07 March 2006

Kilometer Nol (episode 2)

02.18

Diana Ross sudah hampir sepuh, Mariah Carey hampir habis pamornya, dan J-Lo tiba-tiba kehilangan gaya.
Ketiganya merunduk-runduk berjalan mundur, menghilang di balik kain gorden burgundi yang ditarik menutup. Piringan hitam berhenti berputar.

Senyap. Sang Sutradara yang masih duduk tenang di kursi-Nya itu lantas menoleh ke arah si pengelana beku sambil berpikir keras –siulan-Nya sudah berhenti sejak tadi--, “Hm, apa yang akan Aku lakukan terhadapmu kini?"

Bukan Sutradara Ulung namanya kalau harus butuh waktu hanya untuk memikirkan nasib seorang pengelana beku. Maka tak sampai sedetik, Dia pun tersenyum sambil menjentikkan jari. Ia segera bangkit dan menghampiri si pengelana yang (di)beku(kan) dalam keadaan mulut menganga, mengangkat tubuh si pengelana di pundak-Nya, lalu menempatkannya di sebuah panggung yang baru. Jleg!

Setting panggung baru itu diambil dari kisah berumur empat ratus juta tahun cahaya. Pada kain layar lebar yang menghiasinya, ada gambar Salvador Dali sedang terheran-heran melihat tampilan desain rumit di monitor Mac, dan di sebelah kanannya seorang Leonardo Da Vinci sedang panik sebab seekor ngengat tiba-tiba menclok di hidung Monalisa. Da Vinci terlihat sangat gusar seolah ingin protes pada ngengat itu, ”Kenapa harus di atas hidung? Kalaupun mau merusak lukisanku, aku mungkin bisa menerimanya bila kamu mendarat tepat di atas bibir saja seperti yang pernah kamu lakukan pada The Silence of The Lambs.”
Jleg!
Di depan layar dengan gambar-gambar itulah si pengelana beku diturunkan dari pundak Sutradara. Sang Sutradara pelan-pelan berjalan kembali ke kursi-Nya tanpa pernah melepaskan pandangan dari si pengelana itu sedikitpun. Dan pelan-pelan pula si pengelana mendapatkan kembali semu merah di di tubuhnya. Sedikit demi sedikit semu merah itu menyebar, mulai dari dada kiri bagian atas, merambat ke lengan, tangan, jari-jari… turun ke abdomen, paha, kaki, tumit… merambah ke leher, dagu, mulut, bibir, hidung, mata… dan seketika mata itu bicara, “Hey, siapa aku kini?”
Kaki si pengelana mulai bisa digerakkan. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. “Hey, ini bukan jalan aspal tak berujung seperti yang aku tapaki kemarin dulu,” pikirnya. “Dan oh, lihat, di depan sana ada dua orang bertopi pet memegang kuas. Tubuh mereka belepotan cat akrilik warna-warni!”
Si pengelana lantas melirik tubuhnya sendiri. Tak jauh berbeda dari yang lalu, pikirnya. Hanya saja tas ransel usangnya yang dulu ia tinggalkan di sebuah gubuk di pinggiran jalan tak bernama itu kini tergantung kembali di punggungnya. Ia menurunkan tas itu, memeriksa isinya: koleksi kartu tarot itu kini berganti dengan ratusan pensil dan ribuan buku notes.
“Ini lagi peranku, Sutra?” tanyanya pada Sang Sutradara. Pengelana itu lebih suka memanggil-Nya dengan Sutra dibanding Dara karena itu mengingatkannya pada kelembutan yang selalu ia dapatkan dari-Nya, meski jelas Dia bukan sesosok Dara.
Sang Sutradara tersenyum dan mengangguk, pelan tapi dalam. Seperti sehelai sutra tertiup angin malam. Anggun. Berkharisma.
“Menjadi pencerita lagi? Berkisah tentang dunia orang bertopi pet yang tubuhnya belepotan cat yang tiba-tiba panik bin gusar gara-gara ngengat di atas hidung itu, Sutra? Hahaha... aku suka! Aku sungguh suka! Terima kasih, Sutra. Terima kasih banyak…”
Sang Sutradara tersenyum dan mengangguk, lalu mengambil aba-aba:
“Camera… Action!"

01 March 2006

Jazz, Sabtu dan Insiden *

Hari apa ini? Senin? Selasa? Rabu? Rabu! Ah, sudah Rabu lagi.

