20 July 2007

Untitled

God,
This is me. Again. Void. I’m sure You know what’s in my mind, what has been burdening me for years. Seeing me now, You might think I’m going to quit. Please don’t be disappointed. Let me assure You, this is not a farewell nor a runaway. There can never be any, because either way I can never escape from You.

God, whoever You are,
Here I am, an empty little dot, very frightened of what it is about to tell You. There’s no proper way to say this, but I found myself so weary of seeking after You. It feels like I can always manage to find You anywhere but hopelessly distracted in understanding a single perfect religion to match You. If You are to be found in a certain religion, then the religion is big enough to contain You, thus it makes You smaller. It’s so weird. It’s not right. You’re everywhere, yet nowhere at once. Endlessly misunderstood. Loving You alone is an exhausting circular effort. Searching You, scanning You, meeting You, cleaning You, loosing You, searching You. Hhh. So I’m going to take my walk now, and whenever You want us to meet, You may instead seek after me. It’s Your turn to find me.

God, wherever You are,
I’m leaving this place because I don’t know what else to do. I don’t know anything anymore. I don’t want anything anymore. I don’t want to know. I don’t want to want. I shall put everything I knew behind. Departed. My mind can no longer bear any more understanding. My existence may explode at any time, I should stop thinking. I give up wanting those things. I have released them all to Your sky. If I may untie another balloon of wish, here is the last big one: I just want my soul back, the way You gave me once before I was 22.

God, whatever You do,
Please understand. In here I’m stranded. I am not who I am. I keep losing myself, my world, my being. It forces me into thinking that I’m living a stranger’s life for something I cannot comprehend, and it’s almost nothing. I am away apart from my soul. So I give in. This is my state of surrendering. I’ve had enough fighting within me. I need to love I, and combat none. I need to make peace with myself. For good. Peace is the only thing You teach me to seek in and out. This time, I am seeking peace outside, since my inside has turned into a deep hollow. This time, I’m taking courage with me to eventually be merged with You, for something named self. Home.

God, the only God,
I am now at point zero with nothing in hand. This is my reborn. Smile for me, God, for this altering moment is indeed exciting as much as it is relieving. There’s a vague space ahead of me, of course. I really don’t have any idea on what kind of doors I will be entering, but I’m urged to leave this wrecked room and close its broken door immediately. Things will never be the same again starting today. From now on, I only hope that You will somehow give me the grace of grasping Your will by finding mine. Bismillah.

15 July 2007

Terbang

Empat hari tidak ada sinyal. Dan untuk itu aku tidak harus meminta maaf kepadamu, karena urusan tidak ada sinyal sama sekali di luar kekuasaanku. Kalaupun harus, mungkin karena aku sengaja tidak memberi tahu kemana aku pergi selama empat hari terakhir ini. Aku ingin menghilang sebentar dari semestamu begitu saja tanpa permisi, lalu menceritakan tentang segalanya nanti, sepulang perjalanan.

Aku pernah bilang, kadang kita harus berjauhan dulu, hanya untuk memberi kesempatan agar rindu datang mengendap-endap lalu menculik kita berdua untuk sebuah hadiah perjalanan buana. Ya, aku sedang butuh untuk merindu, dengan menjauhimu. Lalu pulang dengan memberimu kejutan lagi, meskipun aku tahu kamu tidak terlalu suka dengan kejutan. “Kadang-kadang kejutanmu membuatku jengkel, Non,” katamu suatu malam. Ah, kamu –yang selalu memanggilku dengan sebutan Non--, kamu rupanya bukan laki-laki banyak warna yang terbiasa dengan rupa-rupa rasa. Tapi tentangmu, aku selalu bisa berkompromi, tidak ada lagi yang tidak bisa kuterima. Sebab toh kamu sudah punya tiga warna dasar: merah, kuning dan nila. Bagiku, tiga warna itu saja sudah lebih dari cukup untuk melukisi sebuah kanvas besar. Sendiri atau bersama, bisa diracik jutaan warna.

