupuk dari nasi goreng empat hari lalu. Sudah melempem. Tapi sial, bahkan membuang kerupuk melempem pun dia masih juga tidak tega. Sial.

HP bergetar
“Halo?”
“Di mana? Lagi ngapain?”
“Di kasur. Tidur.”
“Tidur kok bisa ngomong?”
Garing ah.
Klik.

HP bergetar
“Halo?”
“Neng, baju-baju udah selesei disetrika. Sekarang Bibi harus ngapain?”
“Tidur, Bi. Sabtu itu libur. Bibi tau nggak Pure Saturday?”
“Oh, bedak pupur? Mau Bibi ambilin dari laci?”
“Hihi... iya Bi, ambilin. Ayra mau dandan yang cantik sore ini. Hihi...”

HP bergetar.
“Halo?”
“Hujan nih.”
“Ada makanan?’
“Ini hujan, honey.”
“Perutku laper, geblek.”
Klik.

HP bergetar.
“Halo?”
“Aku gak bisa. Putus aja.”
“Ok. Bye.”

HP bergetar.
“Halo?”
“Aku kangen suaramu.”
“Ok. Bye.”

HP bergetar.
“Halo?”
“Kamu denger gak barusan aku omong apa?”
“Yang mana? Putus apa kangen?”
“Dua-duanya.”
“Denger.”
“Lalu?”
“Iya. Putus kan?
“Kangen.”
“Putus aja.”
“Kangen aja.”
“Putus!”
“Kangen!”
“Putus! Tusss!!!”
“Kangen! Kang!!!”
“Tussss!!!!!”
“Kaaaanggggg!!!!”
“Tus!”
Klik.

Datar. Ayra duduk di kursi rotan datar. Masih lapar. National Geographic terbaru tergeletak di samping. Bentuknya segiempat bingkai kuning datar. Rolling Stones, Prodo, Box Magazine, Visual Art, Concept, Horison, Time, Prestige, Gatra, Kabar, Kriya, FutureArc, DestinAsian. Bertumpuk-tumpuk membentuk kotak vertikal yang datar menjemukan. Tujuh Paulo Coelho berserakan di kolong kursi. Kecil-kecil, enteng. Bentuknya juga datar. (“Apakah rasa datar, Guru?”. “Hambar, Anakku.”)

Kursi. Majalah. Buku. Ayra. Rasa. Datar.
Majalah. Buku. Ayra. Rasa. Datar. Kursi.
Buku. Ayra. Rasa. Datar. Kursi. Majalah.
Ayra. Rasa. Datar. Kursi. Majalah. Buku
Rasa. Datar. Kursi. Majalah. Buku. Ayra.
Datar. Kursi. Majalah. Buku. Ayra. Rasa.
Kursi. Majalah. Buku. Ayra. Rasa. Datar.

Juga TV. Layar datar.
Ada laki-laki berwajah datar, kata orang namanya gHost. gHost memandu acara kuis Super Konyol Super Absurd. Dia bisa mengajukan pertanyaan apa saja semau dia, dan dia akan memberi hadiah tak terduga kepada siapapun yang bisa memberi jawaban super konyol dan atau super absurd. Tingkat absurditas pertanyaan, jawaban dan hadiah kuis tentu saja sepenuhnya hak prerogratif gHost. Toh dia produser acara, sutradara, script writer, host tetap, sekaligus pemasang iklan, kadang-kadang dia merangkap camera man. Dia sangat tahu siapa dirinya dan punya bertumpuk-tumpuk t-shirt hitam sekali buang yang semuanya bertulisan: “Mau apa lo?”, “Lo mau apa?”, “Apa mau lo?”, “Heh!”

Tapi gHost juga manusia. Manusia ekonomis bisnis yang mencipta pasar, memanfaatkannya, untuk kemudian ikut arus kemauannya. Buat menarik pemirsa, ia pasang selebritis terkenal di kuisnya itu. Anehnya, semua selebritis yang masuk acaranya dalam waktu kurang dari empat bulan pasti mati. Dengan mendadak, dengan tragis, dengan dramatis, dengan miris.

Herannya, kebanyakan selebritis berebut ingin masuk ke acaranya. Sebab hadiahnya mengejutkan. Sebab, yang mengejutkan biasanya membuat hidup lebih hidup. Sebab, mereka bilang mereka menjalani hidup tapi tidak pernah merasa hidup, maka mereka merindu mati. Sebab, mereka bilang, berani mati adalah berani hidup, maka berebut mencari mati adalah berebut mendapati hidup.

Daftar antrian acara gHost teramat panjang meliuk-liuk. Seperti ular. Ular belang kuning hitam, kamu tahu? Si gHost tidak pernah memilih selebritis berdasarkan urutan antrian. Dia tinggal tunjuk hidung. Itu saja. Telunjuknya ajaib. Yang punya telunjuk merasa dirinya ajaib. Tapi sekali kena tunjuk, yang punya hidung merasa lebih ajaib daripada yang punya telunjuk. Bahkan ihwal giliran siapa yang ditunjuk itu saja sudah menjadi satu keajaiban tersendiri.

