26 March 2005

Midnight Song

Quiet
by John Mayer


Midnight,
lock all the doors
and turn out the lights
feels like the end of the world
this sunday night

there's not a sound
outside the snow's coming down
somehow, I can't seem to find
the quiet inside my mind

3:02
the space in this room has turned on me
all my fears have cornered me here
me and my TV screen

the volume's down
blue lights are dancing around
and still, I can't seem to find
the quiet inside my mind

daylight is climbing the walls
cars start and feet walk the halls
the world wakes
and now I am safe
at least by the light of day
at least by the light of day

***

bisa nggak kamu cari kuncinya?
ntar kamu ngamen di depanku, pake gitar nyanyiin lagu itu, sambil kita ngobrol di balkon rumahmu yang ada tempat jemurannya itu, lengkap dengan teh manis hangat, dan kaccccang rebusssss!!! hweeeeeehehehe... I can hardly wait!
20 hari lagi aku ke Bandung. semoga batukmu cepet sembuh.

miss you...
so good :)

21 March 2005

Masih Saja

Midnight,
Badai datang lagi hari ini. Mengobrak-abrik lagi. Meniupkan angin ke pasir hati. Sialnya, dia datang karena aku yang melemparkan tali bersimpul itu hingga mengait di lehernya. Tadi siang, sebelum kamu datang malam-malam, dengan secuplik hahaha karena kamu punya nama wanita. Aku selalu gembira dengan sejumput kabar menyenangkan darimu. Tapi sialnya, kamu juga datang dengan membawa kabar tentang Ungu, yang ternyata kuundang sendiri.
Hhh...

Midnight,
aku ditelan Badai Ungu.
bilakah aku tiba?
bilakah kamu tiba?

20 March 2005

Mati

... aku ingin "mati"
berkali-kali ...
- suss -

Mati Sebelum Mati
Penulis: Gede Prama

Setelah lama belajar menyelami sebagian samudera "kebetulan", melihat, mendengar dan membaca tanda-tanda makna di balik banyak sekali peristiwa kebetulan, ternyata manuskrip tua di Peru itu betul : tidak ada kejadian yang kebetulan. Semuanya terangkai dalam jejaring makna yang sempurna. Cuman hanya karena kemampuan manusia untuk mengerti demikian terbatas, maka ada bagian-bagian dari jejaring makna tadi yang tidak terlihat. Dan bagian yang tidak bisa ditangkap oleh pengertian manusia yang terbatas inilah, yang kemudian diberi judul kebetulan.

Dalam teropong makna seperti ini, bisa dimaklumi kalau ada seorang sahabat yang pernah terperangah oleh sebuah tulisan saya. Bukan karena tulisannya bagus atau hebat, sekali lagi bukan. Namun karena pagi-pagi ia membaca tulisan saya yang berjudul "Kematian juga mempesona", siangnya ia ditinggalkan oleh Ibu kandungnya melalui proses kematian. Serupa dengan tulisan ini, ketika tangan-tangan ini sedang merapikan komputer sebagai persiapan menulis, seorang sahabat menelpon : "saya tersentuh dengan suara Anda di radio pagi ini tentang mati sebelum mati!".

Ada bagian-bagian dari tubuh ini yang pernah tersentuh oleh nasehatnya Winston Churchill. Di sebuah kesempatan, Churchill pernah berucap : we make a living by what we get, we make a life by what we give. Kita hidup dari apa-apa yang kita peroleh. Dan menciptakan kehidupan melalui apa-apa yang kita beri. Pesan ini menjadi demikian menyentuh, terutama karena kehidupan di zaman ini menghabiskan terlalu banyak waktu dan tenaga untuk mendapatkan sesuatu. Dan demikian sedikit yang kita alokasikan untuk memikirkan hal-hal yang bisa kita berikan.

Begitu ada orang lain yang menyebutkan kalau kita baru saja memberi - kendatipun dalam nilai yang masih bisa diperdebatkan - ada gelombang-gelombang kejernihan yang menghempas di dalam sini. Ia membersihkan, memurnikan sekaligus menjernihkan. Sehingga bisa dimengerti kalau ada sejumlah sahabat dengan modal-modal kepekaan yang mengagumkan, kemudian mudah sekali meneteskan air mata, terutama ketika tangannya harus menerima serangkaian pemberian.

