06 September 2007

Saya dan Kopi

Sebuah penelitian dari Jepang menyebutkan bahwa minum tiga gelas kopi sehari bisa mencegah kanker usus besar. Saya bukan peneliti, tapi saya menemukan teori sendiri yang cocok untuk saya jadikan slogan kampanye: ‘minum kopi, kencing wangi’ :)

Apa yang saya sukai dari kopi? Aromanya yang khas? Rasa jantung degdegan seperti orang jatuh cinta? Rasa kleyeng-kleyeng enak seperti orang mabuk? Rasa ringan di kepala seperti orang baru terlepas beban hidup? Rasa tidak ingin tidur sebab seketika ide-ide berkecambah tanpa bisa dicegah? Rasa mendesir-desir di dada yang membuat saya menghela nafas dalam-dalam tak berdaya serupa orang merindu tak kunjung tiba?

Oh, ya. Ya! Semua itu! Mungkin kamu sukar percaya, tapi betul, saya sama sekali tidak sedang mendramatisir rasa. Saya dan kopi seperti punya hubungan satu arah yang khusus yang tidak pernah ingin saya putus. Belum ada minuman lain yang mampu membuat saya merasai segala gejala campur aduk sekaligus dalam satu waktu seperti itu. (Jadi: rasa jatuh cinta, mabuk, terinspirasi, merindu, semua itu sama dengan rasa sehabis minum kopi. Jadi: segala rasa ajaib itu pada dasarnya sama-sama urusan hormonal, yang sama-sama bisa dibangkitkan oleh kehadiran seorang pacar atau cukup dengan segelas kopi. Jadi: kalau kamu sedang tidak punya pacar tapi ingin merasai segala gejala rasa jatuh-cinta-mabuk-dan-merindu, ya tidak perlu susah gelisah bin repot sampai tubuh peot, tinggal minum kopi saja :p)

Bersama kopi, saya mengagumi banyak hal. Diamnya gunung malam-malam, laut menjelang sore dengan ombak yang tidak pernah lelah, lampu petromaks dan percakapan hingga jam 2 pagi, Sabtu berhujan yang membuat saya urung pergi keluar, atau sekedar satu episode Nobita-Shizuka pada monitor laptop di Minggu pagi yang malas. Dua bulan lalu, di atas kereta api ekonomi musim liburan yang penuh sesak, saya belajar tentang seni meminum kopi sambil berdiri, tentang bagaimana menjaga agar gelas plastik berisi kopi panas itu tidak tumpah, bukan karena goyangan jalannya kereta, tapi karena senggolan pedagang-pedagang bersemangat hebat yang tidak berhenti lalu lalang hingga jam 3 dinihari, dan karena kegirangan tertahan sebab ingin melonjak-lonjak demi melihat city lights yang tertangkap lubang angin di jendela dan kerlap-kerlipnya tidak henti-henti menemani perjalanan.

Tapi hey, itu semua bukan apa-apa. Yang paling saya suka dari segelas kopi adalah ini: ampasnya. Endapan berwarna coklat tua yang sudah kehilangan sari pahitnya itu, yang permukaannya tampak padat namun sesungguhnya mudah buyar, persis seperti pasir pantai yang baru ditinggalkan ombak kembali ke laut. Butir-butir ampas kopi yang basah, lembut di mata tapi krenges-krenges di lidah sehinga membuat lidah ingin menahannya dan memainkannya berlama-lama di sana. Selapis sesuatu yang tidak memiliki definisi lebih kecuali sebagai sesuatu sependek kata ampas, yang bukan makanan bukan minuman bukan pula cemilan. Sesuatu itu, yang tingginya tidak lebih dari 1,5 cm dari dasar gelas, yang selalu saya tunggu-tunggu untuk dinikmati pelan-pelan, sedikit demi sedikit dengan menggunakan ujung sendok kecil –I mean, sendok kecil yang betul-betul kecil lebih kecil dari sekedar sendok teh mungil paling kecil.

Kalau ada ungkapan save the best for last, maka save the best for last saya ketika minum kopi ya pas bagian ampasnya itu. Kalau saya ngopi bersama teman-teman, dan kalau saja saya bukan manusia yang masih punya hormat terhadap rasa jijik, bisa jadi –oh, ini sangat-sangat bisa jadi-- sembari mengobrol ngalor ngidul, saya akan dengan sabar menunggui semua teman saya itu menghabiskan kopi di gelas masing-masing, untuk kemudian saya nikmati ampas kopi mereka satu-satu. Hihihi.. yekkk! Ah, nanti saja fantasi ini saya teruskan. Kalau datang saatnya saya minum kopi lagi berdua saja dengan pasangan. Saya tentunya tidak perlu merasa jijik dengan bekas minuman pasangan, bukan?