Kejutan lain, kadang-kadang hadiah kuisnya cuma sebatang coklat wafer merek Superman, atau coklat lengket di gigi merek Ayam Jago, kotak bekas bungkus obat jerawat kocok, setangkai bunga tulip kering asli dari Belanda, selembar buku tipis bersampul ungu tua dengan merek Letjes, boneka panda koleksi masa kecil yang hilang. Kadang yang lain adalah sebuah trip ke Angel Waterfall atau Machu Pichu. Tiga malam menginap di gubuk petani singkong di Kampung Dayak. Menonton DVD selama 24 jam nonstop. Tiket menikah dengan sesama peserta kuis. Voucher poligami. Rafting malam 5 jam dengan mata dibebat di Sungai Citarik. Kunjungan 3,5 menit ke Pantai Lasiana. Vonis AIDS dari dokter kulit. Paragliding tandem bareng selebritis yang paling takut ketinggian. Dan untuk semua hadiah kuis itu, hampir semua pengisi acara kuis pasti spontan berteriak, atau misuh-misuh. Apapun, kalimat yang keluar punya makna yang tetap sama: kutu kupret! Hanya dengan kutu kupret mereka merasa hidup.

Tapi melihat ekspresi mereka, mimik Ayra tetap datar, sedatar kursi, sedatar layar TV. Sedatar jerawatnya yang langsung kempes setelah disuntik kemarin siang di klinik kulit yang haus duit.

Ayra tidak pernah tertarik dengan segala macam kuis apapun. Sebab apa? Oh, tentu saja sebab dia pernah bekerja sebagai pembuat pertanyaan kuis-kuis konyol itu. Setiap hari ia dipaksa membuat ratusan pertanyaan kuis konyol. Satu tahun empat bulan bekerja menjadi pembuat kumis, eh pembuat kuis, ia sudah melahirkan ribuan mungkin jutaan kuis konyol. Ia tahu betapa di balik itu semuanya lebih konyol lagi. Kamu tahu siapa yang sengaja tidak sengaja menjadi pemenang tayangan perdana kuis interaktif Ramadhan di sebuah stasiun TV swasta sekitar bulan Oktober 2004? Dia. Ayra. 500 ribu. Dia juga. Ayra. Yang membuat 500 nomor pertanyaan pengumpan untuk kuis itu, agar orang rajin senam jempol untuk kemudian jadi rajin ikut kuis TV. Dan seluruh orang yang menonton acara kuis live di stasiun TV swasta sekitar bulan Oktober 2004 saat itu dibuat percaya bahwa pemenangnya adalah seseorang yang beruntung bernama Ibu Ira beralamat di Tomang yang dengan susah payah masuk on air ke sebuah acara TV. Saat itu Ayra tidak sedih tidak gembira. Hanya aneh-aneh-senang-gila, karena beroleh tambahan THR tak terduga. Haha.

Tapi dua tahun kemudian, sebuah Sabtu bisa mengubah segalanya. Dan ia menjadi satu di antara berjuta-juta orang konyol lain di dunia ketika tangannya iseng memutar knop radio dan dari kotak suara itu mengudara acara review film dengan hadiah VCD original film yang sedang dibahas. Sabtu itu membawa aura iseng yang aneh. Itu pertama kalinya ia dengan sengaja ikut kuis, dan hanya dengan sekali iseng itu ia menang. Aneh. Gila. Lalu, lagi. Tapi kali ini dengan rasa senang (bukankah hal iseng yang aneh dan gila itu cenderung membuat seseorang kecanduan?). Sabtu selanjutnya setelah itu ia selalu mendengarkan acara yang sama. Belum sampai dua bulan, ia mendapat lagi hadiah VCD. Ayra senang lagi, dan melupa, bahwa senang itu mencandu. Eh, iseng itu mencandu (tapi iseng itu indah, kata salah satu cerpen Danarto).

Pertanyaan-pertanyaan di kuis Super Konyol Super Absurd, kadang menyenangkan, kadang menyebalkan, tidak pernah ada yang tahu. gHost akan terlebih dulu melemparkan pertanyaan pada empat selebritis terpilih. Kalau kebetulan salah satu dari mereka menjawab dengan jawaban konyol paling absurd, dia berhak mendapat hadiah. Kalau tidak bisa menjawab, pertanyaan ia lemparkan pada ketiga selebritis lain. Kalau masih tidak bisa juga, kesempatan diberikan kepada pemirsa TV yang entah dengan kekuatan iseng apa sempat-sempatnya mengikuti acara sekonyol itu. Mungkin mereka memiliki berlipat-lipat kali kekuatan iseng semacam yang dimiliki Ayra di Sabtu ajaib itu.