Tidak saja pemberian dari orang lain, tetapi juga pemberian dari semesta dan pencipta. Seperti ada bagian-bagian tertentu dari pintu hati ini yang sedang diketuk, demikianlah pengalaman sejumlah sahabat ketika harus menerima pemberian. Jangankan memperoleh rezeki yang besar, menghirup nafas, melihat pemandangan yang indah, rumput menghijau, bunga yang mekar di taman, anak istri yang sehat walafiat, langit biru dan bahkan matahari terbenam dengan bentuk wajah tertentupun mudah sekali menyentuh. Sehingga dalam totalitas, hidup ini sebenarnya hanyalah sebuah jejaring pemberian. Sejak janin kita diberi makan oleh Ibu, dan sampai sekarangpun masih diberi makan oleh Ibu yang lain.

Ada sahabat yang bertanya, dari mana kepekaan-kepekaan seperti ini bisa diperoleh ? Inilah logika manusia masa kini, semuanya dilihat dan dicari dalam kerangka memperoleh, sedikit sekali yang memulainya dengan kata memberi. Ada memang sahabat yang berpendapat kalau kepekaan bisa diperoleh. Entah melalui proses belajar, mendengar, meniru dan masih ada lagi yang lain. Dan tentu saja cara pandang seperti ini layak dihargai.

Sama layaknya untuk didengar, ada juga sahabat yang menyebutkan kalau kepekaan akan muncul dengan sendirinya di dalam kalau manusia rajin memberi. Memberi, itulah titik berangkat menelusuri jalan-jalan kepekaan. Ada yang merayakan ulang tahunnya di Panti Asuhan. Ada yang menjadi pelayan umat di tempat ibadah masing-masing. Ada yang rajin membantu orang lain. Ada yang menebar senyuman di mana-mana. Ada yang memiliki tabungan tindakan-tindakan kecil yang tidak dikenal.

Setiap tangan yang rajin serta konsisten memberi, entah dari mana datangnya energi, tiba-tiba saja seperti ada yang mengirimi serangkaian kepekaan. Negatifnya, manusia jenis ini disebut oleh manusia lain sebagai terlalu perasa. Positifnya, ia terhubung secara mudah dengan jejaring makna. Sehingga dalam hampir setiap langkah, ia dibimbing, diberitahu, diarahkan serta dilindungi. Bisa dimaklumi kalau mereka kemudian mudah sekali meneteskan air mata. Bukan karena cengeng, melainkan karena kehidupan sudah demikian baiknya pada orang-orang jenis ini.

Dalam teropong makna yang lain, ada sahabat yang menyebut kelompok manusia seperti ini dengan manusia yang sudah mati sebelum mati. Sebelum tubuhnya disebut mati secara medis, ada kematian lain yang sudah menjemputnya terlebih dahulu. Yakni kematian manusia dari ego, aku, subyek, dan identitas sombong serta angkuh lainnya. Pengetahuan dan bahasa memang mengenal subyek dan obyek. Logika-logika pengetahuan tertentu juga menempatkan manusia dalam posisi mengetahui, dan selain manusia didudukkan dalam kursi diketahuin. Namun, kehidupan yang sudah mati sebelum mati tidak mengenal identitas subyek dan obyek, tidak ada kotak mengetahui diketahui, yang ada hanya sebuah jejaring makna. Di mana semuanya terhubung demikian rapinya.

Dalam bahasa salah seorang pejalan kaki di bidang ini : when I discovered that I am nothing, I am well connected with everything . Ketika manusia menyadari dirinya bukan apa-apa, ia terhubung secara amat rapi dengan jejaring makna. Dan kemudian lebih dari sekadar terhubung, gerakan-gerakan hidup berjalan sangat seirama dengan semesta. Tidak ada kata yang lebih berguna dari kata syukur dalam hal ini. Ada sahabat yang berani mati sebelum mati?

***

19 March 2005

Di Bawah Langit

Suatu hari di planet kesebelas, seperti sebutir mutiara yang terlepas dari rangkaian kalung waktu. Tak ada yang menduga sama sekali bahwa benang perangkai itu akan rapuh di satu titik dan membiarkan sebuah celah meloloskan sebutir hari paling berharga terjatuh begitu saja.

Hari itu mereka menikah.
Malamnya mereka terdampar di suatu kamar.
Dan waktupun terhampar...