Entah sejak kapan saya mulai menyukai ampas kopi. Mungkin sejak SD. Saya ingat, waktu kecil saya pernah liburan lama di rumah Mbah di Magetan, tepat ketika bulan Ramadhan. Di rumah besar itu Mbah Putri sering menemani saya yang lebih suka makan di pawon, sebab pawon Mbah tempatnya luas, atapnya tinggi tanpa langit-langit, berlantai tanah, waktu itu masih diterangi lampu cempor yang asapnya menyisakan hitam di lubang hidung, dan saya boleh makan di atas lincak sambil menunggui sisa-sisa bara meredup dari tungku api kayu yang masih berasap. Saya juga ingat, Mbah Putri selalu menyiapkan dua gelas minuman sebagai penutup sahur, dan meletakkannya di atas meja kecil di dekat pintu. Dua gelas yang sama yang berisi minuman berbeda, yang satu teh, yang satu kopi. Dan saya selalu memilih yang berisi kopi, sebab tidak seperti teh, kopi selalu menyisakan ampas.

Mungkin kesukaan saya terhadap ampas kopi adalah faktor genetik, sebab saya juga ingat Mbah Putri selalu membuatkan sejembung kopi hitam tiap hari untuk Mbah Kakung, padahal Mbah Kakung punya penyakit darah tinggi. Tapi ini faktor genetik yang meloncat, sebab baik Ibu dan Bapak saya tidak ada yang suka kopi, juga saudara-saudara serumah saya. Agaknya, untuk urusan kopi, saya memang anomali (juga untuk beberapa urusan yang lain :-D). Meski begitu, dulu Ibu rajin menumbuk racikan bubuk kopi sendiri, khusus untuk tamu-tamu yang memang peminum kopi dan sangat suka disuguhi kopi seperti Mas Jono dan Pak Lik Jumadi. Ibu menumbuk kopi sendiri untuk memuliakan tamu, saya yakin ini diwarisinya dari Mbah Putri. Karena itu, di rumah, toples kopi selalu terisi, meskipun pada akhirnya cuma satu perempuan kecil umur awal belasan tahun itu saja yang akan menghabiskannya hehe..

(Hey, bisakah kamu memberi tahu di mana saya bisa menemukan seorang bijak yang mampu dengan tepat menelusur masa depan dari benang-benang masa lalu lewat jejak-jejak ampas air kopi? Akan saya sodorkan kepadanya ampas kopi saya setiap malam. “Inilah ampas hidup saya hari ini. Apakah yang bisa kau baca dari situ, Orang Bijak? Kabarkan juga kepada saya, apakah di sana Ibu sedang menumbuk kopi?”)

Bisa jadi racikan bubuk kopi Ibu inilah yang membuat riwayat keranjingan saya terhadap ampas kopi berlanjut hingga sekarang. Siapalah lagi yang membentuk selera lidah anak selain Ibu? Ibu sering menyuruh saya membeli satu ons biji kopi di toko Henjaya di seberang pasar. Itu toko yang khas, karena cuma toko itu toko serba ada yang menjual dan memajang biji kopi dalam toples-toples kaca besar seperti toples-toples yang biasa dipakai pedagang asinan di pinggir jalanan Cianjur.

Kalau satu ons biji kopi sudah Ibu dapatkan, ia akan mencampurnya dengan beberapa butir bawang merah, secangkir beras, beberapa potong kelapa yang diiris tipis-tipis dan entah apa lagi, kemudian menyangrai semua bahan sampai matang dan wangi merebak. Lalu Ibu akan menumbuknya sendiri dengan lumpang dan alu sampai racikan kopi menjadi bubuk yang tidak terlalu kasar namun tidak juga terlalu halus.

Racikan bubuk kopi Ibu kalau sudah diseduh air panas, duh, bisa bikin saya minum hingga bergelas-gelas. Karena campuran segala bahan yang disangrai itu, bubuk kopi Ibu ketika diseduh tidak hanya meninggalkan ampas dengan kekentalan yang khas, tapi juga membentuk lapisan topping tipis di permukaan gelas. Rasanya pun agak berat, lebih kental karena bantuan beras, mengandung sedikit gurih dari bawang merah dan kelapa, pokoknya jauh berbeda dari rasa kopi bening yang enteng. Sampai saya SMP ketika masa kebiasaan begadang saya bermula, meski saya sering minum bergelas-gelas kopi, saya tidak pernah merasa jantung degdegan dan kepala kleyeng-kleyeng seperti sekarang, mungkin karena dua rasa itu cuma dikenal dan cuma tumbuh pada orang dewasa yang sudah tahu bagaimana rasanya degdegan dan kleyeng-kleyeng karena cinta sehingga kopi kemudian menjadi katalisnya.