Rabu. Waktu. Makhluk dari ordo manakah kamu wahai waktu sehingga bisa sedemikian kilat membawa saya ke sana ke mari? Sobat saya si Ayra gila itu mengaku pernah bersentuhan dengan waktu. Dia bilang, waktu adalah makhluk dengan prinsip hidup “tau-tau”. Tau-tau si Tinong sudah punya anak tiga... Tau-tau si Lien sudah tinggal selesai S2 di Belanda... Tau-tau si Ronald mBe sudah jadi selebritis Extravaganza... Tau-tau… Tau-tau Rabu depan akan menjadi hari terakhir saya di sarang kadal ini. Ah senangnya :)

Dulu hari Rabu pernah menjadi hari favorit saya dalam satu minggu. Gara-garanya cuma satu: tiap Rabu malam pukul 22.00 serial X-Files tayang di SCTV. Sebelumnya, Rabu hampir selalu menjadi kelabu, karena ada jadwal 4 jam mata pelajaran fisika yang membuat saya pusing dengan segala macam rumus. Oh oh oh, jam ulangan fisika adalah jam-jam yang sungguh menyiksa, karena saya sering tidak pernah puas dengan hasilnya. Bagaimana saya bisa puas kalau hanya bisa menyelesaikan 4-6 soal saja dari 25 soal yang ada? Itu betul-betul bikin frustrasi! Bukankah ironis kalau ada angka 4 merah di buku rapor untuk pelajaran fisika padahal saya sendiri yang memilih masuk jurusan itu? Akhirnya saya terpaksa harus sombong demi menyelamatkan kepercayaan diri, “Hey! Angka 4 merah di buku rapor di SMA saya jauh lebih tinggi nilainya dibanding angka 7 di buku rapor SMA manapun di kota ini. Apa bantahanmu, heh?!” Untunglah, kata-kata itu tak pernah saya lontarkan pada siapapun kecuali di sini. Ada yang tersinggung? Well, kalaupun ada, saya sungguh tidak peduli hehe... Karena, gak penting banget gitu loh!

Sekarang ini hari Sabtu menjadi hari favorit karena di kota ini saya menemukan gelombang radio yang tiap Sabtu memutar lagu-lagu jazzy, seharian penuh! Dan karena Sabtu adalah ”hari santai” saya, maka saya mengepel, mencuci, atau menyetrika baju sambil ditemani lagu-lagu jazzy… is it a style or what? :p (eh eh eh… gak penting banget gitu loh!)

Rabu ini seharusnya saya sudah punya tiket Java Jazz Festival agar Sabtu nanti saya bisa menikmati jazz tanpa embel-embel mengepel, mencuci, atau menyetrika itu. Tapi dasar waktu, makhluk dari ordo manakah kamu wahai waktu sehingga begitu sulit diajak berkompromi? Bulan ini saya tiba-tiba mendapat “insiden ini” dan “insiden itu” yang mau tak mau berimbas pada “dompet ini” dan “dompet itu”. Tiket reguler Java Jazz tahun ini Rp 350 ribu, padahal tahun lalu cuma Rp 150 ribu.
Kalau ingin nonton special show, harus merogoh total Rp 500 ribu! Kenapa sih cara orang jualan harus selalu seperti itu? Begitu tahu barang jualannya laku, langsung deh pasang bandrol harga tinggi-tinggi. Hhh… kenapa jazz harus ikut-ikutan dibuat begitu juga? Bisa nggak jualan jazz seperti jualan pisang goreng? Bukankah itu suatu tantangan? Tapi kalaupun memang harus begitu, oke lah… Cuma, jadwalnya bisa tolong diundur bulan April nggak, Om? Om bilang, pengunjung Java Jazz tahun lalu mencapai 48.000. Bagaimana kalau Om saya kutuk jadi kadal saja biar target Om tahun ini yang 60.000 penonton itu gagal total? Doa orang teraniaya itu ampuh lho, Om. Eh, Om kok malah tutup kuping? Om??? Om!!!

Ah, keinginan… keinginan… makhluk dari ordo manakah kamu wahai keinginan? Kenapa kamu suka datang seenaknya? Hari ini saya ingin nonton Java Jazz, semalam kakak perempuan saya yang Juli nanti usianya akan menjadi 34 itu berkeluh lewat SMS betapa ia ingin punya anak dan itu membuatnya jadi sering melamun, seorang teman yang jaraknya saat ini cuma 1,5 meter dari meja saya sangat ingin segera hengkang dari sarang kadal yang sama, seseorang lain di suatu tempat beratus-ratus meter dari saya ingin segera punya pacar baru. Dan pada suatu titik kami semua pernah merasa tidak bahagia karena menggumuli segala macam keinginan-keinginan itu...

Oh oh oh, kenginan ternyata bisa jadi makhluk pengerat yang sangat-sangat mengganggu. Berpenyakit, karena yang digerogotinya tak tanggung-tanggung: hati. Lupakan keinginan! Lupakan keinginan! Tapi… tanpa keinginan, siapakah kamu? Uh uh uh, jangan, jangan pertanyaan itu lagi. Please. Not now. Nggak penting. Apa sih yang penting? Nggak penting. Nggak ada yang penting. Lalu apa yang penting? Ah, sudahlah. Sudahi. Nggak penting banget gitu loh!

Tapi…

***

*) plesetan dari Jazz, Parfum dan Insiden,
nyulik judul bukunya SGA dikit, hehe..