Kebetulan-kebetulan. Aku sedang ingin menjauhi segala kebetulan itu. Eh, aku sudah pernah bercerita tentang itu kan? Tentang aku yang terpesona dengan segala kebetulan yang bukan kebetulan itu, lalu tersihir, lalu terguna-guna, lalu ingin kembali 'rasional'? Tentang angka yang ajaib itu. Semua sudah kuceritakan kepadamu sejak awal. Bukankah sudah pula kukatakan aku ini perempuan yang menghargai kejujuran sebegitu rupa? Kepadamu, aku tidak ingin menyisakan selapis tiraipun, sehingga kamu akan bisa memaknaiku dengan telanjang apa adanya.

Tapi betapa hidup memang ironi yang menyesakkan. Empat hari lalu aku berniat menetralkan diri dari segala kebetulan itu dengan larutan penawar bermerk Terbang. Baru kusadari belakangan bahwa urusan Terbang ini ternyata juga sebuah kebetulan. Sial. Bahkan tiket pesawat pun kuperoleh secara kebetulan. Kukira, setelah pesawatku tinggal landas, segala rupa kebetulan itu akan merontokkan diri, lalu tenggelam satu-satu di laut biru. Ternyata, kebetulan-kebetulan adalah serupa benih yang tumbuh subur di mana-mana, darat laut udara. (Siapakah gerangan penabur benih kebetulan? Siapakah pula yang menuai?)

Hari itu –di dalam pesawat-- aku berkata pada diri: ini terbang perdanaku, dan karenanya tidak ada satu halpun yang boleh menggangguku dari tindakan mengabadikan moment ini. Aku ingin menikmati angkasa dari dalam angkasa. Tapi siapa mengira angkasa sudah punya rencana. Ternyata teman seperjalananku begitu ngotot ingin menempati window seat meski dia sudah berkali-kali terbang. Pemimpin rombongan berkomentar, “Memangnya kalau di window seat, mau lihat apa? Nggak ada apa-apa. Cuma awan.” Ah, akankah suatu hari orang seperti pemimpin rombongan itu mengerti bahwa tidak ada satupun hal diciptakan hanya untuk menyandang kata ‘cuma’? Orang seperti pemimpin rombongan itu pastinya orang yang sering terbang ke sana ke mari. Rupanya rutinitas selalu berhasil membuat orang lupa menghargai tiap detil peristiwa.

Beruntung aku tidak lupa menyelipkan sebuah novel ke dalam tas, novel rekomendasi seorang teman yang tidak kunjung selesai kubaca. Pesawat sudah tinggal landas, dan aku berusaha meredakan keinginan menengok keluar jendela dengan memilih meneruskan novel yang sudah lama terabaikan itu. Sejujurnya aku sudah lupa sampai di bagian mana. Sudah lebih dari sebulan novel itu tidak kusentuh. Kubuka novel itu tepat di bagian pembatas buku terselip. Dan, demi Tuhan, tahukah kamu, El, kalimat apa yang menyapa mataku beberapa menit setelah lepas landas pertamaku itu? Sebuah judul bab, kalimatnya tertulis: Bagaimana naga terbang. Hahaha... Sapi! Aku ingin meledakkan tawa seketika itu juga, El! Saat itu juga! Lalu mendobrak pintu darurat, lantas terjun bebas. Terbang dengan sebenar-benarnya terbang!

Tidak bisa dihindari, pikiranku pun mulai berkelok-kelok lagi, naik turun mengikuti lekuk-lekuk polo di dalam batok kepala, persis seperti 6 jam perjalanan darat yang harus kulalui sehabis landing. Tiba di hotel, aku kebagian tidur satu kamar dengan teman yang sama, yang selain mengesalkan karena ngotot ingin menempati window seat, dia juga ternyata seorang perempuan yang rewel. Kami sempat memasuki kamar yang sudah dipesan sebelumnya, mandi sebentar, lalu, kamu tahu apa selanjutnya? Teman baruku itu keluar menuju meja resepsionis, meminta ganti kamar hanya karena dilihatnya ada sedikit debu di atas sprei!