Mereka saling menatap dalam diam. Ruangan gelap, namun masih menyisakan sedikit cahaya yang memungkinkan keduanya saling mengenali raga. Tangan mereka bergenggaman. Dua kepala itu berada di atas bantalnya masing-masing, namun pikiran mereka terkait di satu simpul yang sama: tak percaya bahwa waktu bisa menjodohkan mereka dengan cara yang demikian aneh. masa pertemuan dan masa pencarian itu... hhh... bagai sedetik berbanding semilyar tahun.

Tak henti-hentinya mereka menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan cara seakan ingin menghempas segala sampah di dada.
Hhh...

Lama terdiam, si perempuan mengubah posisi tidurnya yang miring menjadi terlentang. Si laki-lakipun tak urung mengikuti. Keduanya memandang tegak lurus atap kamar bernuansa hijau-putih hasil rancangan si perempuan. Dengan tenang perempuan itu menekan sebuah tombol terbuat dari mika bening di dekatnya. Maka atap serupa kubah itu lantas membelah tepat di tengah-tengah dengan suara mesin yang sangat halus, lalu kedua bagiannya bergerak perlahan ke masing-masing tepi.

Ah, Langit tengah malam... Hitam biru keunguan dengan sedikit hijau lembut dan perak menyemburat. Angin matahari yang menyembur dari corona menyisakan sepercik aurora merah kekuningan, berkelebatan di sebelah utara. Dan sepotong bulan sabit menyapa dengan mata jenakanya yang sipit. Si perempuan membalas tersenyum. Satu-dua bintang mendekati bulan eksotis nan cantik itu, lalu satu-dua lagi... lalu satu-dua lagi... Hingga mereka berkerumun, dan bercakap-cakap dengan hangat.

Terlihat Io dan Callisto melintas dari arah timur, berjingkat-jingkat keluar dari orbitnya, sambil menempelkan jari telunjuk di depan mulut tanda isyarat rahasia kepada si perempuan. Tak kuasa perempuan itu menahan tawa. Matanya balik mengisyaratkan bahwa Raksasa Jupiter sedang mengejar kedua anak kecil itu dari arah selatan sambil marah-marah. Namun kemarahan Jupiter terhenti seketika demi melihat sang bulan sipit dikerubungi bintang-bintang. Lalu ia ikut nimbrung, melupakan dua satelitnya yang sudah melesat entah ke mana, mungkin dibonceng komet Halley yang jenggot putihnya makin panjang menua, mungkin juga diculik gerombolan meteor Perseids. Entah.

Dan semua isi Langit sibuk berbincang-bincang sambil mengagumi mata bulan yang sipit, dan melupakan dua pasang mata tak sipit yang sedang memandangi mereka dari bawah sana dengan berkaca-kaca, diharu biru oleh rindu tak berujung pada Sang Langit. Lagi-lagi pengantin baru itu menarik nafas dalam-dalam.

Dan sebelum terpuaskan memandangi isi Langit, si perempuan kembali menatap "laki-laki asing" di sampingnya, lalu tersenyum. Diambilnya perangkat kecil segenggaman tangan dari atas meja di pinggir tempat tidur. Ibu jarinya lincah menulis sebuah pesan pendek, "Mari kita buat persembahan terindah malam ini..."

Perangkat segenggaman tangan milik si laki-laki lantas berbunyi pendek di atas meja yang sama. Namun ia tahu ia tak perlu meraihnya untuk menulis pesan balasan. Ia cukup membalasnya dengan senyum penuh pengertian pada si perempuan, lengkap dengan tatapan mata yang tak ada duanya.

Dan semalaman keduanya digulung waktu. Menjadi satu. Melebur menuju keindahan yang tak pernah mereka kenali sebelumnya. Maka keduanya saling berebut ingin mengenali. Kejar-mengejar. Hingga keringat menjadi tawar. Hingga masing-masing seperti lupa pada siapa aku dan siapa kamu. Hingga masing-masing kehilangan ingatan akan nama-nama. Hingga di satu titik, benak mereka cuma mengenali satu saja.

Semalaman itu, tak ada nama lain yang mereka sebut-sebut. Kecuali,
O, Langit... O, Langit... O, Langit...





Dedicated to Midnight Man
Tomang - Jakarta,
Minggu, 19 Desember 2004/01.47

Seseorang di Suatu Hari

Seseorang di Suatu Hari
(setengah fiksi)

Kayu, kayu, kayu. Aku mulai bosan berkawan dengan kayu. Satu sudut kamarku sudah terlalu penuh dengan berjenis-jenis nisan dari kayu; kayu jati, kayu cendana, kayu abasia, kayu ranti, kayu kukun, kayu…ah! Terlalu banyak kayu!
Aku harus mencoba batu.

