19 March 2005

Seseorang di Suatu Hari

Seseorang di Suatu Hari
(setengah fiksi)

Kayu, kayu, kayu. Aku mulai bosan berkawan dengan kayu. Satu sudut kamarku sudah terlalu penuh dengan berjenis-jenis nisan dari kayu; kayu jati, kayu cendana, kayu abasia, kayu ranti, kayu kukun, kayu…ah! Terlalu banyak kayu!
Aku harus mencoba batu.

***

Sore itu sepulang dari kampus aku pergi ke toko peralatan kematian dengan niat membeli sebongkah nisan. Seorang bapak dengan baik hati segera datang melayaniku.

“Siapa yang meninggal, Neng?”
“Saya.”
“Hah?”
“Nanti.”
“Ooo…???? Ah, si Neng ini ada-ada aja. Buat Neneknya yang baru meninggal kali ya?”

Kujawab ya saja, simpel. Toh ia tak harus tahu urusan pribadiku. Tapi eh, sebentar, kenapa ia heran kalau batu itu kubeli buatku sendiri? Bukankah seharusnya pekerjaan menjagai toko itu selama bertahun-tahun telah cukup mengajarkan padanya bahwa kematian adalah suatu hal yang sebiasa kehidupan?

“Silahkan pilih, Neng. Nisannya mau dari batu apa? Granit, marmer, obsidian, onyx?”
Obsidian? Onyx? Adakah? Hebat!
“Yang paling murah yang mana, Pak?”
“Granit. Tapi biasanya pahatan di atas granit itukurang rapih –ya itu tergantung pemahatnya juga sih, Neng. Kalau mau yang mahalan dikit, pakai marmer aja. Selalu mengkilap dan nggak usah dipahat manual, soalnya ngukir namanya pakai mesin khusus. Neng tau jadi aja deh, asal ongkosnya sesuai, hehehehe…”
“Hmmm… gitu ya, Pak. Kalau gitu saya pilih yang granit aja deh.”

Kantong saku mahasiswaku tak cukup buat beli marmer, Pak. Sorry. Lagipula aku lebih suka pahatan manual, lebih orisinil. Kupikir, biarpun granit itu murah, kalau pemahatnya seorang seniman ulung, tentu keindahannya bisa melampaui nisan marmer yang dipahat mesin. Maka aku pesan satu potong nisan granit abu-abu persis seukuran buku biruku yang tebalnya 500 lembar kertas itu. Bentuknya pun segi empat, hanya saja dua sudut atasnya dibuat sedikit melengkung. Segera kubayar lalu dibungkus untuk kubawa pulang. Sambil membungkus, bapak baik hati itu sekali lagi keheranan.

“Lho, Neng, apa nggak sekalian minta dipahatin di sini aja? Tinggalin aja nama nenek Neng yang meninggal itu, juga tanggal lahir dan meninggalnya. Besok bisa diambil.”
Aku agak gelagapan mencari jawabannya. Maka kukarang saja sebuah cerita –meskipun aku benci jika harus melakukan ini, terlebih pada orang baik hati yang tak kukenal.
“Nggak, Pak. Paman saya seorang pemahat. Dia ingin memenuhi permintaan terakhir nenek agar nisannya dipahat indah-indah sama paman.”
“Wah, bagus kalau begitu, Neng!” serunya.

Aku pulang membawa sebongkah nisan granit abu-abu terbungkus plastik keresek hitam yang kujejalkan ke dalam tas punggung yang sudah penuh buku-buku tebal bahan skripsi yang baru kupinjam dari perpustakaan. Biarpun berat, sengaja bungkusan itu tidak kutenteng. Aku malas menjawab pertanyaan orang rumah kalau melihatku membawa sesuatu mencurigakan di tangan. Begitu melihatnya, ibuku yang selalu ingin tahu pasti akan gatal kalau tidak segera bertanya, “Apa itu, Ayra?”. Dan aku sungguh-sungguh malas untuk menjelaskan masalah nisan ini berpanjang-panjang pada siapapun, termasuk Ibu. Lagipula sejak kecil aku tak terlalu dekat dengannya, maka kurasa tidak ada kebiasaan atau keharusan apapun untuk menceritakan padanya apa-apa yang kulakukan atau apa-apa saja yang kumasukkan ke dalam kamar.