Tanpa banyak dalih, resepsionis hotel memberi kamar pengganti. Mungkin dia sudah diwanti-wanti oleh Bupati yang keesokan harinya akan mengadakan acara di hotel yang sama bahwa tamu dari Jakarta harus dijamu sempurna, apalagi ini dari pers yang diharapkan akan memberitakan yang baik-baik mengenai potensi pariwisata di kabupaten kecilnya itu. Resepsionis segera menyerahkan kunci kamar yang baru pada temanku yang rewel itu. Dan, astaga! Kamu tahu berapa nomor kamarnya? 111!!! Sapiiiiiii!!!!!! Sontak aku berbalik, kembali melihat nomor yang tertempel di pintu kamar yang sempat kami singgahi sebentar tadi. 209!!! Duh, Gusti. Aku lemas. Putus asa. Pasrah. Oh, betapa dekatnya jarak kedua kata itu: putus asa dan pasrah. Kebetulan itu selalu mengikutiku kemanapun pergi. Kebetulan apa yang membuat seorang resepsionis hotel memberikan kamar dengan nomor 209 dan 111 pada satu malam yang sama??? Kebetulan apa??? Seketika insting ini memasang alarm untuk sesuatu, entah untuk kejutan apa lagi.

Bunda Dafa, begitu aku memanggil teman baruku yang rewel itu, karena ia menyebut dirinya Bunda untuk bayinya yang bernama Dafa. “Kamu harus memasang target, Sus,” sarannya tanpa diminta, sehabis dia bercerita tentang sepenggal cerita cintanya. Hm, target. Apakah nasib bisa ditargetkan? Nasib? Atau takdir? Dan mataku menatap kosong pada peta-peta kepulauan di brosur-brosur wisata yang berantakan. Apakah nasib bisa dipetakan sempurna sebelum dijalani? Bagaimanakah rupa peta nasibku? Apakah di peta nasibku itu aku telah tanpa sadar melukis lautan yang terlalu luas dibanding daratan? Apakah pulau-pulauku juga serupa potongan-potongan puzzle yang berantakan seperti peta kepulauan di depanku itu?

“Kamu tidak akan bisa memungkiri bahwa kamu butuh,” katanya lagi. Kalau sudah menikah, lalu kebutuhanku terpenuhi, setelah itu apa? Kupikir nikah itu bukan urusan kebutuhan yang harus dipenuhi, aku menyanggah.

Mereka berpacaran selama 6 tahun sebelum menikah. “Kenapa kamu tidak bilang kamu suka gurame goreng tepung?” hanya itu pertanyaan Estu, ketika laki-laki yang kini sudah jadi suaminya itu memergoki Bunda Dafa makan malam dengan laki-laki lain, 2 minggu sebelum mereka menikah, dan mendapati gurame goreng tepung di atas meja. Undangan sudah dicetak, dan kehidupan normal tidak memberi tempat bagi orang yang berjalan mundur. Inilah kisah banyak orang tentang menjalani hidup yang terlanjur dihidupi oleh keterlanjuran. Aku dan kamu tidak terkecuali.

“Setelah menikah, aku tidak merasa ada yang berbeda, Sus. Malah aku dan dia jadi seperti adik-kakak. Tapi anak, itu mengubah segalanya. Sehabis Dafa lahir, aku tahu aku butuh dia. Meskipun aku juga tahu, cintaku yang sesungguhnya cuma buat cinta pertamaku.”

Aku menelan ludah. Aku yakin banyak orang seperti kita, teman baruku. Malah terlalu banyak. Berapa bagiankah dari bumi ini yang dihuni oleh makhluk-makhluk keras hati keras kepala seperti aku dan kamu, teman baruku? Apakah orang-orang seperti kita ini makhluk menyedihkan? Apakah dunia akan lebih menyenangkan tanpa orang-orang seperti kita?

“Tapi waktu itu aku perempuan dengan gengsi tinggi, Sus, yang ingin membuktikan bahwa aku bisa mendapatkan yang lebih baik daripada dia setelah dia membuatku sakit. Belakangan, setelah menikah, dia juga mengatakan hal yang sama. Ah, kalau saja aku tidak gengsian saat itu...”

Adalah sungguh aneh bahwa kehidupan normal tidak memberi tempat bagi orang yang berjalan mundur, tapi pada saat bersamaan juga menyimpan segala keleluasaan bagi mereka yang ingin bercerai atau selingkuh.