***

Sore itu sepulang dari kampus aku pergi ke toko peralatan kematian dengan niat membeli sebongkah nisan. Seorang bapak dengan baik hati segera datang melayaniku.

“Siapa yang meninggal, Neng?”
“Saya.”
“Hah?”
“Nanti.”
“Ooo…???? Ah, si Neng ini ada-ada aja. Buat Neneknya yang baru meninggal kali ya?”

Kujawab ya saja, simpel. Toh ia tak harus tahu urusan pribadiku. Tapi eh, sebentar, kenapa ia heran kalau batu itu kubeli buatku sendiri? Bukankah seharusnya pekerjaan menjagai toko itu selama bertahun-tahun telah cukup mengajarkan padanya bahwa kematian adalah suatu hal yang sebiasa kehidupan?

“Silahkan pilih, Neng. Nisannya mau dari batu apa? Granit, marmer, obsidian, onyx?”
Obsidian? Onyx? Adakah? Hebat!
“Yang paling murah yang mana, Pak?”
“Granit. Tapi biasanya pahatan di atas granit itukurang rapih –ya itu tergantung pemahatnya juga sih, Neng. Kalau mau yang mahalan dikit, pakai marmer aja. Selalu mengkilap dan nggak usah dipahat manual, soalnya ngukir namanya pakai mesin khusus. Neng tau jadi aja deh, asal ongkosnya sesuai, hehehehe…”
“Hmmm… gitu ya, Pak. Kalau gitu saya pilih yang granit aja deh.”

Kantong saku mahasiswaku tak cukup buat beli marmer, Pak. Sorry. Lagipula aku lebih suka pahatan manual, lebih orisinil. Kupikir, biarpun granit itu murah, kalau pemahatnya seorang seniman ulung, tentu keindahannya bisa melampaui nisan marmer yang dipahat mesin. Maka aku pesan satu potong nisan granit abu-abu persis seukuran buku biruku yang tebalnya 500 lembar kertas itu. Bentuknya pun segi empat, hanya saja dua sudut atasnya dibuat sedikit melengkung. Segera kubayar lalu dibungkus untuk kubawa pulang. Sambil membungkus, bapak baik hati itu sekali lagi keheranan.

“Lho, Neng, apa nggak sekalian minta dipahatin di sini aja? Tinggalin aja nama nenek Neng yang meninggal itu, juga tanggal lahir dan meninggalnya. Besok bisa diambil.”
Aku agak gelagapan mencari jawabannya. Maka kukarang saja sebuah cerita –meskipun aku benci jika harus melakukan ini, terlebih pada orang baik hati yang tak kukenal.
“Nggak, Pak. Paman saya seorang pemahat. Dia ingin memenuhi permintaan terakhir nenek agar nisannya dipahat indah-indah sama paman.”
“Wah, bagus kalau begitu, Neng!” serunya.

Aku pulang membawa sebongkah nisan granit abu-abu terbungkus plastik keresek hitam yang kujejalkan ke dalam tas punggung yang sudah penuh buku-buku tebal bahan skripsi yang baru kupinjam dari perpustakaan. Biarpun berat, sengaja bungkusan itu tidak kutenteng. Aku malas menjawab pertanyaan orang rumah kalau melihatku membawa sesuatu mencurigakan di tangan. Begitu melihatnya, ibuku yang selalu ingin tahu pasti akan gatal kalau tidak segera bertanya, “Apa itu, Ayra?”. Dan aku sungguh-sungguh malas untuk menjelaskan masalah nisan ini berpanjang-panjang pada siapapun, termasuk Ibu. Lagipula sejak kecil aku tak terlalu dekat dengannya, maka kurasa tidak ada kebiasaan atau keharusan apapun untuk menceritakan padanya apa-apa yang kulakukan atau apa-apa saja yang kumasukkan ke dalam kamar.