Kamarku mirip paviliun yang terpisah dari rumah utama. Jadi itu merupakan wilayah otonom yang tidak biasa dilalulalangi anggota rumahku yang lain. Sebaliknya, aku pun memasuki kamar tanpa harus setor muka terlebih dulu pada penghuni-penghuni kamar-kamar lain di rumah utama. Bapak, ibu, kakak, adik, atau siapapun masuk ke kamarku hanya jika ada perlunya dan atas seijinku saja sebab kamar itu selalu terkunci bila aku tak ada didalamnya. Aku mampir ke rumah utama cuma buat numpang ke kamar mandi atau dapur, atau buat sejam dua jam didepan TV. Sementara mereka nongol di kamarku cuma buat pinjam gunting atau selotip dan semacamnya yang selalu tidak tersedia di rumah utama. Hampir seperti anak kos. Aneh? Terserah pendapatmu. Keluargaku sudah menjalankan ini bertahun-tahun. Maka ketika menjelang maghrib aku pulang dengan tas punggung yang tampak berat, tak ada yang mengira ada sesuatu yang anehtersimpan di dalamnya –seperti biasa.

Kubuka bungkusan keresek itu. Nisannya kuletakkan diatas meja yang tak ada apa-apa di atasnya kecuali setumpuk buku-buku, kalender duduk, dan jam meja kecil bundar berwarna biru hadiah kekasihku (ah, kenapa fotonya tak pernah terpasang di atas meja ini?). Nisan granit abu-abu kasar itu kutata di antara kalender dan jam. Latar belakangnya kuatur dari tumpukan buku-buku itu, yang sebagian belum kubaca, sebagian belum disampul, sebagian hadiah teman, sebagian pinjaman yang belum sempat kukembalikan, sebagian kudapat dari hasil hobi menjahitku, sebagian dibeli sewaktu bekerja dengan gaji --yang tampaknya-- besar di Jakarta, sebagian kubeli untuk mengisi kosongnya hati yang selalu resah tak tentu arah, sebagian permata, sebagian sampah, sebagian... ah... buku-buku itu… betapa lewat mereka cara pikirku tidak bisa kembali seperti dulu lagi. Kadang aku bingung sendiri, bagaimana caranya membuang sampah yang sudah terlanjur masuk ke kepala? Kupikir tak ada cara apapun. Segala yang masuk itu menolak keluar lagi.Tersimpan begitu saja di sana sampai mati. Kadang aku ingin begitu saja melepas stop kontak yang menempel di belakang kepalaku seperti Matrix, lalu di-install ulang. Sebuah keinginan yang terlalu mustahil untuk diinginkan.

Sambil tiduran, kupandangi nisan itu. Kosong. Hanya sebongkah batu masif solid yang kosong. Tulisan apakah yang akan terpahat di permukaannya bila aku mati nanti? Akankah seperti kalimat yang tertulis di nisan besar di film-film romantis barat yang sering kulihat... “Samantha X, a loving caring mother with a big spirit of live. Left a husband and three beautiful little children. January 9, 1962 – March 10, 1994”, misalnya? Semacam itukah? Apa yang akan ditulis orang tentangku di atas nisan itu? Bisakah kalimat sepanjang itu terpahat di nisan yang hanya seukuran buku ini? Atau hanya sesedikit itukah seluruh hidupku disimpulkan?

Apapun itu, aku tak tahu. Yang pasti: Ayra. Nama itu yang nanti bakal terpahat di sana. Tapi, eh, bukan. Ayra bukan nama asliku. Namaku Susantianuss. Tapi siapa dia? Bagaimana pemahat nisanku nanti memberi kalimat atas seorang Susantianuss? Bisa jadi dia bakal bingung sendiri karena memang tak pernah mengenalku, toh dia hanya seorang pemahat yang dipesan orang buat menorehkan tulisan di atas batu, itu saja. Ah… Susantianuss. Dari dulu aku tak suka nama itu. Aku tak kenal dia. Terlebih ada kata anus di belakangnya. Bagaimana seorang bapak bisa memberi nama anus buat anaknya? Aku ingin Ayra, Ayra Rumaisha. Tapi apa hakku atas sebuah nama yang bahkan adalah namaku sendiri? Hey, stop! Stop! Aku harus berhenti melingkar-lingkar terus begini. Memutar-mutari hasil tatanan masa yang tak mampu kuubah dengan melenguh-lenguh seperti ini tak akan membawa apapun kecuali aku melakukan sesuatu. Something realistic! Bila tidak, tak akan pernah berhenti. Aku harus maju. Maju!