Aku berkaca pada cermin buram. 8,5 tahun, dan aku tidak pernah gengsi untuk sebuah rasa yang aku tahu benar itu mengalir dalam diri hingga menggenang mubazir. Baru kali ini saja –itupun lebih tepat disebut sebagai tindakan tahu diri ketimbang rasa gengsi, dan aku sungguh cemas akan mengalami seperti yang dia alami. Diam-diam aku marah pada kecemasanku sendiri. Sejauh ini aku pergi berlari, tapi rasa itu tidak pernah merembes kemana-mana, kecuali jauh ke dalam dan membuat semua benteng besi menjadi karatan. Diam-diam aku marah, El. Andai kamu sedang dekat, kamu tentu akan menelan begitu saja semua racauanku dalam diam yang dalam, untuk kemudian memuntahkan semuanya kembali padaku apa adanya pada saat yang tepat. Kamu adalah basa untuk asamku yang pekat. Selalu.

“Jatuh cinta itu indah sekali, Sus, “ katanya, “maka jatuh cintalah.” Ya, jawabku pendek. Lalu jeda. Kutambahkan bahwa aku sudah siap, untuk menikah ataupun tidak. Meski terselip sedikit ragu apakah aku akan bisa menjalani pilihan kedua, atau merencanakan pilihan pertama sesegera mungkin.

Saat bicara dengan dengan perempuan yang baru kukenal setengah hari itu, aku teringat percakapan SMS dengan seorang teman SMP, yang anaknya sekarang satu kelas dengan keponakanku Athira. Kapan nikah? ia bertanya. Kapan-kapan, jawabku datar. Temanku itu bersikeras: perempuan seperti kamu pasti terlalu pilih-pilih, ayo dong cepetan nikah, biar kalau ketemuan nanti jadi rame, kan lucu kalau kita reunian sambil bawa anak-anak. Kataku: kamu sok tahu, dan hey, anak-anak memang lucu, tapi mereka dilahirkan bukan untuk lucu-lucuan. Nikah itu ibadah, tulisnya lagi. Lalu kubalas, ibadah itu dari sejak kamu bangun tidur hingga kamu tidur lagi, semuanya bisa jadi ibadah. Kenapa ibadah kemudian kamu potong-potong begitu rupa? Lalu orang yang tidak menikah, dia tidak beribadah, begitu? Akhirnya dia mengaku menyerah, katanya SMSku tidak terbantahkan.

Lihatlah, El, betapa aku ini orang yang sering menyanggah, suka membantah, sulit menerima sesuatu begitu saja tanpa mengolah. Seorang sobat pernah berpesan, try not to resist, honey. Just except things the way they are. O, Tuhan, siapapun nama-Mu, dari semua hal, ikhlas ternyata perkara tersulit, sebab itu adalah tentang bagaimana memenangkan peperangan terbesar: perang untuk mematikan diri sendiri demi sebuah kekosongan murni. Bahkan Islam berasal dari kata ‘aslam’, yang artinya menyerah. Bila demikian, selama ini aku bukan seorang Islam. Bila demikian, bagaimana pula aku akan berlanjut menuju iman dan ikhsan? Bila demikian…

Yang terjadi, semakin tahu banyak, semakin sulit untuk tidak menjadi rumit. Semakin tahu banyak, juga semakin sulit untuk tidak merasa sakit. Sementara ikhlas datang setelah seseorang melepas segala rumit dan sakit. Dan aku masih di sini, berjuang untuk kembali sederhana. Duh, ketahuilah. Sesungguhnya (ingin) mengetahui lebih banyak itu tidak membuat seseorang menjadi lebih tenang. Pengetahuan kadang serupa candu yang mengayun-ayunkan bolak-balik dari tempat teduh ke tempat gersang. Keadaan diayun-ayun adalah candu yang meninabobokan kesadaran. Sebab semakin banyak tahu, semakin aku tidak tahu, sehingga kemungkinan tercerahkan atau tersesat adalah sama besarnya. Aku ingin kembali naïf dan sederhana. Polos. Jujur. Tolol. Mengalir apa adanya. Spontan. Hidup lebih indah dengan cara seperti itu. Aku kini seperti kereta yang menapaki jalanan aspal. Dan kamulah rel kembaliku, El. Bukankah hidup itu lingkaran bulat sempurna?

Bunda Dafa terus bercerita di lingkaran yang sama, di kamar hotel yang sama. Dan aku menatap telepon genggam yang tanpa sinyal. Sungguh mudah untuk merindui sesuatu yang sudah tak ada, El. Kamu tahu benar itu.