Kamarku mirip paviliun yang terpisah dari rumah utama. Jadi itu merupakan wilayah otonom yang tidak biasa dilalulalangi anggota rumahku yang lain. Sebaliknya, aku pun memasuki kamar tanpa harus setor muka terlebih dulu pada penghuni-penghuni kamar-kamar lain di rumah utama. Bapak, ibu, kakak, adik, atau siapapun masuk ke kamarku hanya jika ada perlunya dan atas seijinku saja sebab kamar itu selalu terkunci bila aku tak ada didalamnya. Aku mampir ke rumah utama cuma buat numpang ke kamar mandi atau dapur, atau buat sejam dua jam didepan TV. Sementara mereka nongol di kamarku cuma buat pinjam gunting atau selotip dan semacamnya yang selalu tidak tersedia di rumah utama. Hampir seperti anak kos. Aneh? Terserah pendapatmu. Keluargaku sudah menjalankan ini bertahun-tahun. Maka ketika menjelang maghrib aku pulang dengan tas punggung yang tampak berat, tak ada yang mengira ada sesuatu yang anehtersimpan di dalamnya –seperti biasa.

Kubuka bungkusan keresek itu. Nisannya kuletakkan diatas meja yang tak ada apa-apa di atasnya kecuali setumpuk buku-buku, kalender duduk, dan jam meja kecil bundar berwarna biru hadiah kekasihku (ah, kenapa fotonya tak pernah terpasang di atas meja ini?). Nisan granit abu-abu kasar itu kutata di antara kalender dan jam. Latar belakangnya kuatur dari tumpukan buku-buku itu, yang sebagian belum kubaca, sebagian belum disampul, sebagian hadiah teman, sebagian pinjaman yang belum sempat kukembalikan, sebagian kudapat dari hasil hobi menjahitku, sebagian dibeli sewaktu bekerja dengan gaji --yang tampaknya-- besar di Jakarta, sebagian kubeli untuk mengisi kosongnya hati yang selalu resah tak tentu arah, sebagian permata, sebagian sampah, sebagian... ah... buku-buku itu… betapa lewat mereka cara pikirku tidak bisa kembali seperti dulu lagi. Kadang aku bingung sendiri, bagaimana caranya membuang sampah yang sudah terlanjur masuk ke kepala? Kupikir tak ada cara apapun. Segala yang masuk itu menolak keluar lagi.Tersimpan begitu saja di sana sampai mati. Kadang aku ingin begitu saja melepas stop kontak yang menempel di belakang kepalaku seperti Matrix, lalu di-install ulang. Sebuah keinginan yang terlalu mustahil untuk diinginkan.

Sambil tiduran, kupandangi nisan itu. Kosong. Hanya sebongkah batu masif solid yang kosong. Tulisan apakah yang akan terpahat di permukaannya bila aku mati nanti? Akankah seperti kalimat yang tertulis di nisan besar di film-film romantis barat yang sering kulihat... “Samantha X, a loving caring mother with a big spirit of live. Left a husband and three beautiful little children. January 9, 1962 – March 10, 1994”, misalnya? Semacam itukah? Apa yang akan ditulis orang tentangku di atas nisan itu? Bisakah kalimat sepanjang itu terpahat di nisan yang hanya seukuran buku ini? Atau hanya sesedikit itukah seluruh hidupku disimpulkan?

Apapun itu, aku tak tahu. Yang pasti: Ayra. Nama itu yang nanti bakal terpahat di sana. Tapi, eh, bukan. Ayra bukan nama asliku. Namaku Susantianuss. Tapi siapa dia? Bagaimana pemahat nisanku nanti memberi kalimat atas seorang Susantianuss? Bisa jadi dia bakal bingung sendiri karena memang tak pernah mengenalku, toh dia hanya seorang pemahat yang dipesan orang buat menorehkan tulisan di atas batu, itu saja. Ah… Susantianuss. Dari dulu aku tak suka nama itu. Aku tak kenal dia. Terlebih ada kata anus di belakangnya. Bagaimana seorang bapak bisa memberi nama anus buat anaknya? Aku ingin Ayra, Ayra Rumaisha. Tapi apa hakku atas sebuah nama yang bahkan adalah namaku sendiri? Hey, stop! Stop! Aku harus berhenti melingkar-lingkar terus begini. Memutar-mutari hasil tatanan masa yang tak mampu kuubah dengan melenguh-lenguh seperti ini tak akan membawa apapun kecuali aku melakukan sesuatu. Something realistic! Bila tidak, tak akan pernah berhenti. Aku harus maju. Maju!