Kulihat jam, pukul 11.05. Eh, sudah selarut itukah malam? Berapa lama tadi aku membuang waktu memandangi nisan itu? Sialan! Tanggal berapa ini? 3 Maret? Shit! Aku harus segera menyalakan komputerku. Besok harus ke kampus, revisi bab terakhir skripsiku. Minggu depan sudah sidang, tanggal 11!

Kutekan tombol power komputer yang bukan milikku itu (hm, terlalu banyak barang-barang pinjaman di kamarku ini). Ketak ketik ketak ketik ketak ketik… begitu lincahnya aliran listrik di kepala ini hingga tak terasa sudah pukul 02.20. Ajaibnya, aku sama sekali tidak mengantuk. Rasanya seperti bateraiku baru saja di-recharge orang. So energized! Ketak ketik ketak ketik ketak ketik… ketak ketik ketak ketik ketak ketik...

Dan… jebret! Mati lampu! Shit! Shit! Shit! Ada apa pula dini hari begini mati lampu? Aneh. Tak seperti biasanya. Daerah ini sudah lama aman dari listrik padam. Sialan! Mana yang tadi kuketik belum sempat di-save. Shit! Shit! Shit! Batallah agenda ke kampus besok. Dengan dongkol aku terpaksa harus tidur. Ajaibnya (lagi), tidurku sangat lelap. Sangat sangat lelap…

***

Aku terbangun seperti tidak pernah terbangun sebelumnya. Kaget. Seluruh tubuhku seperti mandi keringat dingin, padahal aku tidak bermimpi seram–bahkan tak bermimpi sama sekali. Ruangan begitu gelap. Lubang cahaya di langit-langit tidak melewatkan seberkas sinarpun. Di mana aku? Hari apa ini? Tanggal berapa? Berusaha menyatukan diri, aku duduk sambil mencoba mengenali barang-barang di sekelilingku dalam kegelapan.

Sebentar kemudian kudengar adzan shubuh yang begitu keras. Ah, adzan! Adzan dari mesjid di belakang rumah! Hahahahaha… betapa leganya bahwa aku masih berada di dalam kamarku, masih hidup di dunia ini (apakah di dunia lain tak ada adzan shubuh? mengapa aku merasa lega masih berada di dunia ini?). Sedetik tadi kukira aku sudah mati. Berarti tidurku tadi cuma sekitar 2 jam. Ah… betapa nikmatnya tidur 2 jam hingga orang jadi lupa ingatan begini. Hahahahaha… lagi-lagi aku tertawa sendiri.

Kuhampiri saklar lampu kamar. Eh, tapi tadi kan listrik mati, pikirku, dan seingatku tak ada sesuatupun yang kuubah posisinya ketika berangkat tidur tadi. Jadi kalau saat ini listrik sudah menyala lagi, mestinya lampu neon panjang di atas kepalaku itu sudah menyala dengan sendirinya.

Mencoba menghilangkan penasaran, aku keluar kamar mengecek kamar lain di rumah utama, dan lampu-lampu dirumah tetangga. Tapi mengapa cuma kamarku yang gelap gulita begini? Pasti ada sesuatu yang salah. Pasti!Kabel-kabel di atap itu memang semrawut dan suka dimakan tikus. Tikus sialan! Segala apa dimakannya saja. Apa enaknya rasa kabel? Gigimu kesetrum baru taurasa kau!

Aku segera kembali lagi ke kamar, mengambil lampu senter yang sudah kuhapal betul letaknya dalam kotak perkakas di atas lemari sehingga cuma butuh ingatan dan kepekaan saraf-saraf tangan saja untuk menemukannya. Tapi sialan! Lampu senter itu juga ikut-ikutan mati lampu! Shit! Shit! Shit! Aku terduduk di kursi sambil berpikir apa yang akan kulakukan. Membangunkan bapak buat meminta bantuannya? Memanjat sendiri ke langit-langit mencari kabel-kabel yang rusak? Mengejar-ngejar tikus sialan? Apa?!

Tapi sebelum aku sempat memutuskan apapun, tiba-tiba lampu menyala begitu saja. Peralihan dari gelap gulita ke terang benderang yang begitu menyentak membuatku secara refleks menyipitkan mata. Dan ketika kembali normal, mataku langsung tertumbuk pada sebongkah nisan granit abu-abu di atas meja itu. Menghadap padaku dengan pahatan tulisan di permukaannya:


…………………….

4 Juli 1976 – 4 Maret 2003

Selamat datang 1 Muharram 1424 H
Senin, 3 Maret 2003/16.32

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Amazing suss..amazing.thats all i can say for this story.thanks for remainding me of the "D" day.

15 May, 2005 21:49  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home