Malam berikutnya, kami berpindah kota. Kami menginap di hotel termegah di kota itu. Aku seharusnya menginap di kamar nomor 213. Tapi ‘kebetulan’, seorang laki-laki anggota rombongan ingin berganti kamar. Katanya dia merasa geli harus tidur satu ranjang dengan sesama lelaki, meskipun ranjangnya ukuran besar. Sementara kamarku berisi dua single bed, maka aku dan Bunda Dafa berganti menempati kamarnya, nomor 212. Kamu tahu nomor itu selalu berhasil mengingatkanku pada siapa? Bukan, bukan Wiro Sableng. Tapi dia yang sudah jauh, yang saat ini sedang menanti kelahiran anak pertamanya. Dia, a love unfinished.

Uh. Betapa hidup penuh dengan berbagai perjumpaan-satu-kali-yang-mengesankan.

Seperti juga dengan laki-laki yang meminta berganti kamar itu. Dia seorang wartawan TV yang menyenangkan. Kami bicara banyak tentang film dan buku-buku bagus sepanjang perjalanan. Dan apakah kebetulan, El, bahwa dia penggemar film-film musikal ala pertunjukan Broadway? Dan apakah kebetulan pula, El, bahwa aku menyelipkan beberapa DVD ke dalam tas notebook, dan salah satunya adalah film musikal yang setengah bagiannya belum sempat kuhabiskan? Kami duduk di mobil bersisian, dan tergelak-gelak oleh film The Producers sampai notebook di atas pangkuanku kehabisan baterai sebelum film selesai. Kami tergelak-gelak lagi karena dia, yang menakut-nakutiku bahwa aku tidak bakal bisa kembali dengan selamat ke Jakarta sebab sudah kemasukan ruh babi di perkampungan tradisional Sesekoe, ternyata kualat –tiket pesawatnya tertinggal di hotel padahal semua anggota rombongan sudah siap di bandara. Sejak itu aku tidak pernah berjumpa lagi, tapi sebuah cerita perjalanan menggantung di sini, seperti film yang tidak usai itu.

Uh. Betapa hidup penuh dengan berbagai perjumpaan-satu-kali-yang-tidak-sempat-dituntaskan.

Buatmu, El, tentunya tidak begitu penting di kota apa aku berada dan apa saja yang kulakukan di sana. Kamu bukan orang yang terlalu ambil peduli dengan bagaimana aku mengerjakan pekerjaanku, dan itu sesuatu yang membebaskan. Ah, sejujurnya aku ingin mengaku: aku pergi ke sana, tapi tidak berada di sana. Tahu-tahu aku sudah berada di toko souvenir, tahu-tahu tanganku sudah dipenuhi setumpuk kain tenun ikat beragam motif, tahu-tahu semuanya di luar budget awal. Tapi tak apa, setiap moment hidup tidak pernah datang dua kali, sementara rupiah akan datang berkali-kali selama ada yang menjemput. Kain-kain itu akan kujadikan wall hanging dengan latar dinding bercat merah bata, atau dinding dari susunan batu kali. Yang satu akan kupasang untuk sandaran sofa berwarna krem di ruang tengah rumahku nanti. Satu lagi untuk table runner di atas meja kayu panjang. Biar pernak-pernik interiornya saja dulu yang kucicil. Rumahnya nanti. Dan kalau kita pada akhirnya satu rumah, El, aku berjanji kita akan berbagi ruang khusus untuk berkreasi, berkarya bersama dengan cinta. Berapalah lama waktu yang kita punya, paling maksimal hanya tinggal setengah perjalanan lagi. Bagaimana kita akan mengisinya kalau bukan lewat berkarya dengan cinta?

Menjelang kembali ke Jakarta, Bunda Dafa tidak tampak serewel semula. Dia masih mengambil window seat waktu terbang pulang, tapi membolehkanku meminjam jendelanya beberapa saat. Kami mengambil foto-foto dari udara. Menunjuk-nunjuk pada garis pantai yang putih berlekuk-lekuk. Laut dengan gradasi biru dan hijau toska. Danau tiga warna. Kotak-kotak pesawahan. Rumah-rumah mini. Lalu putih… Ah, andai saja sedari tadi aku duduk di kursinya, mungkin sudah habis memory card-ku terpakai. Memotret awan.