“Apa rasanya jatuh cinta?” tanya gHost yang selalu melepas t-shirt sekali pakainya dan berganti dengan kostum ular belang setiap kali shooting.
“Jatuh cinta? Uh, berbunga-bunga!” jawab seorang kontestan selebritis.
“Basi. Hadiah batal.”

“Apa rasanya jatuh cinta?” gHost melempar pertanyaan ke selebritis di sebelah selebritis pertama tadi, yang matanya tiba-tiba meredup hanya karena jawabannya dikatai basi.
“Membuat hidup lebih hidup!”
“Halah. Slogan iklan rokok. Gak kreatiP.”

“Apa rasanya jatuh cinta?” giliran pertanyaan pada selebritis ketiga.
“Gak ada elo gak rame!”
“Euleuhhh… ari si Akang. Pan tadi slogan iklan rokok udah dibahas. Tape deeeehhh.”

Jawaban selebritis keempat tidak kalah tidak kreatiP. gHost tampak kesal sendiri. Mungkin ia berpikir, kenapa orang jatuh cinta selalu begitu-begitu saja? Basi. Sepertinya dunia sudah lama basi. Ia tampak bosan, berganti kostum ular belang kuning hitam dengan merah hitam, lalu mengganti pertanyaan.

“Apa rasanya putus cinta?”
Pertanyaan ditujukan kepada salah seorang selebritis, yang menurut infotainment baru saja ditinggal pergi oleh pacarnya yang tiga bulan lalu menghamili dia, untuk kemudian kabur dengan tante janda cantik nan kaya.
Si selebritis tidak menjawab. Hanya sebuah tempeleng di pipi kiri. Plak!
“Another basi-ness. Hadiah batal. Silahkan pemirsa, Anda boleh ikut menjawab. Jangan lupa sebut dulu password kuis dan kode peserta.”

“Super konyol super absurd. 0044.”
“Superb! Apa rasanya putus cinta, Mas?”
“Seperti menggantung baju di balik pintu.”
“Uh uh uh. Nyaris. Tapi kurang nendang, Mas.”

“Super konyol super absurd. 7766.”
“Superb! Apa rasanya putus cinta, Bu?”
“Seperti beli jus mangga di siang hari bolong dengan sisa uang terakhir, lalu tiba-tiba tumpah hanya gara-gara kesandung batu.”
“Panjang amiiirrrrrrrrrrr. Next!”

Ayra terkikik geli. Ia tahu sebuah Sabtu seperti ini tidak akan terjadi lagi sampai kapanpun. Maka ia membuka flip telepon genggam mungilnya. Tidak masalah apakah ia akan mendapat hadiahnya atau tidak. Kalaupun ia gagal, ia masih bisa bilang kepada si gHost, “Terimakasih, kamu sudah membuatku tertawa Sabtu sore ini.” atau hanya untuk berkata, “I love you, Man, because you're so absurd!”

“Super konyol super absurd. 3377.”
“Superb! Apa rasanya putus cinta?”
“Seperti makan seplastik kerupuk melempem.”
”Ada kerupuk melempem di dekatmu sekarang?”
”Ada. Ini aku lagi makan nih.Macem-macem: kerupuk udang, kerupuk beras, kerupuk terasi, kerupuk mie, kerupuk aci, kerupuk gurilem, kerupuk palembang, kerupuk kulit... Melempem semua.”
“Ha? Hahaha... Kerupuk jengkol, kerupuk emping, kerupuk bawang, kerupuk rorombeheun, kerupuk pelangi, kerupuk bondon... Berbahagialah kita hidup di negeri kerupuk, Non!”
”Sangat!”
”Maka inilah hadiah buatmu: Ekspedisi Kerupuk! Kamu berhak mendapat tiket ke Kepulauan Raja Ampat plus peralatan diving dan snorkeling bersama Mas nomor 0044. Berangkat besok pagi dengan pesawat yang boleh kamu pilih sendiri: Garuda, Merpati, Lion, Batavia, Adam Air...”
“Saudi Arabian Airlines!”
“You got it! Oya, it's a window seat, Mam. Take the pictures as many as you want!”

Wow! Ayra terlonjak dari kursi rotan datarnya. Lalu dalam kegirangan tak terkira, ia meledak dengan dentum hampa ke semesta. Namun dirinya masih berwujud. Transparan. Tidak menangis, tidak tertawa. Tangannya merentang lebar. Melayang. Juga seplastik kerupuk melempem yang seketika berubah rupa jadi awan. Bergumpal-gumpal awan. Sabtu sore, satu plastik awan ia makan semua.

***


Untuk sebuah hahahihi di Sabtu sore berhujan Desember 2006.
Radio Dalam, Sabtu 16 Desember 2006/16.51 - Stasiun Hall, Minggu 9 Maret 2008/ 16.37