Suatu malam, sehabis membaca Filosopi Kopi, saya teringat Ibu. Di kota ini, ketika usia saya sudah lama tidak lagi berawalan angka satu, sewaktu melihat sisa luka di jari-jari kaki kanan saya yang pernah tersiram air mendidih karena kecerobohan sendiri sebab melamunkan Ibu hingga pegangan tangan goyah, yang membuat saya tidak pernah lupa bahwa kaki Ibu yang pincang adalah yang sebelah kanan.

Saya ingin minum kopi Ibu, tapi tidak ada kopi Ibu di sini. Lalu saya meracik kopi sendiri, tentu tidak saya sangrai dan saya tumbuk seperti Ibu, bukan apa-apa, di sini saya tidak punya lumpang dan alu. Saya cukup membeli bubuk kopi di Hero swalayan, merek Kapal Api. Merek ini saja sudah mengingatkan saya pada Ibu, sebab kamar saya di Negeri Ujung dulunya adalah warung Ibu, tempat menjual segala macam kebutuhan rumah tangga, termasuk kopi Kapal Api yang digantung berenteng-renteng di gantungan kayu bulat. Saya agak lupa kapan warung Ibu tutup, sekitar tahun 93 atau 94, tapi yang jelas waktu itu ketika harga sebungkus kopi Kapal Api 100 gr masih Rp425 dan minyak tanah yang kini jadi barang langka itu masih berharga Rp225 per liter.

Malam itu, sebab saya tidak bisa meracik bubuk kopi seperti Ibu, maka saya meracik seduhannya saja dari kopi yang ada. Dan, sebab di sini saya tidak punya banyak bahan keperluan dapur yang bisa saya tambahkan ke dalam kopi saya selain susu kental manis, akhirnya saya tambahkan ini saja ke dalamnya: garam. Satu buku jari bubuk garam. Rasanya? Haha… saya ketagihan sampai sekarang! Saya tidak tahu molekul apa yang terbentuk ketika NaCl bertemu kafein dan laktosa plus karbon gula dalam H2O bersuhu 80 derajat celcius, tapi yang jelas itu telah berhasil membuat cairan kopi-susu-garam saya bertekstur beda. Agak lembut. Agak alem. Agak mendem. Saya suka.

Saya suka, dan berikutnya jadi kecanduan ingin mencoba menambahkan bumbu dapur lain ke dalam kopi saya. Saya mulai percaya bahwa kopi itu teman yang baik, ia membuka dirinya bagi seseorang bukan siapa-siapa yang ingin coba-coba menjadi apapun: scientist, experimentalist, naturalist, philanthropist, termasuk menjadi isengist seperti saya. Jadi… Jahe? Kopi jahe pasti enak. Pahit-pahit panas. Bikin hangat di badan. Tapi agaknya ini bukan inovasi baru. Cengkeh? Kayu manis? Hm, tentu akan menjadi secangkir kopi dengan rasa timur yang eksotis. Asam jawa? Rasanya pasti pahit-pahit asam. Menyegarkan. Boleh dicoba. Mungkin akan sama menyegarkannya kalau dibubuhi jeruk nipis. Kalau ada lemon-tea, kenapa tidak ada lemon-coffee, ya nggak? Lalu, temulawak? Kopi jamu! Laos, daun salam? Kopi rasa sayur menir, haha.. sekalian saja bubuhkan sambel kacang, pas bener dah! Kencur? Astaga, sepertinya akan berasa sedikit getar di lidah. Lupakan. Madu dan telur? Greng! Keju cair? Wow, akan jadi secangkir kopi yang mewah! Mayonaise? Kenapa tidak? Saus tomat? Heh?! Kecap, merica? Apa?!

Heup! Stop! Cut! Ah sialan. Semestinya kopi termasuk minuman yang diharamkan, sebab kopi juga bisa membuat seseorang jadi kecanduan. Dan kecanduan adalah keadaan yang lebih membahayakan daripada sekedar mabuk.

Duh, sebetulnya saat ini pun saya sedang mabuk, karena begitu ingin segera pulang ke Negeri Ujung tapi harus saya tahan-tahan untuk suatu sebab yang tidak kuasa saya tahan. Tolong ingatkan saya kalau akhirnya saya bisa pulang ke Negeri Ujung nanti, untuk membeli biji kopi di toko Henjaya di seberang pasar. Saya ingin memasukkan biji-biji coklat itu ke dalam toples kecil, membauinya setiap hendak tidur, agar tidak ada apapun yang akan mengisi tidur saya kecuali hanya mimpi-mimpi wangi kopi. Setiap malam… setiap malam…


***

Radio Dalam,
di sebuah Rabu dinihari tanpa kantuk.