“Cuma awan,” terngiang kembali suara pemimpin rombongan. Tapi berapa kalikah dalam hidupmu kamu memandangi awan dengan menunduk dan bukannya mendongak? Gumpalan-gumpalannya sungguh indah, El. Seperti gerumbul padang edelweiss di gunung-gunung yang pernah kutapaki, hanya saja lebih putih. Di sela-sela awan sesekali muncul gunung bijak yang diam mendekam mencengkeram bumi. Aku mengambil gambarnya untukmu, karena kamu gunung diamku. Gunung diam yang selalu mampu meredam luka lebam mendalam.

Selebihnya, aku teruskan membaca novel yang sama. Perjalanan tugas wisata yang melelahkan dan kekagetan atas kondisi alam eksotik yang gersang membuatku betul-betul lupa, sampai di mana pembatas bukuku berhenti. Belum lagi aku yang kecewa berat, sebab setelah berjam-jam perjalanan ke pantai, kami hanya diberi waktu kurang dari 10 menit di sana. Bayangkan, El. Seorang aku dan perjalanan ke laut, tapi aku cuma bisa membaui udaranya, mengambil fotonya, tanpa menyentuh airnya sama sekali. Bukan hanya satu pantai, tapi tiga! Dan aku juga lupa mengambil pasirnya. Damn. Ini seperti rindu yang terpendam lama, namun begitu berjumpa, kamu tidak bisa memeluknya, bahkan menyapa ‘hey’ pun tidak bisa. Uh! Maka aku buka novel tepat di pembatasnya. Lalu kalimat-kalimat itu menyergap. Lalu jiwa mendadak sesak sempurna…


Tapi aku mau terbang. Aku mau menyentuh bintang. Jika ujung jariku melepuh, akan kubelah lima. Dan pulang dengan sepasang tangan berjari lima puluh.

Anakku, bintang bukanlah segi lima. Itu ilusi optis semata. Jangan kembali merangkak dengan kekalahanmu.

Aku takkan pulang merangkak, Bapak, aku akan datang terbang. Mungkin kalah, mungkin menang. Apa bedanya. Tapi sesekali, aku akan kembali.


Hhh…

Kebetulan sialan ini tidak henti-hentinya mencokok mata. Dan tengoklah sendiri di kalender, tanggal berapa penerbangan ini kulakukan. Uh uh uh. Pelarianku dari kebetulan adalah sebuah kegagalan. Lain kali kita terbang bersama saja, El. Tapi sebagai laki-laki, kamu harus mau merelakan window seat untukku. Aku tak peduli kamu akan mencibirku dengan kata ‘gender’. Aku ingat, dulu kamu pernah bilang, “Aku ingin terbang, meskipun hanya 5 menit.” Waktu itu kujanjikan dalam hati bahwa suatu hari nanti aku akan menghadiahimu terbang tandem. Paragliding, El. Aku akan lebih giat menabung untuk mimpi satu itu. Ah, bagaimanakah rasanya betul-betul terbang berdua bersamamu? Berusaha menahan kuatnya tarikan gravitasi bumi sambil menahan tarikan rasa untuk berciuman di udara?

Ya ya ya. Kamu akan mengejekku dengan pandangan khasmu itu, sebab ini bukan terbang perdana yang memuaskan, sebab ketika aku ingin memberimu kejutan, justru aku dikejutkan oleh kebetulan-kebetulan yang mulai tidak menyenangkan. Kejutan yang ingin kubuat berbalik mengejutkanku sebelum sempat mengejutkan siapa-siapa. Bukankah hidup itu lingkaran bulat sempurna?

Tapi bagaimanapun, sepertinya aku akan kecanduan terbang. Mungkin penerbangan malam hari tak kalah memukau. Melihat bintang dari awang-awang, menghampirinya sedikit lebih dekat, lalu membiarkannya menggantung diri di langit sebagaimana seharusnya. Dan di permukaan bumi di bawah sana berkerlap-kerlip lampu-lampu kota, ke arah mana setiap pesawat akan mendarat pulang. Lalu aku akan menerka-nerka, mana nyala rumahku? Mana nyala rumahmu? Adakah nyalanya satu?

Oleh-oleh untuk El
Belu, 22 November 2006/20.27