19 March 2005

Di Bawah Langit

Suatu hari di planet kesebelas, seperti sebutir mutiara yang terlepas dari rangkaian kalung waktu. Tak ada yang menduga sama sekali bahwa benang perangkai itu akan rapuh di satu titik dan membiarkan sebuah celah meloloskan sebutir hari paling berharga terjatuh begitu saja.

Hari itu mereka menikah.
Malamnya mereka terdampar di suatu kamar.
Dan waktupun terhampar...

Mereka saling menatap dalam diam. Ruangan gelap, namun masih menyisakan sedikit cahaya yang memungkinkan keduanya saling mengenali raga. Tangan mereka bergenggaman. Dua kepala itu berada di atas bantalnya masing-masing, namun pikiran mereka terkait di satu simpul yang sama: tak percaya bahwa waktu bisa menjodohkan mereka dengan cara yang demikian aneh. masa pertemuan dan masa pencarian itu... hhh... bagai sedetik berbanding semilyar tahun.

Tak henti-hentinya mereka menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan cara seakan ingin menghempas segala sampah di dada.
Hhh...

Lama terdiam, si perempuan mengubah posisi tidurnya yang miring menjadi terlentang. Si laki-lakipun tak urung mengikuti. Keduanya memandang tegak lurus atap kamar bernuansa hijau-putih hasil rancangan si perempuan. Dengan tenang perempuan itu menekan sebuah tombol terbuat dari mika bening di dekatnya. Maka atap serupa kubah itu lantas membelah tepat di tengah-tengah dengan suara mesin yang sangat halus, lalu kedua bagiannya bergerak perlahan ke masing-masing tepi.

Ah, Langit tengah malam... Hitam biru keunguan dengan sedikit hijau lembut dan perak menyemburat. Angin matahari yang menyembur dari corona menyisakan sepercik aurora merah kekuningan, berkelebatan di sebelah utara. Dan sepotong bulan sabit menyapa dengan mata jenakanya yang sipit. Si perempuan membalas tersenyum. Satu-dua bintang mendekati bulan eksotis nan cantik itu, lalu satu-dua lagi... lalu satu-dua lagi... Hingga mereka berkerumun, dan bercakap-cakap dengan hangat.

Terlihat Io dan Callisto melintas dari arah timur, berjingkat-jingkat keluar dari orbitnya, sambil menempelkan jari telunjuk di depan mulut tanda isyarat rahasia kepada si perempuan. Tak kuasa perempuan itu menahan tawa. Matanya balik mengisyaratkan bahwa Raksasa Jupiter sedang mengejar kedua anak kecil itu dari arah selatan sambil marah-marah. Namun kemarahan Jupiter terhenti seketika demi melihat sang bulan sipit dikerubungi bintang-bintang. Lalu ia ikut nimbrung, melupakan dua satelitnya yang sudah melesat entah ke mana, mungkin dibonceng komet Halley yang jenggot putihnya makin panjang menua, mungkin juga diculik gerombolan meteor Perseids. Entah.

Dan semua isi Langit sibuk berbincang-bincang sambil mengagumi mata bulan yang sipit, dan melupakan dua pasang mata tak sipit yang sedang memandangi mereka dari bawah sana dengan berkaca-kaca, diharu biru oleh rindu tak berujung pada Sang Langit. Lagi-lagi pengantin baru itu menarik nafas dalam-dalam.

Dan sebelum terpuaskan memandangi isi Langit, si perempuan kembali menatap "laki-laki asing" di sampingnya, lalu tersenyum. Diambilnya perangkat kecil segenggaman tangan dari atas meja di pinggir tempat tidur. Ibu jarinya lincah menulis sebuah pesan pendek, "Mari kita buat persembahan terindah malam ini..."

Perangkat segenggaman tangan milik si laki-laki lantas berbunyi pendek di atas meja yang sama. Namun ia tahu ia tak perlu meraihnya untuk menulis pesan balasan. Ia cukup membalasnya dengan senyum penuh pengertian pada si perempuan, lengkap dengan tatapan mata yang tak ada duanya.

Dan semalaman keduanya digulung waktu. Menjadi satu. Melebur menuju keindahan yang tak pernah mereka kenali sebelumnya. Maka keduanya saling berebut ingin mengenali. Kejar-mengejar. Hingga keringat menjadi tawar. Hingga masing-masing seperti lupa pada siapa aku dan siapa kamu. Hingga masing-masing kehilangan ingatan akan nama-nama. Hingga di satu titik, benak mereka cuma mengenali satu saja.

Semalaman itu, tak ada nama lain yang mereka sebut-sebut. Kecuali,
O, Langit... O, Langit... O, Langit...





Dedicated to Midnight Man
Tomang - Jakarta,
Minggu, 19 Desember 2004/01.47

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

wew...!!!
yg ini keren bgt mba,gak nyangka deh mba susy tnyata berbakat jadi .... apa yah namanya?klo disebut seniman/penulis ko kayanya gak pas yah?like der is somethin missing in dat words 2 describe u.... Pokona mah tetep semangat lah mba!!!!
hehhehee...
Ps:jadi inget blm salat isya niyh(mo insaf dulu 4 a moment),hehehe!!
:)) :)) :)) :)) :)) :)) :)) :)) :))

31 March, 2005 00:08  
Anonymous Anonymous said...

sus, kamu pinter merangkai kata. kenapa ga disalurkan semua resahmu dalam pena? Jujur saja, kata-kata yang terangkai menyentuh hati dan kedalaman jiwa. Membuat orang berpikir akan maknanya. sus, boleh tanya mengapa kamu tertarik dengan tema kematian dan nisan? Adakah kematian menjadi pertanyaan besarmu?

19 April, 2005 16:54  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home