Kulihat jam, pukul 11.05. Eh, sudah selarut itukah malam? Berapa lama tadi aku membuang waktu memandangi nisan itu? Sialan! Tanggal berapa ini? 3 Maret? Shit! Aku harus segera menyalakan komputerku. Besok harus ke kampus, revisi bab terakhir skripsiku. Minggu depan sudah sidang, tanggal 11!

Kutekan tombol power komputer yang bukan milikku itu (hm, terlalu banyak barang-barang pinjaman di kamarku ini). Ketak ketik ketak ketik ketak ketik… begitu lincahnya aliran listrik di kepala ini hingga tak terasa sudah pukul 02.20. Ajaibnya, aku sama sekali tidak mengantuk. Rasanya seperti bateraiku baru saja di-recharge orang. So energized! Ketak ketik ketak ketik ketak ketik… ketak ketik ketak ketik ketak ketik...

Dan… jebret! Mati lampu! Shit! Shit! Shit! Ada apa pula dini hari begini mati lampu? Aneh. Tak seperti biasanya. Daerah ini sudah lama aman dari listrik padam. Sialan! Mana yang tadi kuketik belum sempat di-save. Shit! Shit! Shit! Batallah agenda ke kampus besok. Dengan dongkol aku terpaksa harus tidur. Ajaibnya (lagi), tidurku sangat lelap. Sangat sangat lelap…

***

Aku terbangun seperti tidak pernah terbangun sebelumnya. Kaget. Seluruh tubuhku seperti mandi keringat dingin, padahal aku tidak bermimpi seram–bahkan tak bermimpi sama sekali. Ruangan begitu gelap. Lubang cahaya di langit-langit tidak melewatkan seberkas sinarpun. Di mana aku? Hari apa ini? Tanggal berapa? Berusaha menyatukan diri, aku duduk sambil mencoba mengenali barang-barang di sekelilingku dalam kegelapan.

Sebentar kemudian kudengar adzan shubuh yang begitu keras. Ah, adzan! Adzan dari mesjid di belakang rumah! Hahahahaha… betapa leganya bahwa aku masih berada di dalam kamarku, masih hidup di dunia ini (apakah di dunia lain tak ada adzan shubuh? mengapa aku merasa lega masih berada di dunia ini?). Sedetik tadi kukira aku sudah mati. Berarti tidurku tadi cuma sekitar 2 jam. Ah… betapa nikmatnya tidur 2 jam hingga orang jadi lupa ingatan begini. Hahahahaha… lagi-lagi aku tertawa sendiri.

Kuhampiri saklar lampu kamar. Eh, tapi tadi kan listrik mati, pikirku, dan seingatku tak ada sesuatupun yang kuubah posisinya ketika berangkat tidur tadi. Jadi kalau saat ini listrik sudah menyala lagi, mestinya lampu neon panjang di atas kepalaku itu sudah menyala dengan sendirinya.

Mencoba menghilangkan penasaran, aku keluar kamar mengecek kamar lain di rumah utama, dan lampu-lampu dirumah tetangga. Tapi mengapa cuma kamarku yang gelap gulita begini? Pasti ada sesuatu yang salah. Pasti!Kabel-kabel di atap itu memang semrawut dan suka dimakan tikus. Tikus sialan! Segala apa dimakannya saja. Apa enaknya rasa kabel? Gigimu kesetrum baru taurasa kau!

Aku segera kembali lagi ke kamar, mengambil lampu senter yang sudah kuhapal betul letaknya dalam kotak perkakas di atas lemari sehingga cuma butuh ingatan dan kepekaan saraf-saraf tangan saja untuk menemukannya. Tapi sialan! Lampu senter itu juga ikut-ikutan mati lampu! Shit! Shit! Shit! Aku terduduk di kursi sambil berpikir apa yang akan kulakukan. Membangunkan bapak buat meminta bantuannya? Memanjat sendiri ke langit-langit mencari kabel-kabel yang rusak? Mengejar-ngejar tikus sialan? Apa?!

Tapi sebelum aku sempat memutuskan apapun, tiba-tiba lampu menyala begitu saja. Peralihan dari gelap gulita ke terang benderang yang begitu menyentak membuatku secara refleks menyipitkan mata. Dan ketika kembali normal, mataku langsung tertumbuk pada sebongkah nisan granit abu-abu di atas meja itu. Menghadap padaku dengan pahatan tulisan di permukaannya:


…………………….

4 Juli 1976 – 4 Maret 2003

Selamat datang 1 Muharram 1424 H
Senin, 3 Maret 2003/16.32